"Jangan bilang sebentar lagi kamu akan melarikan diri?"
"Hah?" pekik Reina tak sadar bahwa Arka telah mengoceh padanya sedaritadi. "Maksudnya apa?"
"Arka curiga kalau kamu udah diam, pasti berpikiran untuk melarikan diri."
"Ah, engga. Kata siapa?"
"Ya, sekarang engga. Tapi, coba beberapa hari setelah Arka tinggal dinas, apa kamu gak menghindar saat Arka datang lagi untuk berkunjung?"
Reina menghela napas. Tidak salah memang ucapan lelaki di hadapannya ini. "Bukan aku berniat untuk melarikan diri. Sungguh. Tapi, aku punya kerjaan yang sulit diganggu."
"Lho, emang selama ini kamu kerja Arka ganggu?"
"Bukan begitu." Belum sempat Reina menyanggah, dua orang pramusaji telah terlebih dahulu menginterupsi.
"Permisi, Bapak, Ibu. Pesanan untuk bebek Shanghai-nya ada?" Arka mengangguk. "Burung dara goreng mentega dan ifumie seafood-nya?" Gantian Reina yang menggangguk. "Lalu angsio pek cay plus nasinya satu. Apa ada lagi yang bisa kami bantu, Bapak, Ibu?"
Reina menggeleng, lalu tersenyum ramah. "Untuk sekarang cukup, Mbak. Terimakasih banyak, ya."
"Sama-sama, Ibu. Selamat menikmati."
Setelah menjalankan SOP perusahaan, dua orang pramusaji perempuan itu pun lantas melenggang pergi meninggalkan meja Arka dan Reina.
Melirik, netra Reina bertemu pandang dengan iris mata coklat muda milik Arka.
"Kenapa? Ayo, cepat makan."
Reina mengangguk.
"Kalau kamu penasaran tentang Kelly. Arka bisa kok ceritakan semuanya."
Tertegun, Reina hampir saja tersedak. Sedaritadi ia bahkan tak mengusik Arka perihal apa-apa. Kenapa juga lelaki itu terlalu berinisiatif untuk menjelaskan sesuatu padanya?
"Mau kita mulai dari mana?"
"Hah? Aku gak bilang apa-apa lho, Ka."
Mengangguk. "Arka tahu, tapi sekali lagi Arka gak mau kecolongan kaya dulu. Kamu tuh tipe yang terlalu cepat menyimpulkan sesuatu."
Malu, sungguh ia memang sering menyimpulkan sesuatu secara terburu-buru. Arka benar, lebih baik ia mendengarkan terlebih dahulu penjelasan mengenai pramugari cantik itu.
"Siap? Jangan potong ya Arka bicara."
Mengangguk, pun tak lama Reina menggeleng.
"Kenapa?"
"Kita makan dulu aja, yuk. Waktu istirahatku sebentar lagi," cicit Bulannya sambil meringis.
Arka tersenyum. "Okay, Sayang. Dilanjut nanti, ya, setelah kamu pulang dinas."
Reina mengangguk menyeruput ifumie yang terhidang di depannya cepat.
.
.
Malam menjelang, pun Reina dikejutkan oleh sosok Arka yang terlihat tengah duduk sambil merapikan lipatan kemeja putihnya. Menyugarkan rambut, tampak mahkota lelaki itu sedikit basah oleh air yang ia yakini berasal dari musala terminal 3 bandara Soekarno-Hatta. Pelan, ia menghampiri sosok lelaki yang diam-diam sangat dicintainya."Kamu kok belum pulang?"
Lelaki berkemeja putih dan bercelana jeans khaki slim fit itu lantas bangkit dari duduknya.
"Pulang? Ngapain? Arka kan nunggu kamu."
Oh, demi apapun itu. Suara Arka sungguh lembut layaknya roti susu.
"Kenapa? Gak suka ya Arka lama-lama di bandara? Pengen cepat Arka pulang aja? Padahal kan ini juga wilayah Arka," ujar lelaki itu sedikit merajuk.
Terkesima, jelas Reina terpana dengan suara lembut Arka. Ditambah lagi dengan nada merajuknya. Ya Tuhan, bagaimana bisa tutur kata Bintangnya tidak berubah dari masa ke masa.
"Ah, gitu tuh. Kamu gak seru. Giliran Arka ajak bicara, kamu diam aja. Eh, giliran yang lain bersuara, kamu sahuti dengan ramah."
Ingin melipat bumi Reina rasanya. Bukan, ia bukan mengangguri Arka, melainkan ia suka saja saat lelaki itu mengoceh tak tentu arah padanya.
"Rei? Sayang? Kamu sengaja nih."
Reina menggeleng. "Aku kan udah bilang, gak usah panggil aku sayang."
"Tapi, emang kamu bakal nyahut kalau gak Arka pancing begitu?"
"Enggak juga." Reina melirik Arka yang menaikkan sebelah alisnya penasaran. "Ah, ya sudahlah, ujungnya aku yang kalah dari kamu."
"Lho, Arka kira jiwa kompetitif tarunimu gak lekang oleh waktu."
"Gak ada hubungannya, ya."
"Ada." Gantian Reina yang menatap Arka penuh tanya. "Dengan fakta baru itu, Arka jadi punya celah untuk memperbaiki semua. Ya, awalnya Arka kira ini gak akan mudah, tapi dengan kita berserah, yang mustahil juga ada saja jalannya. Kurang lebih seperti yang kamu katakan tadi, sesulit apapun medan yang didera, insyaAllah Arka tetap jadi pemenangnya."
Speechless, Reina sampai tak bisa berkata apa-apa. Keseriusan lelaki pemilik cerita masa lalunya ini sungguh tak terkira. Ia tak menyangka bahwa Arka masih sangat-sangat menginginkannya. Namun, bagaimana dengan Raya? Apakah sepupu perempuannya itu mampu memahami semua? Dan apa jadinya Kelly? Benarkah hubungan mereka hanya sebatas rekan kerja biasa? Argh!! Ia sungguh pening memikirkan hal yang belum tentu terjadi di depan sana. Tidak, ia tidak boleh egois hanya untuk mendapatkan kembali sosok Arka-- Bintang masa lalunya.
"Bulan, Sayang? Kata-kata Arka tadi ada yang salah, ya?"
Menggeleng, Reina menatap lurus Arka.
"Terus kamu kenapa, ehm? Kamu mikirin apa?" Tangan besar Arka lantas terjulur untuk menangkup wajah Reina. Mengelus pelan kedua pipi chubby Bulannya. Dalam keheningan, ia mencoba menyalurkan perasaan hangat untuk menenangkan hati Bulannya yang entah sedang kenapa.
"Kamu kalau ada kata yang menyinggung atau gak disuka bilang dong, Sayang. Arka kan jadi bingung nanggapinnya."
Reina balas tersenyum. Demi Tuhan, persetan untuk sikap egoisnya. Tolong, izinkan sekali ini saja ia memeluk Arka. Sungguh ia rindu sosok lelaki pecinta roti susu ini. Arka-- Bintang di cerita masa lalunya, mampukah ia mempertahankan rasa acuh tak acuh agar tak goyah? Ia tak ingin jatuh ke dalam lubang yang sama, yaitu merusak kebahagiaan orang-orang yang ada di sekitarnya.
"Arka?"
"Ehm? Kenapa, Sayang?"
"Aku boleh peluk kamu, gak?" cicit Reina membuat tubuh Arka seketika mati rasa. Yang benar saja, ini bukan mimpi, 'kan?
"Coba tolong katakan sekali lagi, Arka takut salah dengar."
Reina menghela napas. Argh, lenyap sudah rasa gengsinya selama ini. Tapi, apa boleh buat? Ia rindu sahabat kecil yang diam-diam amat dicintainya ini.
"Arka, aku Reina. Boleh peluk kamu atau enggak?"
Air muka Arka seketika langsung berubah ceria. "Tentu boleh dong, Sayang. Sini Arka peluk," ujarnya yang lantas merengkuh erat tubuh mungil Reina. Menghirup harum wangi rambut Bulannya. Sungguh penantiannya selama ini tidaklah sia-sia, bahkan tanpa harus diminta Reina lah yang ingin dipeluk langsung olehnya. Ya Tuhan, rencanamu memang indah pada waktunya.
"Rindu, Arka rindu sekali Bulan yang manja ini. Kita sama-sama selalu, ya, Sayang. Arka mohon, jangan tinggalkan Arka sendiri. Kamu tahu? Bintang itu tak lengkap tanpa kehadiran Bulannya, begitupun sebaliknya. Jadi, mau sekeras apapun dunia, Arka minta tolong untuk kita selalu hadapi bersama, ya, Sayang? I love you, Bulannya Arka," ujar lelaki itu mengecup hangat kening Reina.
▪▪▪
"Cinta kamu juga, Arka."
Vote and comment itu perlu. See u
Chorim
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Pilot
RomanceBagaimana setelah kau memutuskan untuk pergi? Adakah yang kau rasa berbeda setelah hari-hari kita tak menemukan tawa lagi? Ah, mungkin hanya aku yang merasakan ini seorang diri. Ya, aku telah menetapkan hati. Jika kau pergi, aku pun lari. Namun, jik...