Aku duduk berselonjor di tepi lapangan, mencabuti rumput kering sembari mengamati gerakan prajurit yang memegang perisai untuk melindungi dada telanjang mereka dari desing pedang yang sewaktu-waktu bisa menggores.
Sang rawi benar-benar undur diri dari cakrawala, bahkan serangga malam mulai berkidung saat Paman Mada rampung latihan. Ia menghampiriku dengan guratan tegas di wajah, tetapi tak membuatku gentar. Di belakangnya, Paman Nala mengipasi tubuh dengan kain udeng yang dilepas, membiarkan anak rambutnya menjuntai sampai alis.
"Mengapa Gusti berada di sini?" Paman Nala anti basa-basi.
"Aku ingin menghabiskan waktu senggang," balasku.
"Bukankah Gusti seharusnya belajar?” celetuk Paman Mada.
"Benar, tapi besok Paman akan mengarungi lautan, bukan?"
Mahapatih berusia dua puluh empat tahun itu mengelus puncak kepalaku, membuatku memejamkan mata menikmati sentuhan itu. Telapak tangannya meluncuri pipiku, menyentuh sedikit sumping yang menghiasi telingaku. Ia begitu paham bagaimana meredakan kekhawatiranku akan tugas berat yang bisa kapan saja merenggut nyawanya. Tak dapat kubayangkan bagaimana kapalnya menyeberangi lautan hingga tiba di tanah seberang kemudian berperang untuk memenuhi sumpahnya.
“Jangan kuatir, aku bersama Nala. Anak muda ini sudah jadi penguasa samudra.”
"Oh, kau sudah dikasih emban rupanya." Paman Nala yang tak suka disanjung itu mengalihkan atensi pada Ni Wuri yang malah bersimpuh di dekat kakiku.
"Ni, duduklah di atas," pintaku seraya menepuk rerumputan di sampingku.
"Tidak, Gusti. Saya di sini saja." Ia menggeleng tanpa melihat lawan bicaranya.
Paman Mada tersenyum maklum. Kemudian ia menitahku untuk kembali ke keputren untuk membersihkan diri. Katanya aku sudah bau kecut, padahal dirinya tak kalah kecut dengan keringat bercucuran di sekujur tubuhnya itu.
"Aku hanya pergi beberapa bulan saja. Gusti bersikap seolah-olah aku bakal pergi selamanya." Paman Mada terkekeh.
Akhirnya aku meninggalkan lapangan setelah memeluk tubuhnya yang lengket oleh keringat. Tak kuhiraukan Paman Nala yang mengulurkan tangan hendak memelukku. Aku melengos angkuh, tetapi tak ayal kemudian menubruk perut kotaknya yang keras.
"Gusti jangan berulah jika aku tak ada di sini, ya." Paman Nala mencubit pipiku, langsung kutepis tangan besarnya.
Aku melesat menuju keputren di bawah bayang-bayang lampu damar, sengaja membuat Ni Wuri kepayahan menyusul langkahku tanpa mengangkat jariknya. Setelah tiba di keputren, aku tergelak karena ia tertinggal jauh.
Indudewi tergopoh-gopoh setelah melihatku. Ia menyuruhku supaya lekas mandi dan berganti pakaian karena anggota kerajaan menungguku di meja makan.
"Ni, tolong mandi bersamaku. Aku tak berani mengunjungi petirtaan sendirian." Aku mencengkeram tangan Ni Wuri.
"Jangan, Gusti. Saya tidak diperkenankan mandi di sana." Ia menggeleng cepat.
"Aku yang memaksa." Keputusanku tak dapat ia bantah lagi. Dengan raut tertekan, Ni Wuri ikut menapaki undakan bata merah hingga sampai di bawah pancuran. Air sejuknya tampak keemasan karena cahaya lampu, menghunjam rambut hingga badanku yang terendam. Aku cepat-cepat menggosok badan lantaran gigiku kian bergemeletuk. Bahkan Ni Wuri sudah pucat seakan-akan air petirtaan di malam hari mampu menyedot sukmanya.
***
Gadis kikuk yang kucari akhirnya ketemu. Kutarik tangannya yang berhias gelang emas menuju kamarku yang didominasi kayu jati berukir sulur, dengan songsong⁴ di salah satu sudutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nertaja (Sang Rani Pajang)
Ficção HistóricaPara pujangga enggan menulis kisah Bhre Pajang, bahkan namanya pun jarang sekali dimuat dalam kakawin maupun serat. Begitu pula dengan puspa hatinya yang memang menghindari banyak perhatian. Padahal mereka masih memiliki darah biru yang kental dari...