Tak ada yang dapat kukehendaki selain meneruskan apa yang menjadi pilihanku. Pernikahan antar saudara adalah hal yang lumrah. Aku bersyukur penantian terhadap Sumana tak berujung sia-sia. Selepas melaksanakan upacara penyucian dan Upacara Tawur⁴⁴ di pagi hari, aku dan Sumana mengganti Bhusana Gagampang yang menyelimuti tubuh kami dan mengenakan Mahabusana yang cukup menguras waktu di ruang yang berbeda dalam kompleks istana belakang.
Para dayang memasangkan berlapis-lapis kain lurik dan kain buat inulu di sepanjang kakiku kemudian memasang kemban merah delima. Selendang keemasan bergantungan di bawah sabuk yang tak kalah berkilat. Perhiasan mulai dari anting-anting hingga binggel menimbulkan suara gemerincing lagi membatasi gerak-gerikku.
"Kain dan perhiasan yang kupakai berlebihan sekali. Tak bisakah aku menguranginya barang sebuah?" celetukku pada Ni Wuri yang sedang membenahi riasanku.
"Tidak, Gusti. Kawula alit⁴⁵ saja menggelar pernikahan dengan busana meriah, masa keluarga istana kalah?" Selesai meratakan bedak, ia memberiku gelas tembikar berisi air bening. "Lagi pula, pernikahan Gusti hanya terjadi satu kali seumur hidup. Terlebih, ini hasil penantian Gusti terhadap Raden Sumana."
"Benar. Kuharap aku tidak semaput ketika iring-iringan nanti," pungkasku, menahan bobot hiasan kepala yang bertengger di mustaka.
Keluar dari bilik, aku mendapati Sumana yang juga baru selesai dengan pakaian kebesarannya yang senada denganku. Lurik serta wdihan buat pinilai membalut kaki jenjangnya. Selendang keemasan dan kalung tiga susun tak mampu menyembunyikan dada bidang yang kuelu-elukan. Panas menjalari seluruh wajahku sebelum mengerjap kemudian menggamitnya untuk melakukan Upacara Homayajna—ritual kepada Yang Maha Kuasa. Lalu menjamu para tamu saat tengah hari.
Arak-arakan sang winarang⁴⁶ lekas berjalan diiringi Gending Parekan yang mengalun dari barisan paling belakang ketika matahari merangkak ke barat. Terik tak terlalu menyengat berkat juru payung yang mengarak tepat di belakangku dan Sumana, disusul pembawa sirih pinang, pembawa cupu tempat ludah, dan para penari.
Pendeta wanita yang kerap disebut Wiku Wrddhacari memimpin arak-arakan, berjalan pelan supaya aku dan Sumana di belakangnya tak tertinggal membawa Mahabusana yang bobotnya sama dengan beban hidup.
Kami keluar melintasi Gapura Bajang Ratu, disaksikan para kerabat istana maupun pejabat. Sementara di sepanjang jalan, rakyat sekitar Trowulan berjejal-jejal demi melihat arak-arakan agung dari adik Prabu Hayam Wuruk.
"Aku yang bukan siapa-siapa saja menggelar pernikahan semeriah ini, bagaimana Kanda Hayam nanti jika menikah..." lirihku, mendapat sikutan Sumana yang agaknya heran denganku yang masih sempatnya berceloteh.
Selepas mengitari jalan setapak di wilayah luar Kadatwan, arak-arakan kembali ke istana lewat gerbang depan, Gapura Wringin Lawang yang menjulang dengan bentuk candi bentar yang khas. Aku bernapas lega, akhirnya berakhir juga menyusuri setapak dengan alas kaki kayu yang membuat telapakku kebas. Belum lagi keringatku mengalir bagai mata air, untung wewangian mawarku awet, menguar di udara bercampur aroma melati dari Sumana.
Tiba di pesanggrahan, aku dan Sumana melakukan sembah sambil mengusap kaki Ayahanda Cakradhara serta Ibunda Tribhuwana, kemudian melakukan tukar menukar sirih yang kami lontarkan ke dada satu sama lain.
Ibunda serta Ayahanda beralih dari bangku berukir yang kemudian kududuki bersama Sumana seraya menikmati pertunjukan yang disajikan. Para kerabat dan tamu undangan satu persatu menghampiri kami membawa doa dan hadiah entah itu uang, perhiasan, atau kain.
Sarwabhaksyapana atau jamuan makan dimulai ketika pertunjukan seni rampung seiring rembulan yang unjuk diri membawa hawa dingin. Aku tak lagi berkeringat, beda dengan Sumana yang tubuhnya senantiasa berkilat eksotis. Tarian Ajang Gayung mengawali beragam jamuan yang berdatangan di tangan para dayang. Mulai dari nasi putih hingga kue lepet. Dari air bening hingga arak.
"Mana yang menjadi seleramu, Nimas?" tanya Sumana, mengalirkan sengatan di hatiku.
"Wajik dan air bening saja." Aku merutuki diri sendiri karena terang-terangan berlagak malu-malu.
"Hanya itu?"
Aku mengangguk. Ia berbisik pada salah satu dayang senior yang tak lama kemudian kembali membawa baki berisi dua piring dan cawan. Alisku terangkat, isi piring itu terlalu banyak, bukan wajik semata.
"Nimas pasti kelelahan melakukan prosesi dari fajar hingga petang seperti ini. Sayang tubuh Nimas jika tak disuapi nasi barang sesuap." Sumana menyodorkan piring berisi nasi kuning dan polang ayam⁴⁷ yang serupa dengan isi piringnya.
"Terima kasih." Pipiku menghangat, gembira sekali mendapat perhatian dari pujaan hati yang kunantikan selama lebih dari lima warsa. Mataku mengerling pada baki yang diletakkan di meja kecil sebelah Sumana. "Kau tak minum arak atau sejenisnya?"
Ia menggeleng. "Mpu Dwijokangko perah memberi tuturan, minuman terbaik adalah air bening."
Aku kian terpesona. Kupikir semua lelaki menggemari minuman memabukkan yang membikin pikiran melayang. Sumana berbeda. Ia edisi terbatas. Pantas saja pantulanku tampak jelas di netranya yang jernih. Ia sangat menjaga kesegaran tubuhnya.
Duduk sedekat ini dengan Sumana dalam ikatan yang berbeda sungguh menjadi keberkahan bagiku. Kehangatan kulitnya menjalar padaku meski sejengkal jarak membatasi. Kemisteriusan masih membingkai rautnya, tetapi kini aku yakin bakal lebih mengenalnya dengan menjalani sisa hidup bersama.
Para tamu bertolak dari pesanggrahan saat waktu hampir mencapai tengah malam dan aku terkantuk-kantuk.
"Akhirnya kita dapat beristirahat." Sumana mengerling padaku yang setengah sadar dengan tangan menyangga kepala. "Nimas, jangan tidur dulu. Kita ke Puri Pawarangan dan Nimas dapat tidur sepuasnya."
Seketika mataku melek sempurna dan dadaku berdentum makin cepat. Kamar pengantin tak terbayang di benakku sebelumnya. Pipiku lagi-lagi menghangat mendapati diri harus tidur seranjang degan Sumana. Ini bukan mimpi, kan?
_______
⁴⁴ Upacara Tawur : Tabur sesaji pada calon pengantin.⁴⁵ Kawula Alit : Rakyat kecil.
⁴⁶ Winarang : Pengantin.
⁴⁷ Polang ayam : Kare daging ayam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nertaja (Sang Rani Pajang)
Fiksi SejarahPara pujangga enggan menulis kisah Bhre Pajang, bahkan namanya pun jarang sekali dimuat dalam kakawin maupun serat. Begitu pula dengan puspa hatinya yang memang menghindari banyak perhatian. Padahal mereka masih memiliki darah biru yang kental dari...