29 - Happy?

191 9 5
                                    

Setengah jam menunggu, akhirnya tanda-tanda kehidupan mulai terdengar kembali dari arah luar sana. Arka yang sedaritadi menunggu kedatangan Reina, hampir mati kebosanan karena tidak ada hal yang bisa ia lakukan di depan meja kerja Bulannya.

Samar-samar terdengar suara Reina yang sepertinya sedang berbincang dengan seorang lelaki berperawakan tinggi. Pun tak selang berapa lama, siluet Bulannya terlihat semakin mendekati.

"Maaf, ya. Jadi menunggu lama," ucap Reina sesaat setelah membuka pintu kaca ruang kerjanya.

Arka bangkit berdiri, membenarkan seragam dinasnya yang bahkan belum sempat ia ganti. "Setengah jam bagi Arka itu bukan apa-apa. Kamu gak ingat Arka udah nunggu kamu seberapa lama?"

Reina terdiam. Pun tak lama suara ketukan di pintu berhasil menginterupsinya, ia melongokkan kepala untuk mengintip siapa gerangan orang yang telah mengetuk pintu kaca ruang kerjanya.

"Permisi, Bu. Boleh saya masuk?" Ia cukup terkejut kala netranya bertemu pandang dengan sosok Arman Hadinata. Ya, lelaki itu ternyata tahu bahwa ia sedang mengintip keberadaannya di sela-sela pintu kaca yang saat ini sedang memisahkan jarak di antara mereka.

Arka ikut terusik. Mengernyit, ia menatap Bulannya. "Siapa?"

"Maaf, kayanya orang yang tadi belum selesai bicara," jelas Reina yang lantas membukakan pintu untuknya.

Arka bergeming menatap lurus lelaki berperawakan tinggi yang saat ini tengah tersenyum manis pada Reina. Lelaki itu memakai kacamata dan memiliki lesung pipit di pipinya.

Siapa lelaki ini? Kok terkesan sudah akrab sekali.

"Ada yang bisa saya bantu kembali, Pak Arman?"

"Oh, Ibu ternyata sedang kedatangan tamu?" tanya lelaki itu membuat Arka maupun Reina seketika saling pandang.

"Ah, iya, beliau memang teman saya. Tapi, tidak apa-apa, saya rasa beliau tidak akan mengganggu."

Lelaki itu mengangguk, lantas tersenyum ramah pada Arka. "Halo, Pak," sapanya. Sedangkan orang yang diajak bicara, malah balas sapaan dengan tampang curiga.

"Silakan duduk dulu, Pak Arman," kata Reina menunjuk kursi yang bahkan beberapa saat tadi masih diduduki oleh Arka.

Menurut, lelaki itu segera bergegas menuju kursi yang telah ditunjukkan untuknya. "Permisi, Pak," ujarnya ketika melewati Arka.

Reina hanya melirik, pun turut menyelonong pergi menuju kursinya. Di sana ia bertanya perihal masalah apa yang ingin dilaporkan oleh seorang Arman Hadinata. Lelaki itu menjawab bahwa ia hanya sedikit kurang jelas mengenai penuturan Reina akan laporan kehilangan yang ia punya.

Berdeham, Arka menatap sengit lelaki yang kini tengah duduk di hadapan Bulannya. Sungguh, berani-beraninya lelaki ini mengambil alih seluruh perhatian Reina. Ya, percuma saja sedaritadi ia menunggu kedatangan perempuan yang amat dicintainya. Hah, Arka. Kotak kesabaranmu harus diperbanyak nampaknya.

"Oh, mengenai hal itu sebetulnya Pak Arman bisa langsung melapor secara mandiri ke website milik Angkasa Pura II. Nah, agar penanganannya lebih cepat, Bapak juga bisa menghubungi contact center airport atau petugas customer service bandara PT. Angkasa Pura II," jelas Reina.

Arka mulai terkantuk-kantuk mendengarkan perbincangan di antara mereka. Jika saja itu bukan Bulannya, mungkin ia sudah pergi ntah ke mana.

Ingat Reina. Setengah jam masih Arka tunggu. Lebih dari itu, Arka anggap dia memang pengganggu!
.
.
Selepas perginya sosok Arman Hadinata, Reina mulai membereskan berkas-berkas yang lumayan bercecer di atas mejanya. Ia melirik Arka yang kini tengah berdiri tegak sambil bersedekap dada.

The Perfect PilotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang