Special Chapter For You || 3. vs (part 2)

783 92 6
                                    

Udah bikin draft yang ini tadi.
Terus ke hapus.
Sampe dua kali malah.
Aku keseeel 😣😣😥
Tapi aku ngalah, aku tulis lagi sekarang.
Jadi telat upload.
Mianeeeeeee....😭😭

Pen banting hp tp hpku cuma ini.
Aku masih waras ternyata wkwkkwk...

Selamat membaca 📖
.
.
.

Arjeno Anggara. Anak laki-laki berpangkat ketua OSis itu baru saja memasuki ruang kepala sekolah bersama dua anak laki-laki lainnya, Nana dan Injun.

Ketiganya berhenti setelah cukup dekat dengan kepala sekolah. Nono maju, meletakkan sebuah flashdisk berwarna hitam merah di atas meja pria paruh baya itu.

"Ini bukti cctv pengeroyokan tadi, pak." ujarnya.

Pria dengan kacamata di hidungnya itu mengangguk. Lalu bergerak meraih flashdisk dari mejanya.

"Apa penyebabnya?" Dia bertanya.

"Dua hari yang lalu, Mali, mantan ketua OSIS kita memergoki tersangka, Awan, yang tengah merokok di belakang gedung kelas 12 pak." Jawab Nono. Dia mengambil nafas sebelum melanjutkan penjelasannya.

"Mali yang juga merupakan kakak korban, mendapat ancaman pengeroyokan jika berita itu sampai ke komite disiplin sekolah. Korban yang mengetahui hal itu sempat membantu Mali untuk melawan Awan yang hampir menghajarnya habis-habisan bersama teman-teman dia yang lainnya.

Mereka sempat kalah. Lalu tadi, tersangka di duga melakukan penyerangan terhadap Hechi karena tujuan balas dendam terhadap kejadian dua hari yang lalu." Ungkap Nono.

Pria itu menganggukkan kepala di tempatnya, mengerti. Lalu dia kembali bertanya. "Ada lagi?"

"Tersangka juga merupakan dalang dari kejadian dua minggu yang lalu, ketika gedung sekolah di penuhi coretan kata-kata kasar menggunakan pilox, pak. Ternyata Awan pelakunya. Selain fasilitDas itu, Awan juga sering merusak fasilitas lain seperti menendang keras pintu kamar mandi atau pintu-pintu kelas saat tidak ada guru. Dia juga sering memalaki uang adik kelas, pak. Dia persis seperti preman. Sayangnya, tingkahnya tertutup oleh prestasi akademiknya." Kali ini Nana yang bersuara.

"Baik kalian boleh kembali ke kelas. Sisanya, saya biar yang urus." Ucap pak Kepala sekolah final. Ketiganya mengangguk, lalu berbalik meninggalkan ruangan besar itu. Setelah keluar pintu, Nana baru sadar Injun tidak ikut keluar bersama mereka. Dia ini memang suka lepas jika tidak di pegangi. Maka dengan berat hati, Nana kembali melengokkan kepalanya ke ruang penting itu. Cengengesan saat tatapnya bertemu dengan mata pak kepala sekolah.

"Misi ya pak. Njun ayok." Ucapnya sembari melambai pada Injun.

"Duluan. Gue ada urusan." Injun menjawab. Nana mengangguk mengerti dan kembali lagi bersama Nono.

Sepeninggalan keduanya Injun terus saja memandangi kepala sekolah, tanpa bicara. Hingga akhirnya pria itu memutuskan berbicara lebih dulu. "Iya papa tau. Mereka temen kamu kan?" Ucap pria itu.

Injun mengangguk. "Papa harus pastiin kasusnya tuntas. Pastikan Mali dan Hechi mendapatkan keadilan pa, mereka tidak bersalah." Ucap Injun tegas.

"Kamu percaya papa?"

Anak laki-laki itu mengangguk. Setelahnya terbit senyum lebar di bibirnya. "Aku percayakan semuanya sama papa. Thanks Brow!" Ucapnya santai seraya menepuk bahu kepala sekolah tersebut.

"Seenaknya sekali menepuk bahu mahal kepala sekolah." Pria itu mencibir seraya mengusap bahu bekas tepukan Injun sebelum bocah itu pergi dari ruangannya. Injun hanya terkekeh, lalu benar-benar menghilang dari balik pintu.
.
.
.

Hechi sudah sadar sejak sore tadi. Keadaannya lebih baik karena dia sudah melewati masa kritisnya. Dia bahkan sudah bisa tertawa lepas lagi saat Mali dan Johnny yang tengah membantu mengelap badannya, menggelitiki ketiaknya.

"Aah aw aduh aaa... ampun pa, ampun. A geli!" Dia sampai menjerit tanpa sadar. Menyadari suaranya terlalu melengking, dia metup mulutnya dengan tangan yang di balut infus.

"Eh kok kayak banci." Ucapnya pada diri sendiri. Setelahnya dia kembali tertawa. Tapi tidak dengan Johnny pria itu justru khawatir karena tangannya yang di infus terlalu banyak digerakkan sejak tadi.

Dia ini, memangnya tidak sakit? Luka lebam memenuhi hampir seluruh tubuhnya, tapi dia terus saja tertawa.

"Jangan kebanyakan gerak nde! Infusmu lepas nanti." Ucap Johnny. Sorot mata ayahnya itu sangat menakutkan. Dia bahkan tidak tertawa sedari tadi. Melihat itu, Hechi berdeham lalu mengangguk. Menghentikan tawanya.

"Papa anterin ini dulu." Pria itu keluar untuk membuang bekas air mandi Hechi. Menyisakan Mali dan Hechi disana. Mali mengusap seluruh tubuh Hechi dengan handuk kering. Tetap saja, bocah itu nampak mengigil.

"Pake baju a, dingin!" Ucapnya. Mali mengambil pakaian yang dibawakan Nono dan yang lainnya dari rumah saat berkunjung satu jam yang lalu. Lalu dengan hati-hati dia membantu Hechi memakaikan bajunya.

Ditengah kegiatan itu, Mali tiba-tiba bersuara. "Gue marah." Ucapnya.

Hechi menaikkan alisnya tidak mengerti.

"Gue marah karena lu harus terlibat hal berbahaya seperti ini karena gue." Ucapnya.

"Emang ini karena aa? Sok tau." Hechi mengelak.

"Gue tau, bukan sok tau. Lo ngerasa hebat bisa ngadepin mereka sendiri? Terus dipukulin sampe bonyok gini? Sampe masuk rumah sakit gini? Ngerasa hebat? Lu enggak hebat." Suasana disana menegang saat Mali mengungkapkan isi hatinya.

"Papa nitipin lu ke gue. Dan sekarang apa? Lu luka gara-gara gue nde!"
Hechi hanya diam menunduk. Bajunya sudah terpakai rapi di tubuhnya.

"Lain kali ajakin gue. Gue juga mau jotos muka si Cungkring, bukan lu doang. Gue juga mau ngerasa hebat, bukan lu doang yang bisa bonyokin si cupu itu. Ngerti?" Setelahnya terbit senyuman lebar di bibir Hechi.

"Ey, gue udah takut aa marah anjir! Iya, lain kali gue gak bakal sendirian. Lain kali gue panggil aa. Makasih ya a." Hechi memeluk Mali erat. Menyandarkan kepalanya di bahu kecil itu.

Sementara Johnny yang sejak tadi mendengarkan di luar pintu kamar  tersenyum. Nono, Nana dan Injun sudah menjelaskan semuanya saat mereka berkunjung tadi. Meski harus berakhir dengan Hechi yang terluka, Johnny bangga. Johnny bangga karena keduanya ternyata tetap saling menjaga. Tidak ada yang berubah meski mereka dewasa. Cinta dan perhatian mereka terhadap satu sama lain juga masih sama. Johnny bangga. Tapi selain itu, Johnny akan tetap menjadi tameng yang akan selalu siap memastikan mereka baik-baik saja. Maka untuk dia yang berani menyentuh kedua anaknya. Mereka pantas mendapat ganjarannya.

"Hallo. Urus semuanya." Sambungan terputus. Johnny menarik ujung bibirnya. Ada smirk yang terlihat menyeramkan disana. Sedetik kemudian dia merubah kembali raut wajahnya, lalu memasuki kamar Hechi. Entah apa yang dia rencanakan. Tapi bisa dipastikan, orang yang dia tuju akan berakhir dengan penyesalan.

.
.
.

Selesai.

Jadi ini the last episode of Special Chapter For You.

Terima kasih semuanya.

See yaa 💃

PAPA & BOYS (Johnny, Mark, Haechan NCT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang