1344 Masehi
Paman Mada menampakkan deretan gigi yang berkilau seperti mentari di atasnya, membuat netra kian menyipit dengan kerutan halus di sudutnya. Ia tergelak akibat prajurit bawahannya mencubiti pipiku yang dikata-kata bulat macam tubuh periuk. Aku menampik tangan-tangan usil itu seraya memperlebar jarak dudukan kami di bangku panjang teras kepatihan.
"Sudah-sudah! Bisa gawat jika Gusti Nertaja menangis." Paman Mada menghentikan aksi rekannya saat melihat mulutku melengkung ke bawah. Namun, hal itu malah membuatku semangat menggemborkan air mata supaya mereka kapok.
"Eh...." Kakang Nala yang paling gencar menoel pipiku sedari tadi tampak kelabakan.
"Gusti Nertaja, mari tinggalkan kakang-kakang nakal ini," ajak Paman Mada setelah menyandarkan tombak di dinding bilik kepatihan. Rekan-rekannya masih duduk di bangku sambil garuk kepala melihat langkah kami.
Paman Mada mengantarku menuju ruang Ibunda yang didominasi warna keemasan serta sebuah sokoguru yang disangga umpak¹ menjulang di tengahnya. Aku mendapati Ibunda dan Eyangnda Gayatri sedang berbincang serius dengan Kanda Tetep². Setelah menghaturkan sembah, Paman Mada undur diri sembari mengedipkan matanya jahil padaku. Aku menjulurkan lidah padanya. Setelah sadar, aku menengok ke arah Ibunda yang menatapku garang, serta Eyangnda yang menggeleng-geleng maklum.
"Aduh anandaku, jangan berlaku kurang adab. Kamu ini seorang putri, lho" Ibunda beranjak dari dampar kencana hingga selendang merahnya bergerak bagai air mengair, kemudian jemarinya yang jengkit mengelus rambutku.
Setelah Ibunda kembali duduk di dampar kencana, perhatianku tertuju pada Kanda Tetep yang sedari tadi tak mengacuhkan kedatanganku. Rautnya datar menekuri lembaran lontar di atas meja pendek di hadapannya. Aku menjulurkan leher, mengintip isi lontar itu yang ternyata sebuah kidung.
"Ah, aku bosan dengan tulisan-tulisan ini. Kenapa tidak Nertaja saja yang memaknai kidung-kidung ini?" Kanda tampak tertekan menatap Ibunda dan Eyangnda silih berganti, mengharapkan belas kasihan.
"Karena kau adalah Yuwaraja, putra mahkota Majapahit. Kau mesti punya bekal dari sekarang. Penggemblengan olah kanuragan saja tak cukup, Tetep. Kemampuan otot harus disertai kecerdikan otak untuk mengatasi hiruk-pikuk urusan istana," jelas Ibunda dengan tegas. Aku terkikik melihat Kanda yang menahan air matanya agar tidak menetesi lontar yang harus menjadi sahabat karibnya ke depan.
“Benar, Tetep. Kelak kau akan menjadi pembesar Wilwatikta. Mulai sekarang, kau mesti belajar menanggung beban yang akan mengharumkan namamu,” sambung Eyangnda Rajapatni Gayatri yang terkenal akan kelembutan dan kebijaksanaannya. Kasaya jingga yang membalut tubuh wreda itu menegaskannya sebagai seorang biksuni.
Karena bosan mendengar wejangan mereka yang tertuju pada Kanda, aku keluar menuju kepatihan lagi. Namun, tak ada siapa pun di rumah-rumah bata merah itu, barangkali latihan perang sudah dimulai di lapangan.
Aku keluar dari area itu sembari celangak-celinguk mencari seseorang yang sekiranya bisa diajak berbincang. Aku berlari kemudian mencekal lengan Indudewi yang terperanjat mengetahui kehadiranku. Aku memutar bola mata mendapatinya yang tampak takut padaku.
"Indudewi, kenapa kau selalu ketakutan begitu?" Aku berujar ketus.
"Maaf, Yunda. Aku hanya kaget karena Yunda datang tiba-tiba." Ia menjawab sembari menunduk memilin ujung selendang biru yang tersampir di bahunya, tak mau menatapku seolah-olah di mataku terdapat bara api yang bisa membakarnya.
Atensiku beralih pada tanaman mahkota dewa yang berbuah merah menggoda di ujung tenggara wilayah istana. "Wah, itu bisa dijadikan bahan untuk masak-masakan."
"Jangan, Yunda. Nanti jatuh." Peringatan Indudewi tak kuhiraukan.
Kugapai-gapai buah merah itu yang serasa mengejekku karena tanganku tak kunjung sampai padanya meski kakiku telah di bibir jurang. Aku tak takut apabila terjatuh karena jurang itu tak begitu dalam dan tanahnya gembur.
Sekonyong-konyong Indudewi mencekal lenganku dari belakang seraya membujukku supaya tak membahayakan diri. Bukannya menyelamatkanku, adik tiri yang lebih muda dua tahun dariku itu membuatku kehilangan keseimbangan kemudian kami terjun bersama diiringi pekikan yang menggema.
Kami menangis di dasar jurang sebelum seorang penjaga istana menggendong kami ke atas. Kemudian para dayang menggiring kami untuk menemui Ibunda yang siap dengan wejangan mematikan.
“Sudahlah, Gitarja³. Namanya juga anak-anak. Kau dulu juga nakal seperti itu.” Eyangnda Gayatri berdiri di depanku dan Indudewi yang bertimpuh pasrah. Aku memeluk kaki Eyangnda, berlindung dari amarah Ibunda yang benar-benar membuatku ciut.
Sejak kejadian itu, Ibunda memberi kami penjagaan lewat bibi emban yang selalu melarang ini-itu dengan kecerewetannya. Bibi emban yang menjadi buntutku bernama Ni Wuri yang usianya masih belasan tahun.
Aku berlari menuju kepatihan sambil mengangkat selendang merah jambuku tinggi hingga berkibar-kibar. Angin semilir menerbangkan rambutku yang mulai kering sehabis keramas. Matahari telah tiba di ufuk barat, menyorot dari sela-sela pohon kemboja dan asoka yang menjadi pagar jalan berbatu menuju tempat Paman Mada dan prajurit Bhayangkara lain beristirahat.
"Gusti mau ke mana?" Ni Wuri menyeletuk sambil terengah-engah menyusul langkahku.
"Menemui Paman Mada," jawabku.
"Alangkah baiknya Gusti Nertaja kembali ke istana. Hari mulai gelap."
"Memangnya kenapa? Tak ada hantu yang berani menerkamku." Aku berkacak pinggang.
"Bukan begitu, Gusti. Kata orang tua dahulu, sambikala namanya sore-sore begini anak kecil masih di luar."
Aku membeliakkan mata pada Ni Wuri yang mengataiku anak kecil. Aku ini sudah besar, dua minggu yang lalu usiaku genap tujuh tahun.
"Maaf, Gusti. Bukan maksud hamba—"
"Kau itu terlalu berlebihan. Ibunda saja tak keberatan, kok Ni berani melarang?"
Mendengar itu, Ni Wuri bungkam dengan kepala tertunduk. Ia mengikuti langkahku di atas pijakan batu-batu halus dengan tanaman asoka kuning di pinggirnya.
_______
¹ Umpak : Penyangga atau landasan tiang pendopo, biasanya terbuat dari batu.² Menurut Kitab Pararaton, Raden Tetep merupakan nama kecil Hayam Wuruk.
³ Gitarja : Nama Tribhuwana Wijayatunggadewi sebelum menjadi ratu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nertaja (Sang Rani Pajang)
Ficção HistóricaPara pujangga enggan menulis kisah Bhre Pajang, bahkan namanya pun jarang sekali dimuat dalam kakawin maupun serat. Begitu pula dengan puspa hatinya yang memang menghindari banyak perhatian. Padahal mereka masih memiliki darah biru yang kental dari...