1. Familiar Stranger

27.5K 1.4K 36
                                    

"Siapa yang mengizinkan Mbak Nina keluar selarut ini?"

Nina sedang duduk memeluk lutut di bawah salah satu tiang lampu terang di lapangan parkiran mall yang sepi. 

Dia tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang bicara begitu padanya.

Nina menoleh ke belakang, rambutnya yang panjang tertiup angin, saat dia menatap Muhammad Gaza Hanafi.

Sebagian badan lelaki itu tersembunyi dalam bayangan pohon peneduh parkiran. Saat Nina menoleh, Gaza mengambil beberapa langkah maju. Kini dia dan NIna ditimpa cahaya benderang dalam tiang lampu yang sama. Nina berdiri perlahan dengan kedua tangan bertumpu pada lututnya, lalu memutar badan dan menatap Gaza.

Nina tersenyum. "Umurku sudah 27 tahun, yatim piatu pula... Memangnya aku perlu minta izin ke siapa lagi, Pak Gaza?"

Gaza menatap Nina tak bergeming, tak menganggap lelucon Nina lucu.

Lelaki itu berbadan ramping dan kekar, mengenakan setelan jas warna pas badan dan dasi biru. Gaza kini mengenakan kacamata, bingkainya tipis dengan warna metal keperakan. Dia lebih mirip akuntan daripada pemimpin perusahaan keamanan yang sedang naik daun.

"Satu jam yang lalu, Haji Rahmat menelepon ke kantor kami. Sekarang ada belasan pegawaiku yang harus meninggalkan kasur mereka yang hangat dan rumah mereka yang nyaman hanya karena dua cucu konglomerat tidak bisa melakukan koordinasi minimal seperti minta izin ke sebelum keluar rumah.... Haji Rahmat baru datang dari Bandara, mendatangi rumah dan mengecek kehadiran semua orang, lalu mendapati ada dua cucu perempuannya yang tidak ada di rumah dan tak ada satu pun yang tahu di mana keberadaan mereka..." 

Nina tercenung. 

Suara Gaza datar tapi tiap kata-katanya dimaksudkan untuk menegur. Tentu saja tak bisa terlalu menegur, karena sebagaimana pun Nina dan Rindang berbuat onar, sebagai cucu H. Rahmat, mereka tetap tak tersentuh orang biasa seperti Gaza.

Tapi itu tak ada apa-apanya dibanding kenyataan bahwa kakeknya mendadak datang ke Jakarta di tengah pekan seperti ini, dan mengabsen kehadiran orang-orang di rumah mereka yang jadi tempat tinggal empat keluarga...

Kakeknya mungkin tahu sesuatu, dan itu lebih gawat dari apa pun.

Tapi Nina sudah kebal akan segala kegawatan. Kalau ada lowongan pekerjaan dengan syarat dapat bekerja di bawah tekanan, Nina pasti akan mendapatkan pekerjaan itu dengan mudah.

"Saya minta maaf..." kata Nina tenang. "Tapi selain itu, Pak Gaza tidak terlihat seperti habis dari rumah. Memangnya habis dari mana?" tanya Nina, merujuk pada jas resmi yang dikenakan Gaza. 

Nina ramah dan pandai berbasa-basi. Sepengalamannya, pertanyaan semacam itu akan memandu lawan bicaranya untuk membuka diri; menjelaskan kalau mereka baru pulang dari pesta atau resepsi. Atau mengingat hobi Gaza, lelaki ini mungkin baru pulang menonton Orkes Simfoni Jakarta.

Tapi Gaza sedang di sini untuk urusan pekerjaan, bukan untuk beramah-tamah, dia hanya menatap Nina tanpa menjawab apa-apa.

Sembari membetulkan kacamata, Gaza balik bertanya, "Mana Mbak Rindang?"

"Aku sedang menunggunya di sini..." kata Nina. Dia lalu kembali duduk dan membelakangi Gaza. "Rindang janji dia akan datang sebelum tengah malam, dan selama ini dia tidak pernah ingkar," jawab Nina.

"Selama ini dia tidak pernah ingkar janji? Seberapa sering Mbak Nina menunggu Mbak Rindang di tempat parkir mal sepi menjelang tengah malam begini?"

Kalau Gaza bisa mengabaikan pertanyaan Nina dan menolak menjawab, maka Nina juga bisa melakukan hal yang sama; Nina mengabaikan pertanyaan Gaza.

Nina mengecek arloji berbentuk gelang tipis yang melingkari pergelangan tangannya, berlian yang bertabur di rantai gelang memantulkan gemerlap cahaya ke wajahnya. Masih ada setengah jam sebelum waktu yang dijanjikan dengan Rindang.

Love SickTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang