01. Prolog

1K 75 3
                                    

Pagi hari di Kota Seoul ini tak sehangat pagi biasanya bagi keluarga Choi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi hari di Kota Seoul ini tak sehangat pagi biasanya bagi keluarga Choi. Mentari yang terik nampak masih nyaman menyapa wajah-wajah sendu ke dua belas anak laki-laki tampan yang menundukkan kepala menatap ke arah pusaran yang masih sangat baru itu. Beberapa pelayat sudah kembali ke rumah mereka masing-masing, beberapa masih terdiam di sana merasa iba dengan ke dua belas anak tuan Choi yang masih diam mematung.

Tangis masih terdengar dari beberapa bibir mungil mereka, apalagi si bungsu —Choi Junghwan—yang menangis tersedu-sedu sambil menyembunyikan wajahnya di balik dada Yoshi yang tengah mendekapnya erat. Seandainya saja sang ayah berkenan untuk mendengarkan nasihat sekeretaris Jung untuk tak pulang larut malam dalam keadaan mengantuk, pasti kecelakaan maut tersebut dapat ia hindari dan saat ini pria single parent tersebut masih dapat bisa berkumpul dengan ke-dua belas mutiara hatinya. Tapi sekarang, apa gunanya menyalahi nasib 'toh nasi telah menjadi bubur. Segala bentuk penyesalan apapun tak akan mengembalikan nyawa yang telah tiada.

Sang kakak tertua, Choi Hyunsuk yang sejak kemarin bungkam nampak memandangi wajah-wajah sendu adik-adiknya. Tak ada yang terlihat baik-baik saja di antara sebelas adiknya. Oh tentu saja, mereka baru saja kehilangan pilar terkokoh dalam keluarganya. Wajah Jihoon terlihat begitu kusut, Junkyu yang diam-diam menangis meski sebisa mungkin menenangkan Haruto yang menangis dalam gendongannya, Yoshi yang mencoba tetap tegar sambil menenangkan si bungsu yang terus memanggil-manggil sang ayah, Asahi yang tengah mencoba menenangkan Jaehyuk pun Mashiho yang memandang kosong pada pusaran sang ayah sambil mendekap Jeongwoo yang tengah menangis, serta Yedam yang mengendong erat Doyoung yang terisak di bahunya. Adik-adiknya tengah begitu rapuh hingga rasa-rasanya angin dapat meremukan raga berisi jiwa yang tengah kosong itu.

Hyunsuk menyadari bahwa setelah ayahnya tiada, ia tak akan mungkin menelantarkan adik-adiknya tanpa adanya sosok orang tua. Maka ia lah yang harus mengantikan peran kedua orang tuanya agar ia dan adik-adiknya dapat tetap menjalani kehidupan setelah masa-masa sulit ini berakhir.

Diam-diam pria itu terlihat mencari-cari sosok sekretaris Jung yang mana merupakan orang kepercayaan sang ayah selama beliau masih hidup. Pria itu tanpa banyak bicara langsung menghampiri seorang pria berkacamata yang tengah berdiri terdiam tak jauh dari pusaran sang ayah.

"Tuan Jung" ucapnya pelan setelah ia tepat berdiri di depan pria tersebut.

"Iya Tuan Hyunsuk, ada yang bisa saya bantu?" ucap Tuan Jung sambil tersenyum, yang sangat jelas begitu dipaksakan.

"Apakah aku bisa menjalankan perusahaan ayah?" tanya Hyunsuk yang sukses membuat bola mata Tuan Jung hampir copot.

"Maaf apakah saya tidak salah dengar Tuan?" ucap Tuan Jung

"Tidak, Anda tidak salah dengar. Saya benar-benar ingin menjalankan perusahaan ayah. Saya tidak ingin kehidupan adik-adik saya tidak terbiayai. Saya tak ingin adik-adik saya mendapatkan masalah lainnya"

"Tapi bagaimana dengan impian Anda? Bukankah Anda hendak menjadi seorang musisi?"

Hyunsuk tersenyum miris, kepalanya mengeleng pelan, "Aku tidak bisa mengorbankan adik-adikku untuk hal yang tak pasti. Aku berjanji akan belajar mengenai bisnis dengan giat agar bisa menjalankan perusahaan ayah dengan sebaik-baiknya" ucap Hyunsuk penuh tekad.

My TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang