Sebelum masuk ke part yang satu ini, biar ku jelaskan lebih dulu. Saat ini Hechi tengah bernyanyi lagu potong bebek angsa. Meski nada dan liriknya belepotan, percayalah itu benar-benar lagu potong bebek angsa. Dan sebetulnya suara Hechi cukup bagus untuk di dengarkan, bahkan cukup bagus jika kelak dia bercita-cita menjadi penyanyi professional. Tipe suara yang, mulus masuk telinga, healing dan adem. Hechi itu hanya sedikit, benar-benar sediiikiiiiit saja menyebalkannya saat berbicara. Saat bernyanyi dan bertingkah polos seperti ini, kamu akan dengan mudah melupakan tengilnya dan memaafkan keisengannya juga akan jatuh cinta lagi padanya untuk yang kesekian kalinya. Betul? Harus betul.
"Potong potong angsa. Angsa wali, wali."
"Nona minta-minta-" ada jeda sebentar, dia nampak berfikir. Menggali ingatan tentang lirik lagu itu yang mudah sekali hilang di otaknya. "Minta minta kali. Sorong ke kiri. Sorong ke kiri."
"Serong ke kanan Nde." Mali yang baru saja keluar dari kamar mandi ditemani suster langsung menginterupsi lirik Mali yang salah.
"Nde mah salah liriknya, nih Aa ajarin dari awal ya." Mali mendekat. Jalannya sedikit tertatih karena tangannya masih terhubung dengan infus. Ow jangan lupakan dia yang belum memakai celana setelah membuang hajat beberapa menit yang lalu. Tutup mata semuanya, belalai Mali kelihatan.
"Potong bebek angsa. Masak di kuali." Suster Hechi mendekat setelah mengambilkan celana dalam dan satu celana pendek untuk Mali. Menunduk dan membantu Mali memakaikan celananya.
"Nona minta dansa, dansa empat kali." Tangan kecil Mali bertumpu pada bahu suster ketika satu persatu kakinya harus terangkat untuk memasukkan celana.
"Sorong ke kanan. Sorong ke kiri." Hechi nampak memperhatikan Mali dari arah berlawanan. Tangannya yang sejak tadi sibuk menggoreskan pensil diatas buku gambar kini berhenti, memilih untuk fokus pada Mali seutuhnya. Bibir kecilnya nampak terbuka ketika dia sedang dalam mode serius.
Sementara itu Johnny, Tiway, dan Jamal yang sejak tadi duduk di sofa sambil memainkan ponsel dan sesekali mendengarkan mereka, nampak sama-sama menyunggingkan senyumnya.
"Lalalalalalalalala...." Mali mengakhiri nyanyiannya. Celananya juga sudah terpasang rapi, siap bermain lagi.
"Syukur ya bang, Mali cepet banget pulihnya." Ucap Tiway. Tatapan ketiganya masih tertuju pada Mali dan Hechi yang kini berdiri berhadapan untuk menggambar bebek, eh angsa? Entahlah, mungkin juga kambing. Hechi menggambar hewan dengan kepala besar, tapi kaki kecil seperti ceker ayam. Jadi apa yang Hechi gambar?
"Hm." Johnny mengangguk. Ada seulas senyum di wajahnya, tidak seperti semalam yang nampak cemas sekaligus khawatir. Dan untuk pertama kalinya, Tiway melihat Johnny benar-benar sepanik itu selama hidupnya.
"Gue juga takut banget semalem bang, mana disini gak ada wanita yang lebih ngerti ngurusin anak. Gue minta maaf ya bang, udah bikin Mali sakit." Ujar Tiway. Nada bicaranya nampak tulus. Johnny menatapnya, tersenyum setelahnya.
"Enggak papa. Ini juga pelajaran buat gue supaya bisa jadi ayah yang lebih hebat lagi. Mali jarang banget sakit soalnya, jadi gue gak tau harus apa semalem waktu dia tiba-tiba sakit dan malah ngamuk waktu di infus." Jelas Johnny.
"Iya gue ngerti banget bang. lu bahkan sampe netesin air mata lu, gue inget banget. Kalo gue gak gendong Hechi diluar mungkin gue juga udah nangis bareng lu, lihat Mali yang kesakitan terus ngelihat dia yang biasanya kalem tiba-tiba ngeraung-raung waktu mau di infus sampe harus di pegangin perawat." Imbuh Tiway. Pikiran mereka kembali berkelana pada kejadian semalam, saat keduanya begitu kebingungan dan khawatir.
"Bang Johnny nangis? Serius bang, lu nangis?" Tanya Jamal. Matanya melotot, nampak tidak percaya. Abangnya yang satu ini memang anti sekali menangis. Bahkan ketika istrinya meninggal dia hanya akan menangis sendirian dan tidak pernah sekalipun menunjukkan air matanya di depan siapapun. Tapi kali ini, dia menangis. Dan itu karena Mali, karena melihat anaknya sakit. Hati Jamal tiba-tiba terenyuh. Sepertinya abangnya ini sudah punya cinta seorang ayah. Hatinya menjadi lebih lembut dan diliputi oleh kasih sayang. Juga bagaimana cara dia berbicara ketika dengan Mali dan Hechi, benar-benar tidak seperti abang yang mereka kenal. Abang ketika remaja, yang kapanpun dia bicara, nada bicaranya tidak pernah lembut meski bercanda.
"Ehm. Gue juga nggak tau sejak kapan hati gue jadi letoy gini kaya barbie plastik. Tapi tiap ada hal yang berhubungan sama Mali dan Hechi, apalagi kalo lihat mereka luka atau ada yang nyakitin, gue bener-bener gak bisa maafin diri gue sendiri. Mereka hidup gue sekarang. Karena mereka gue masih bisa bertahan dan punya tujuan hari ini. menurut lu, apa yang tersisa dari orang yang patah ditinggalkan oleh istrinya selamanya? Semangat hidup? Udah gak ada." Johnny menghela nafas sebelum melanjutkan.
"Gue gak nemu lagi alasan untuk hidup. Sisa cinta gue udah gue habiskan cuma buat dia. Tapi saat lihat Mali dan Hechi, gue ngelihat dia. Gue ngelihat cinta dia dalam wujud dua manusia lucu ini. Mereka anugerah terbesar yang akan gue jaga dengan nyawa gue sendiri kalo perlu, sampai kapanpun. Karena itu, saat gue gak ada, tolong jaga mereka. Tolong jaga harta gue yang tersisa."
Tiway dan Jamal tidak mampu berkata apapun lagi, begitupun dengan para suster yang ikut mendengarkan. Keduanya hanya mengangguk, menyetujui ucapan Johnny, dan berjanji untuk menjaga Hechi dan Mali sampai kapanpun.
"Tapi hari ini hati gue patah." Johnny menunduk, seolah-olah dia benar merasa sedih.
"Kenap bang, siapa yang matahin?"
"Iya bang, biar gue habisin mereka. Tenang aja, gue punya kenalan preman paling kuat di kota ini bang." Jamal mengambil ancang-ancang. Mengepalkan tangannya, seolah bersiap untuk meninju seseorang.
Johnny menggeleng. "Hechi bro, bibir Hechi udah gak suci lagi."
"Anjirlah, gue kira apaan." Jamal langsung terduduk. Kembali bersandar pada sofa. Mereka kira, Johnny benar-benar sakit hati karena hal besar. Tapi hey, itu hal besar. Johnny benar-benar berpengalaman, bahwa menjaga ciuman pertama itu sangat penting. Bagaimana Hechi akan selamat dari istrinya jika suatu hari nanti istrinya tau bahwa Hechi sudah pernah mencium oranglain dan bukan istrinya yang pertama.
"Lu tenang aja, itu tadi kita cuma becanda." Ucap Tiway.
"Becanda? Maksud lu gimana?"
"Hechi emang gak sengaja nyium Arini, tapi bukan dia yang nyosor. Itu dia kejengkang waktu rebutan gulali sama temennya terus nubruk Arini deh." Jelas Jamal.
"Lu tenang aja bang, kita cuma iseng mau lihat reaksi lu gimana."
Johnny nampak menunduk, terdiam. Setelahnya dia mendongakkan kepala. Ada kilatan amarah pada matanya. Kedua tangannya mengambil bantal yang berjejer di sofa. Sebelum kemudian kedua bantal itu di lemparkan pada Tiway dan Jamal setelah dia membisikkan sesuatu dengan penuh tekanan, namun masih bisa di dengar Tiway dan Jamal.
"Anjir!"
"Ampun, Bang!" Tiway dan Jamal berlari keluar ruangan, diikuti Johnny yang mengejar mereka dengan dua bantal lainnya yang dia ambil dari lantai.
Sementara itu Hechi dan Mali yang masih hafalan lagu potong bebek angsa terdiam melihat kelakuan ayah dan para om nya.
"Papah sama Om kenapa?" tanya Hechi.
Mali mengedikkan bahu. "Enggak tau. Lanjut ajalah biarin orang dewasa mah." Hechi pun mengangguk.
Keduanya kembali sibuk menggambar angsa sambil menyanyikan lagu potong bebek angsa.
"Angsa wali wali."
.
.
.
.
.
Syalalalalallalalala....
Hehehe... Gimana episode kali ini.
Silahkan like, komen dan share.
Babay....👋👋👋👋
KAMU SEDANG MEMBACA
PAPA & BOYS (Johnny, Mark, Haechan NCT)
FanfictionCeritanya kek ciki. Ringan, tapi bikin candu. Tapi jangan ngeremehin ciki. Manisnya bisa bikin kamu nagih tapi pedesnya bisa bikin kamu nangis. Udahlah baca aja.