"Kakang, tarik pengawal untuk kembali ke Pajang. Aku akan menunggu kalian setelah aku jauh dari Keraton Paguhan," tegasku pada Patih Yuwana hingga ia segera melaksanakan perintahku tanpa menyanggah.
Aku menghela Turangga Seta, memaksanya untuk meninggalkan rumput yang disediakan di kandang. Suara yang tadinya kurindukan, kini mengusik pendengar dengan caranya memanggil namaku dengan nanar. Aku tak menengok sama sekali, menerobos penjaga gerbang yang kebingungan.
Kebaikan Nira selama di padepokan hanya kedok untuk mendapatkan Sumana. Mengapa aku tak pernah menyadarinya? Lagi-lagi aku merasa berotak ayam. Aku selalu malang dalam segala gatra. Bertahun-tahun aku menanti Sumana bukan untuk mendapatkan rasa sakit seperti ini. Benakku terus bertanya-tanya apa kekuranganku yang membuat Sumana menyeleweng pada Nira. Perempuan itu memang cantik, kemampuan spiritualnya pun mumpuni. Namun, apakah aku masih kurang?
Matahari benar-benar tenggelam ketika aku mengikatkan tali Turangga pada sebatang pohon waru di pinggiran sawah. Aku duduk di pematang, menunggu para pengawal menyusulku, atau barangkali Sumana ikut serta. Ah, mengapa aku berharap? Jangan biarkan lelaki itu menyakiti batinku lagi.
"Syukurlah Gusti selamat. Melaju sendirian di malam hari sangat berbahaya," celetuk Patih Yuwana setelah telingaku menangkap ketukan ladam yang mendekat.
"Maaf, Kakang. Aku tak sudi lama-lama melihat mereka," lirihku.
"Kita kehabisan minyak untuk membuat obor. Bulan juga tertutup mendung. Apa Gusti berkenan jika kita mencari tempat untuk bermalam?"
"Lakukanlah." Nada getir tak dapat kututupi, membuat segenap pengawal saling tukar tatap penasaran. Rasa bersalah merundungku karena mereka tak dapat memuaskan diri dengan jamuan di Paguhan dan memasok kembali perbekalan.
***
Lima hari lewat begitu saja tanpa pertanda Sumana hendak menjelaskan sebabnya berangkulan dengan Nira. Daging yang teronggok di piring tak menggugah seleraku. Bahkan makanan seenak wajik pun tak kusentuh. Pikiranku berkecamuk, apa yang harus kulakukan? Melepaskan Sumana tak semudah itu, tetapi mempertahankannya pun membuat hatiku semakin pedih mengingat ia dapat lebih sering bermesra dengan Nira yang juga tinggal di Paguhan. Aku kalah dengan perempuan lain yang selalu ada di sisinya. Aku tak mungkin mengadu pada Ibunda atau Kanda, mereka juga punya kesibukan. Aku sudah dewasa, harusnya aku bisa menyelesaikan masalah ini sendiri.
"Gusti jangan seperti ini terus, saya ikut sedih jika Gusti tak pernah tersenyum." Sebanyak apa pun Ni Wuri menghiburku, Sumana telanjur meremukkan perasaanku. Apakah ini yang dirasakan Nyai Artati ketika suaminya memilih Ibunda? Apakah Sumana membalas dendam ibunya kepadaku selaku putri Cakradhara dan Tribhuwana?
Patih Yuwana mengetuk pintu ruang makan sebelum menghampiriku dan Ni Wuri yang beringsut mundur hingga tak terlihat di balik pintu. Aku tak mampu menatapnya, tak ingin ia melihat sorotku yang penuh kesedihan hingga membuatku selalu ingin tidur. Namun, ia menyentuh bahuku dengan tangannya yang dingin dan membuatku tersentak. Aku mendongak, seperti dugaanku, ia terkesiap melihat romanku yang dirundung awan kelabu.
"Jika ini tentang kasus tanggul, aku tak bersedia membahasnya dengan auraku yang suram," kataku kembali duduk menghadap meja.
"Bukan. Ingsun hendak meringankan beban Gusti, jika Gusti berkenan membagikannya. Maaf jika tindakan ingsun lancang, izinkan untuk kali ini saja." Patih Yuwana menggenggam tanganku, menarikku untuk beranjak menyambutnya.
Air mataku kembali menggenang, aku tak sanggup membalas pandangan sang patih. Aku tahu betapa rapuhnya diriku saat ini dan aku tak mau Patih Yuwana ikut mengembannya.
Ia menarik daguku hingga aku mendongak padanya, memamerkan kelopak mata yang sayu lagi sembap. Ia menghela napas kemudian mengusap suraiku yang tergerai tanpa keberadaan mahkota. Sentuhan itu seperti halnya Kanda yang menyayangiku. Aku menemukan sosok kakak dalam diri Patih Yuwana. Ada desakan tak kasat mata yang memaksaku untuk memeluknya demi meringankan bebanku. Namun itu tak pantas bagiku yang telah bersuami.
Aku tak bisa menolak ketika tangan besarnya menarik punggungku. Aku menubruk dada bidangnya, kulitnya bersinggungan dengan pipiku yang telah basah. Aku sesenggukan, membalas rengkuhannya dan kepedihan hatiku berangsur-angsur sirna dari benakku.
Aku belum melepaskan Patih Yuwana jika tak terperanjat oleh suara jambangan yang pecah. Patih Yuwana menengok dan aku melongok dari balik tubuhnya. Mataku yang sembap membelalak sempurna, lekas mendorong Patih Yuwana yang tak mampu berkutik. Sumana kembang kempis di tengah pintu, menatapku nyalang dengan netranya yang jernih. Ni Wuri dan pengawal yang menjaga pintu ruang makan menunduk di baliknya.
Alih-alih melarikan diri seperti yang kulakukan ketika mendapatinya bersama perempuan lain, Sumana beringsut menghampiriku yang juga melangkah kepadanya siap jika mendapat kekerasan. Tapi ia menahan hasrat untuk memukulku. Rahangnya mengeras sementara mataku menajam tak mau memperlihatkan kepedihan.
"Mengapa kau yang marah?" Aku memulai.
"Kau perlu bermawas diri." Urat di lehernya tampak menonjol.
"Kau yang mengawali. Menyuruhku mawas diri padahal kau sendiri butuh cermin."
"Menyesal aku mengejarmu kemari."
"Oh, begitukah? Aku sendiri tak pernah menyesal datang ke Paguhan. Jika tak ke sana, aku takkan tahu hubungan gelapmu dengan Nira."
Sumana menggertakkan giginya sementara tangisku tak dapat tertahan lagi. Aku terisak menutup wajahku, bahuku bergetar dan kakiku rasanya tak mampu menopang bobotku.
Patih Yuwana menyembul di antara kami, memunggungiku dan berhadapan dengan Sumana yang amarahnya kian menjadi. Tinggi Sumana tak melebihi Patih Yuwana sehingga ia tak dapat melihatku.
"Kita mesti mengatasi perkara ini dengan kepala dingin. Tak perlu lewat perantara rakryan yang mengurus rumah tangga. Cukup kita bertiga." Kemudian Patih Yuwana melempar pandang pada Ni Wuri yang memperhatikan dari ambang pintu. Emban itu menutup pintu sembari menatapku pilu.
Patih Yuwana menyodorkan cawan tembikar padaku dan Sumana yang saling melempar sorot terluka. Kesegaran air bening terasa mengalir, mendinginkan dadaku.
"Aku menantimu, Kangmas. Memori ketika tangan kalian saling menggerayangi terus berputar di kepalaku, membuat sakit di dadaku tak terjabar. Tekanan politik dan asmara terlalu berat bagi perempuan rapuh ini. Aku tak menyia-nyiakan tawaran Kakang Patih yang berhasil meringankan bebanku. Jika Kanda Hayam ada di sini, ia pasti akan menawarkan hal serupa seperti Kakang Patih. Kau yang memulai, Kangmas Singhawardhana Dyah Sumana. Kau yang mengawali perpecahan."
Tatapan Sumana melembut menjadi sorot iba yang membuatku kian merasa lemah. Patih Yuwana menginterupsi Sumana untuk menjelaskan hubungannya dengan perempuan yang membuatku seperti ini.
"Dia bukan siapa-siapaku. Sama sekali bukan. Baru sepekan Nira menjadi juru masak yang mengantar makan siangku saat aku di taman. Ia mencampur ramuan ke dalam makanan dan air bening yang kusantap, membuatku mabuk dan pandanganku buram. Aku mengira dia istriku, Nertaja. Aku baru sadar ketika Nertaja tiba di taman menyaksikanku bersama Nira. Aku masih setengah sadar ketika Nertaja berbalik pulang sehingga aku belum cukup tenaga untuk menyusulnya. Aku tak langsung mengejar kalian karena terlebih dahulu menyelidiki dan memberhentikan Nira secara tak hormat, mengumumkan tindakan kurang ajarnya terhadap sahabat serta junjungannya di depan dayang, penggawa, hingga para menteri. Maafkan aku, Dinda Nertaja. Maaf membuatmu menanti. Maaf membuat hatimu terluka."
Itu kalimat terpanjang yang terlontar dari bibir Sumana. Aku tak mau langsung percaya, tetapi hatiku berkata lain selepas mendapat tatapan yang penuh kesungguhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nertaja (Sang Rani Pajang)
Fiksi SejarahPara pujangga enggan menulis kisah Bhre Pajang, bahkan namanya pun jarang sekali dimuat dalam kakawin maupun serat. Begitu pula dengan puspa hatinya yang memang menghindari banyak perhatian. Padahal mereka masih memiliki darah biru yang kental dari...