Ayahanda Cakradhara tak menudungi roman suka cita ketika menyambutku di pendopo dengan pelukan hangat. Senyumnya menandingi sang rawi yang benderang di ufuk barat. Netranya menyaingi rembulan sabit yang sekejap lagi menduduki singgasana di cakrawala. Aroma kembang kasturi menguar dari raga kokoh sang Bhre Tumapel.
"Sudah lama Dinda tidak mengunjungi Ayahanda." Ia membuka suara.
"Benar, Ayahanda. Maafkan Dinda. Kakanda Tetep baru saja melakukan kunjungan ke Lasem. Ihwal apa yang membuat Ayahanda tak ikut serta?" tanyaku setelah Ayahanda melepasku.
"Ayahanda sedang melerai dua watak³⁴ yang terlibat perebutan daerah."
"Mengapa mereka bisa berebut? Bukankah perbatasan wilayah sudah jelas diberi pasak?"
"Dinda tak perlu memikirkannya. Semua sudah tuntas. Mereka hanya salah paham karena pasaknya berpindah tempat."
Ayahanda mengajakku ke dalam keraton, perhatianku teralih hingga sadar kehadiran Ni Wuri yang sedari tadi berdiam bak arca. Aku menggamitnya, bersama menuruni undakan pendopo kemudian mengekor Ayahanda menuju bangunan utama Keraton Tumapel.
Aku dan Ni Wuri dilayani dengan baik oleh para dayang. Pengawal yang mengantarku dari Kadatwan pun mendapat jamuan di ruang yang berbeda. Selepas aku membersihkan diri dan berganti pakaian, juru masak telah selesai menata hidangan di atas meja rendah di ruang makan yang beralas kulit macan.
"Ayahanda paham betul makanan kesukaanku," ujarku seraya mengambil lauk iwat taluwah untukku dan Ni Wuri yang seakan malu-malu padahal mau.
"Hati-hati, durinya jangan dilahap."
"Ayah kira aku masih anak-anak yang tak tahu mana bagian yang mesti dimakan dan mana yang bukan?" Aku pura-pura merajuk.
"Bagiku, Dinda selalu menjadi putri kecil yang ceroboh." Ayahanda terkekeh, menampakkan deretan giginya yang putih rapi berkat miswak³⁵ yang dikenalkan pedagang Arab.
Serangga malam bersuara, hiruk pikuk istana mulai lengang menandakan waktunya berihat memulihkan tenaga untuk esok.
Ni Wuri kutitahkan tidur lebih dulu sementara aku dan Ayahanda bercengkerama di pendopo sembari menikmati dinginnya udara malam. Selendang merah jambu bertengger di bahuku, menghalau angin yang hendak menikam kulitku.
"Kunjunganmu kemari tentu bukan tanpa alasan, benar?" tanya Ayahanda.
"Leres, aku mendapat titah dari Ibunda untuk meminta restu pada Ayahanda sebelum aku bersemadi di Gua Sono," tuturku.
"Gua Sono yang ada di Giri Gisik³⁶?"
"Benar, Ayahanda. Supaya kemampuan batinku lebih tajam dan siap naik takhta menjadi Bhre Pajang."
"Tentu aku merestuimu sepenuh hati. Besok akan kugelar upacara selamatan sebelum kau kembali ke Kadatwan."
***
Usai mendapat restu dari Ayahanda, aku benar-benar diberangkatkan dari Kadatwan menuju Gua Sono yang berada di wilayah Giri Gisik menggunakan kereta kuda yang dihias sedemikian rupa. Aku senantiasa menampilkan mimik tenang di antara guratan senyum simpul kemudian menular pada kerabat yang menyaksikan keberangkatanku. Pandanganku terarah pada Ni Wuri yang mesem meski air mata membanjiri pipinya. Hatiku trenyuh, air mata ikut luruh. Ia sudah kuanggap sebagai kakak perempuanku sendiri. Setiap aku memiliki keganjilan hati, Ni Wuri selalu menjadi pendengar yang baik. Sebelumnya, aku biasa saja berpisah dengan Ni Wuri ketika pergi ke Padepokan Mpu Dwijokangko. Namun, kali ini berbeda. Beberapa purnama terakhir kami lebih dekat, ke mana-mana selalu bersama.
Meski sedikit resah, aku teringat wejangan yang pernah disampaikan Mpu Dwijokangko bahwa jangan sekalipun gentar. Sebab, alam akan mengabulkan apa yang menjadi buah pikir kita. Jika kita gentar terhadap sesuatu yang belum tentu terjadi, maka terjadilah. Dengan begitu, alangkah baiknya kita memikirkan hal baik.
Bersemadi selama enam purnama berarti aku harus menahan nafsu selama itu. Aku juga teringat ajaran Mpu Dwijokangko. Jika berhasil menaklukkan hawa nafsu, entah itu nafsu perut maupun seksual, maka kita akan berada dalam situasi layaknya anak kecil yang bertindak apa adanya, jujur, tulus, serta tidak memiliki keinginan duniawi.
Tekadku membara. Keyakinanku menggunung. Kegusaranku sirna. Aku turun dari kereta kuda, menyaksikan pasukan yang mengantarku kini bertolak menuju Kadatwan, menyisakan dua pengawal yang akan menjagaku di luar tempat semadi.
Tak jauh melangkah, netraku mendapati keberadaan gua yang menjulang dengan agungnya. Di balik gua itu, sedikit terlihat asrama kadewaguruan yang hiruk-pikuknya tidak terdengar dari sini. Aku memasuki mulut gua, menikmati gelenyar yang membuat bulu halus di lenganku serempak bangkit.
Sejak sebelum aku lahir, keberadaan gua telah menjadi tempat pemujaan termasuk Gua Sono yang pernah menjadi tempat Kanda bermeditasi ini.
Aku membaca simbol berbunyi Om Swasti yang mendahului inskripsi yang terukir di sepanjang dinding sembari mengatupkan tangan di depan dahi. Setelahnya, aku terus menyusuri gua yang semula gelap berangsur-angsur terang meski tanpa penerangan. Gelenyar energi spiritual merambati tubuhku, mengukir senyum ketenangan dari bibirku.
Gua Sono memiliki banyak ceruk yang dua di antaranya telah dibuat tempat semadi orang lain. Aku tak begitu acuh, hingga kembali menaruh perhatian kepada salah satunya. Dadaku berdebar tak keruan, mataku membeliak pada lelaki yang duduk bersila seraya memejamkan mata. Rambut lebat serta kumis tipisnya selalu membuatku ingin memandangnya lama-lama, tetapi aku langsung tersadar di mana aku berada. Tak kusangka Sumana bersemadi di sini juga. Saat aku mulai bisa melupakan sosoknya, mengapa Sumana selalu muncul hingga membuat tresnaku datang lagi?
Aku memilih ceruk yang jauh dari tempat calon Bhre Paguhan itu, lekas mengambil posisi semadi seraya merapal mantra. Semadi kali ini terasa berat, sebab pikiranku tak bisa kosong setelah menjumpai Sumana.
_______
³⁴ Watak : Setingkat dengan Kabupaten yang dipimpin oleh Tumenggung atau Wiyasa.³⁵ Miswak : Siwak.
³⁶ Giri Gisik : Memiliki arti gunung di tepi pantai ; Kabupaten Gresik.
![](https://img.wattpad.com/cover/345142436-288-k305095.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Nertaja (Sang Rani Pajang)
Historical FictionPara pujangga enggan menulis kisah Bhre Pajang, bahkan namanya pun jarang sekali dimuat dalam kakawin maupun serat. Begitu pula dengan puspa hatinya yang memang menghindari banyak perhatian. Padahal mereka masih memiliki darah biru yang kental dari...