21. Selepas Lima Warsa

75 15 8
                                    

Kanda tak ripuh lagi memusingkan pinangan-pinangan yang menghampiriku. Ia akan mengadakan pertemuan dengan para pengageng⁴² istana dan kepala daerah atau bhre yang rutin dilangsungkan pada bulan Caitra⁴³, untuk membahas tanggung jawab pemerintahan di daerahnya masing-masing.

Dua hari lamanya para dayang bersih-bersih istana terutama balairung, dan para juru masak menyiapkan jamuan. Para penabuh gamelan menggotong alat musik ke pendopo sebelah balairung sebelum mengalunkan nada-nada sebagai bentuk persiapan besok. Aku dan Sudewi menyertai latihan para penabuh gamelan karena kami akan menari diiringi Gending Majapahit.

Hingga tibalah saat yang dinanti-nanti esok harinya. Tak berselang lama setelah sang rawi memancar, gamelan mulai dibunyikan menyertai lenggak-lenggok penyambutanku dan Sudewi di atas pendopo bak panggung penghiburan. Netraku menekuri lantai kayu pendopo seraya mengingat-ingat runtutan gerak tari. Sekali aku mengangkat pandangan, langsung bertubrukan dengan manik gelap lelaki yang menjadi pemenang hatiku, Sumana. Tak mampu aku bertatap dengannya lebih lama karena gerakanku tersendat, kontras dengan debaran di dada yang seperti genderang perang.

Aku baru sadar dalam pertemuan ini, wajar Sumana ikut hadir karena tahun depan ia bakal menjadi Bhre Paguhan, tahun yang sama denganku naik takhta menjadi Bhre Pajang. Sial, itu artinya kami akan berada di balairung mengikuti pertemuan.

Cinta dan rasa sakit saling berkejaran. Kegembiraanku membuncah dapat berjumpa dengan cinta pertamaku yang hingga kini masih bersemayam di hati, tak memperkenankan lelaki lain mendobraknya. Namun saat mengingat cintaku bertepuk sebelah tangan, dadaku nyeri, menjalar ke seluruh raga hingga pelupuk mataku menjadi waduk.

Sementara para kerabat berkumpul seraya membincangkan politik wilayah kekuasaannya, aku menangkap basah Sumana yang mencuri pandang terhadapku. Aku menatapnya sendu, seakan menyalurkan kerinduan yang menyiksaku disertai harapan semu. Namun percuma, ia segera memalingkan muka setiap aku membalas tatapannya. Ia terlalu remang untukku yang gamblang.

Menghapus cinta pertama ketika remaja tak semudah yang diharapkan.

***

"Nuhun, Gusti Putri. Apakah Gusti sudah selesai makan malam?" Ni Wuri melongok dari ambang pintu ruang makan yang kosong jika aku tak berdiam di sini seusai makan malam bersama.

"Ada apa?" balasku, beranjak menghampirinya.

"Gusti harus mempersiapkan hati sebelum saya mengutarakan pesan." Tarikan di sudut bibirnya membuatku kian curiga.

"Katakan, Ni."

"Raden Sumana menunggu Gusti Putri di taman."

"Bagai cemeti dewa di tanah gersang. Gerangan apa dia mengajakku bertemu?!" Aku membelalak. Panas menjalari seluruh wajahku, sengatan aneh merambat di sekujur tubuh. Kudapati Ni Wuri mengikik seraya menutup mulutnya. "Ambilkan aku miswak, Ni. Aku ingin bau napasku segar."

Aku tak dapat menahan sudut bibirku yang tertarik ke atas. Setelah mengoles wewangian mawar dan mematut penampilan di pantulan cermin, aku menahan Ni Wuri yang hendak menyertai dengan dalih menjagaku jikalau Sumana berniat buruk. Aku menenangkannya dengan menunjukkan keris kecil yang terselip di balik ikat pinggangku.

Sepanjang jalan tak kujumpai kerabat yang datang dari luar Kadatwan. Barangkali mereka menenangkan diri di tempat nyenyat atau sudah tidur berhubung aktivitas istana mulai lengang pertanda waktunya rebah di peraduan.

Alas kaki dari kayu menimbulkan suara yang cukup jelas karena kelengangan suasana malam. Kumeretak oncor yang diikat di sokoguru menjadi teman langkahku. Aku menghentikan langkah sebelum menjejakkan kaki di taman, menikmati alunan seruling dari sosok berambut lebat yang tengah mendongak mengagumi purnama. Aku duduk di sisinya, ia terperanjat atas kedatanganku yang tanpa aba-aba.

"Gusti Nertaja, bagaimana kabarnya?"

Ia pandai menetralkan raut dalam sekejap, dari terkejut menjadi normal. Suaranya menggetarkan hati seorang putri yang mengidamkannya sejak lima warsa terakhir, digandrungi rasa penasaran apakah cintaku bertepuk sebelah tangan atau justru mendapat balasan yang berlipat ganda.

Aku berdeham sebelum menyahut, "Sehat lahir batin. Raden Sumana sendiri bagaimana?"

"Selayaknya Gusti Nertaja." Kemudian kami diselimuti hawa canggung di tengah paduan suara jangkrik dan katak yang merayakan musim hujan. Di dalam kepalaku, berseliweran topik-topik klise yang mungkin dapat melucuti kecanggungan. Namun, aku seperti kehilangan diriku sendiri. Mendadak aku jadi pendiam, malu-malu. "Tak kusangka perguruan dan tempat semadi kita sama." Ia kembali membuka suara sambil menatapku yang berusaha menetralkan debaran dada. Kumis dan rambutnya selalu membuatku jatuh kian dalam.

Udara makin dingin menembus selendang merah jambu yang tersampir di bahuku. Aku mengerling pada tubuh berotot di sampingku yang telanjang dada.

"Rad—"

"Nu—"

Aku mengatupkan mulut, begitu pula dirinya yang bertingkah gugup tetapi menggemaskan. Ia memberi isyarat agar aku duluan yang berbicara.

"Raden Sumana pasti juga merasa dingin." Kemudian aku menyampirkan sisi selendangku di bahunya. Tubuh kami lebih dekat, bulu halus di tanganku serempak berdiri. "Apa yang tadi hendak Raden utarakan?"

"Terima kasih." Ia membenarkan selendang di pundaknya seraya tersenyum. Sungguh, perasaanku kian meletup-letup. "Nuhun jikalau aku lancang. Aku hendak menanyakan seperti apa pria dambaan Gusti Nertaja? Karena aku mendengar kabar bahwa Gusti menolak dua pinangan dari pangeran yang menjadi idaman banyak wanita."

Aku bergeming, menatap maniknya selama enam kedipan meski perasaanku meluap-luap.

Selepas aku memalingkan muka, ia melanjutkan, "Aku sering mendapat mimpi bersamamu. Hingga rasanya aku lebih mengenalmu melalui mimpi itu, karena selama ini kita tak begitu dekat untuk tahu satu sama lain. Mimpi itu bermula sejak aku melihatmu di Gua Sono. Dan kurasa aku jatuh hati padamu. Tapi mendengar kau menolak banyak pangeran, aku jadi berkecil hati."

Keberanian mencuat setelah aku mendapat kepastian akan perasaannya yang begitu lama membuatku dibayangi rasa penasaran. Cintaku tak bertepuk sebelah tangan lagi. Tak sia-sia aku menolak dua pangeran yang sempat membuatku bimbang. "Kau yang aku tunggu selama lima warsa, ketika kau hadir di pertemuan seperti ini bersama ayahandamu."

Tak ada rayuan manis, tak ada surat-menyurat. Kilas balik yang diceritakan Sumana menegaskan bahwa ia memang sosok yang pandai menyembunyikan perasaannya. Purnama menjadi saksi sifatku dan Sumana tertukar malam itu, sebab aku lebih banyak diam sementara Sumana menguraikan ketertarikannya padaku.

"Aku terpikat padamu sejak kau masuk ke Padepokan Mpu Dwijokangko. Saat kau menyapaku dan Hamsa, aku pura-pura menghindar karena aku merasa tak pantas. Kemudian aku berusaha menepiskan perasaan yang cukup mengusik keseharian itu. Namun, kupikir inilah takdir kita. Pertemuan di istana, padepokan, dan gua cukup meyakinkanku untuk mengutarakan perasaan saat ini juga. Dan setelah kutahu bahwa kau juga menunggu sekian warsa, aku sungguh-sungguh menginginkanmu menjadi garwa kinasih-Ku."
_______
⁴² Pengageng : Pejabat.
⁴³ Bulan Caitra : Maret-April.

Nertaja (Sang Rani Pajang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang