Pukul 10 pagi. Taman kompleks memang biasanya ramai pada jam itu. Saat dimana anak PAUD dan TK pulang sekolah. Tentu saja juga kesempatan untuk para pedagang gerobak melariskan jualannya.
Mata Hechi berbinar, dia melangkah dengan riang menuju penjual arumanis langganannya bersama suster yang terus menggandeng tangannya sedari tadi.
"Gulali bentuk ayamnya satu ya bang, ini uangnya." Suster mengulurkan uang sepuluh ribu rupiah yang diterima sang penjual gulali setelahnya.
"Suster duduk di bangku sana ya dek?" Hechi mengangguk. Memang sudah biasa seperti ini. Suster hanya memesankan dan membayar, sisanya Hechi yang menunggu di depan gerobak sambil mendongakkan kepala, menatap arumanis yang tengah dibuat diatas sana. Badannya yang kecil sesekali membuatnya harus berjinjit. Sudah biasa juga untuk Hechi menunggu gulali sembari dikerumuni oleh anak-anak kecil lainnya.
Jika diibaratkan, mungkin Hechi seperti tai yang dimanapun dia berada, akan ada lalat berkerumun disana.
Tunggu sebentar, sepertinya pengibaratan ini terlalu jelek. Maksudnya seperti bunga dengan sari yang manis, yang dimanapun dia berada akan dihinggapi oleh kupu-kupu. Tapi tunggu, bunga hanya dihinggapi beberapa kupu-kupu saja sedangkan Hechi dikerumuni oleh banyak orang. Hey! Dia lebih mengagumkan daripada bunga, bahkan bukan hanya teman-temannya, teman Mali pun ikut berkerumun menghampirinya. Mungkin perumpamaan yang pertama memang lebih cocok walaupun sedikit menjijikkan.
Sebuah mobil terparkir di jalan kompleks ini. Nampak seorang lelaki yang- oh Tiway, rupanya.
Ya hari ini dia memang berencana menjemput Hechi sepulang sekolah untuk kembali ke rumah sakit menemani Mali. Ternyata dia tidak sendiri. Dari pintu penumpang muncul Jamal yang kini berjalan gagah dengan lesung tampan di pipinya. membuat ibu-ibu, kakak-kakak, dan para suster disana menatap kagum padanya. Tapi tidak dengan para bocil, tentunya. Mereka sudah punya primadona sendiri. Ya, Hechi dan Mali. Sayangnya Mali hari ini tidak ada, jadi seluruh perhatian terarah pada Hechi. Tentu saja, jangan abaikan member geng Toa lainnya. Ya, begitulah Dimas menamai sekumpulan bocil bermulut petasan yang kalo ngomong tidak bisa pelan, harus teriak, pake tenaga dalam, tapi tampan membuat ibu-ibu komplek otomatis memuji kehadiran mereka dan berlomba-lomba untuk menjodohkan anak perempuan mereka saat dewasa nanti. Apakah para bocil itu tidak cepirit saat mati-matian berdebat sesama mereka? Padahal jelas-jelas jarak mereka sangat dekat. Jadi, apa yang membuat mereka harus berteriak?
Jadi, mari berkenalan dengan Geng Bocil yang satu ini. Geng Toa Komplek. Dan member yang Dimas kategorikan sebagai Geng Toa Komplek diantaranya adalah: Hechi dan Mali, tentu saja. Dua ponakannya ini sangat andal dalam berbicara keras dan berdebat. Meski terlihat kalem, Mali cukup kompetitif untuk ikut bergabung dalam geng ini. Lalu ada si tampan Jemin, dan si kecil yang sangat physical attack Nono, dan si gemes berkulit kinclong yang tidak sabaran terutama saat berhadapan dengan Hechi tapi berhati lembut -makannya sering ngadu ke mamanya kalo di dorong Hechi-, ya Injun.
"Abang aku mau gulali ayam juga." Itu adalah Injun. Bocah yang baru saja tiba dan ikut mendongakkan wajahnya sembari ikut berdiri di samping Hechi. Hechi menatapnya sekilas, lalu berbalik lagi menatap gulali ayamnya yang hampir jadi.
"Oke. Tunggu sebentar ya." Jawab abang penjual gulali tersebut.
Tak lama setelahnya abang penjual gulali itu menyodorkan gulali berbentuk ayam diantara Injun dan Hechi. Sama-sama memesan gulali ayam, keduanya merasa itu adalah milik mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAPA & BOYS (Johnny, Mark, Haechan NCT)
Fiksi PenggemarCeritanya kek ciki. Ringan, tapi bikin candu. Tapi jangan ngeremehin ciki. Manisnya bisa bikin kamu nagih tapi pedesnya bisa bikin kamu nangis. Udahlah baca aja.