Lelaki itu menutupi hidung hingga dagunya menggunakan kain segitiga terbalik berwarna hitam. Ia menambatkan kuda legamnya pada pohon nangka di pekarangan salah satu rumah di pelosok Pajang. Kakinya memijak tanah kering cenderung retak yang terasa hangat. Siang itu sungguh terik, salahnya juga datang kemari saat sang rawi di ujung tombak hanya demi potong rambut.
Ia tak pernah betah memiliki rambut gondrong bahkan hanya mencapai tengkuk. Baginya, rambut cepak sangat ringkas. Tak perlu kuatir kusut, tak perlu repot-repot menyisir, tak perlu ripuh membuat racikan untuk menghilangkan sindap.
"Aku baru pertama melihatmu. Kau bukan asli sini, ya?" tanya Ki Brata yang sudah memegang pisau cukur.
"Aku berkelana," jawab lelaki yang rambutnya sudah tak terawat itu.
"Siapa namamu?"
"Yuwana."
"Seperti pernah mendengar."
"Aku mantan Patih Pajang."
Ki Brata menghentikan aktivitasnya. Yuwana menengok untuk memberi tatapan nyalang pada lelaki tua yang kemudian beringsut mundur.
"Kau diburu Keraton karena melecehkan Rani Pajang!" Ki Brata mengacungkan pisau cukurnya untuk antisipasi karena ia pun sudah mendengar kasus yang menyebabkan Yuwana dipenjara.
"Tepat sekali. Lalu? Kau hendak menyerahkanku pada Keraton? Hei, Kisanak, tak ada gunanya. Gusti Nertaja sedang sakit dan pemerintahan dipegang Patih Wesi. Kau takkan mendapat imbalan darinya sekalipun menyerahkanku ke sana," cemooh Yuwana yang sudah beranjak dan berkacak pinggang.
Mati-matian Ki Brata menahan tawa kala melihat rambut Yuwana yang botak sebelah. Ia mengangkat tangan, memilih tak peduli pada pencarian Keraton atas Yuwana yang ada di depan matanya. Lagi pula, jika ia melawan Yuwana, ia yakin akan berakhir sama seperti nasib Buyut Pambayun.
Rampung bercukur, ia melepas kain penutup wajah kemudian mengibaskannya untuk menghalau rambut-rambut yang jatuh sebelum memakainya kembali. Ia menyodorkan beberapa keping pisis untuk Ki Brata yang terbelalak karena jumlahnya sangat kurang.
"Orang kikir seperti itu memang pantas lengser dari Keraton," gerutunya, menatap berang pada Yuwana yang sudah melesat bersama tunggangannya.
Yuwana memacu kudanya dan berhenti di pasar pagi yang hanya disemayami penjual kelapa muda, berhubung kini sudah siang. Lapak itu cukup ramai, sekitar lima lelaki berbincang seraya menenggak air kelapa yang pas kala cuaca terik seperti ini.
Yuwana bergabung bersama mereka tanpa melepas penutup wajahnya. Ia memesan dan menunggu si penjual melubangi kelapa pesanannya.
"Kisanak berasal dari mana?" tanya salah satu dari mereka yang berkumis tebal dan bertubuh gempal.
"Loh Wana," jawab Yuwana sekenanya. Setelah penjual menyodorkan pesanannya, barulah ia membuka kain yang melingkupi mulutnya kemudian menenggak habis kelapa muda yang segarnya tiada tara.
"Tempat yang pernah terjadi pembunuhan itu, bukan?" timpal yang lainnya.
Samar-samar Yuwana tersenyum miring. Mereka tengah berhadapan dengan pembunuh yang dibincangkan.
"Syukur pembunuh itu sudah dipenjara."
"Eh, dengar-dengan Bhre Pajang sedang sakit keras."
"Apanya yang sakit?"
"Pernapasannya terganggu. Kondisinya semakin memburuk, tapi Bhre Paguhan tak sekalipun menjenguknya."
Mereka berlima terus mendesas-desuskan Nertaja sementara Yuwana menyimak.
"Mungkin Bhre Paguhan masih meradang atas rumor penyelewengan Bhre Pajang dengan seseorang di sana," timbrung pemilik kedai.
Mereka tak menyadari Yuwana telah angkat kaki menuntun kudanya, tak membayar minuman yang berhasil menolong dahaganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nertaja (Sang Rani Pajang)
Ficción históricaPara pujangga enggan menulis kisah Bhre Pajang, bahkan namanya pun jarang sekali dimuat dalam kakawin maupun serat. Begitu pula dengan puspa hatinya yang memang menghindari banyak perhatian. Padahal mereka masih memiliki darah biru yang kental dari...