23 - Leery

137 7 0
                                    

Betapa bahagianya hati kala menyambut kedatangan orang terkasih ke dalam pelukan. Sudah terbilang lama Arka meninggalkan sang permata hati, demi tugas yang mulia.

"Arka! Sayangnya Mama!" Perempuan paruh baya itu sedikit berlari untuk segera memeluk tubuh sang putra. Pun Arka langsung memberi peringatan, karena bisa saja tubuh sang mama malah terluka.

"Hati-hati, Ma."

Di tempat yang sama, Raya turut memeluk tubuh perempuan bersanggul yang telah melahirkannya. Ya, mereka seperti cerminan anak rantau yang sangat jauh dari jangkauan keluarga.

"Selamat ulang tahun, Nak." Mata Mama Arka seketika berkaca-kaca. Hampir dua bulan lebih sang putra tidak datang mengunjunginya.

"Terima kasih, Ma." Arka mengecup lama kening perempuan bermata jernih yang selama ini telah mau berjuang bersamanya. Tanpa sang mama mungkin ia yang setegar sekarang tidak akan ada. Mama, kalau saja ia boleh jujur, ia tidak kuat menahan rasa sakit di hatinya. Ya, ia buntu dalam meyakinkan kembali Bulannya.

"Kenapa, Sayang?" Super peka, Mama Arka langsung menanyakan keanehan sikap sang putra. Benar, walau sudah tumbuh dewasa, namun baginya Arka tetaplah bayi yang harus dijaga.

"Gak papa, Ma," jawab Arka dengan memberikan senyuman. Ia edarkan pandangan pada perempuan berparas ayu di sampingnya.

"Halo, Tante Meta. Apa kabar?"

Arka lantas menyalami tangan Mama Raya. Sama seperti sang mama, perempuan bersanggul itu hampir saja menitikkan air mata. Setelah mengucapkan selamat ulang tahun, ia terus menggumamkan kata terima kasih karena Arka telah senantiasa menjaga putrinya. Ia bingung harus berterima kasih dengan cara yang bagaimana.

"Stt ..., udah, Tante. Itu semua kan memang tugas Arka. Yang terpenting sekarang, kita semua bisa berkumpul merayakan hari lahirnya Arka."

"Kada bujur memang menangis terus nii. Harusnya kan kita senang-senang,"* celetuk Raya dengan logat khas Banjarnya, berhasil mencairkan suasana.

Sedari kecil Arka memang tidak menggunakan Bahasa Banjar sebagai bahasa sehari-hari. Pun tidak menampik bahwa ia juga mengerti apa yang telah diucapkan oleh Raya.

"Kada lupa ternyata awan bahasamu sendiri?"** Mama Raya tiba-tiba ikut menginterupsi.

"Ya jelas aku ingat. Di telpon kan aku kabiasaan puruk bahasa Banjar." *** Raya menimpali.

"Bukan kamu." Mama Raya menepuk bahu Arka. "Tapi, Masmu."

Baik Arka maupun Raya saling bertukar pandang. Tadi Arka tertawa, karena memang tahu apa artinya. Pun sang bibi malah mengira bahwa ia telah melupakan bahasa daerah sang mama tercinta.

"Mana ada aku lupa, Tante. Itu kan bahasa dari Mamaku sendiri."

"Haduh, ikam nii."*

"Eh, sudah-sudah. Ayo kita langsung pulang saja." Mama Arka menengahi.

Mereka berempat lantas pergi meninggalkan bandara menuju apartemen Arka. Pun sesampainya di sana, tiba-tiba saja dering bel pintu apartemen menginterupsi pergerakan mereka.

"Siapa, Nak?"

"Aku juga kurang tau, Ma," jawab Arka lalu pergi ke asal suara. Saat dibukanya pintu, ia dibuat kaget dengan apa yang ada di hadapannya.

"Ada apa, ya, Pak?"

"Jasa kurir, Mas." Lelaki berompi itu menyodorkan satu buah buket bunga lengkap dengan satu box birthday cake pada Arka.

"Maksudnya, Pak? Saya gak pesan apa-apa." Arka super kebingungan menanggapi tingkah kurir di depannya.

"Dengan Mas Arka Bintang Reftara, 'kan?"

"Iya?"

"Boleh ditanda tangani sebentar, Mas." Lelaki itu mengambil alih kembali box birthday cake dari tangan Arka, lalu ia sodorkan bukti serah terima yang harus ditandatangani oleh sang empunya. Pun setelahnya box birthday cake itu diserahkan kembali pada Arka.

"Dari Om-nya, Mas."

"Hah?"

"Selamat ulang tahun, ya." Lelaki itu mulai beranjak pergi meninggalkan Arka. "Mari, Mas."

Arka membeku di tempat. Paman dari pihak siapa? Mendiang sang papa kan anak satu-satunya, pun paman dari pihak sang mama juga sama-sama telah tiada.

Ah, nanti juga ada kejelasan dari suratnya.
.
.

Selepas piket, Reina sempatkan untuk membaca berita terbaru dari media hubung humas polri. Tertera kegiatan yang harus ia dan anggotanya kerjakan nanti.

Pengamanan Situasional Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta

1. Peninjauan Kadiv Humas Polri Irjen. Pol. Prof. Dr. Benny Prasetyo M.Hum, M.Si, M.M. meninjau penempatan hasil lukisan Police Art Festival di Bandara Soekarno Hatta
2. Pengamanan situasional terminal 3 Bandara Soekarno Hatta oleh personil pospol terminal 3
3. Patroli jalan kaki oleh personil pospol terminal 3 Bandara Soekarno Hatta
4. Himbauan dan pembagian masker kepada penumpang.

"Oke, siap!" gumam Reina lebih pada dirinya sendiri. Pun seketika pula ia teringat akan kasus yang dikirimkan oleh Arman Hadinata tempo hari. Ya, bukan ia yang terjun langsung ke lapangan. Melainkan Rafa dan beberapa anggotanya lah yang datang ke sana. Tidak membuang waktu, ia lantas merogoh ponsel yang berada di saku celana. Segeranya ia melakukan panggilan dengan Rafa.

"Halo? Selamat sore, Komandan!"

"Selamat sore, Rafa. Saya ganggu kamu gak, ya?"

Terdengar riuh suara kendaraan yang sedang lalu lalang di seberang sana. Reina mengecek sebentar layar ponselnya, sambungan telepon masih terhubung dengan Rafa.

"Rafa?" panggil Reina mencoba memastikan.

"Siap, Ndan! Mohon maaf saya tadi sedang menertibkan jalan. Ada perintah apa, ya, Ndan?"

"Oh, ya udah. Kalau begitu nanti saja."

"Lho, sebutkan saja perintahnya, Ndan. Saya bisa pergi menyisi."

Reina menghela napas, merasa tidak enak dengan Rafa yang tengah bertugas. Pun pertanyaannya juga tidak dalam skala yang genting amat.

"Begini, Rafa. Saya mau bertanya, perihal CCTV kasus 575 yang saya perintahkan kamu untuk terjun langsung ke lapangan itu bagaimana, ya?"

Sedikit lama Rafa berpikir.

"Perihal itu, kemarin sebelum berangkat tim 3 saya briefing dulu. Mungkin akan sedikit lama, Ndan. Karena proses pengecekan kita lakukan manual. Pun pihak pelapor juga menyampaikan bahwa ia ingin bertemu langsung dengan Komandan."

"Hah? Saya?"

"Iya, Ndan. Tapi, mohon maaf saya malah menyampaikan bahwa untuk bertemu langsung dengan Komandan harus punya janji temu terlebih dahulu."

"Oh, ya udah. Gak masalah, Rafa. Kalau begitu, sekarang kamu bisa lanjut kerja. Terima kasih, ya."

"Siap! Sama-sama, Ndan. Saya pamit undur diri."

Reina memutuskan sambungan telepon dengan Rafa. Berpikir bahwa lelaki berlesung pipit yang ia kenal dengan nama Arman Hadinata itu patut dicurigai maksud terselubungnya. Ya, ntahlah. Karena sudah kesekian kalinya lelaki itu selalu berusaha untuk mendapatkan kesempatan datang menemuinya.

"Ah, sudahlah. Mending aku pulang aja." Reina lantas berjalan menuju parkiran, tempat motor vespa matic-nya diparkirkan. Menyapa beberapa anggota yang sedang berlalu lalang, lalu pergi meninggalkan kantor menuju kediamannya tercinta.

▪▪▪

"Masya Allah sekali lelahnya."

For your information:
1. * : Tidak benar memang menangis terus begini. Seharusnya kan kita senang-senang.
2. ** : Ternyata tidak lupa bahwa itu adalah bahasa kamu sendiri?
3. *** : Ya, jelas aku ingat. Di telepon kan aku kebiasaan memakai bahasa Banjar
4. * : Kamu ini

The Perfect PilotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang