10 - Golden Ticket

2.2K 115 22
                                    

Hiruk pikuk Bandara Incheon menambah suasana kesedihan Raya. Malam ia bisa berlagak baik-baik saja, pun setelah melihat Arka mengenakan seragam dinasnya, hatinya langsung gundah. Ingin rasanya ia berseru sambil memeluk erat tubuh sang kakak.

Mas jangan pergi. Aku gak mau di sini sendiri.

Pun kenyataannya, ia hanya memeluk dengan mulut yang terbungkam rapat.

"Mas mau pergi. Kamu kok diam gini?"

Raya mendongak, mungkin kini matanya sudah berkaca-kaca.

"Jadi nangis, ehm? Kenapa? Cerita sama Mas."

Menggeleng. Sungguh, jika sudah menyangkut sang kakak, hatinya akan jauh lebih sentimental.

"Dek, kenapa?"

Tetap menggeleng, Raya membenamkan kepalanya lebih dalam di dada Arka.

"Kenapa sih? Tadi malam gak papa."

Arka mengelus-elus puncak kepala Raya, menimbulkan isakan kecil setelahnya.

"Eh, kok tambah nangis?" Arka mendorong pelan kedua bahu Raya, merapikan helaian rambut yang menutupi parasnya.

"Ada apa? Gak biasanya kamu gini."

Raya bergeming. Matanya sungguh tak bisa diajak kompromi sekarang.

"Ya Allah, Dek. Istigfar, hey."

Raya hilang akal. Bisa-bisanya ia menangis hanya karena tidak mau ditinggal oleh Arka. Bahkan seragam pilot sang kakak pun sudah tidak ia pedulikan lagi mau kusut atau tidak.

"Mas jangan lama-lama gak ke sini. Apartemen serasa gak berguna kalau cuma kutinggali sendiri."

Arka termenung. Ternyata itu permasalahan adiknya sedari tadi. Menangkup kedua pipinya, ia mencoba menghapus buliran air mata yang terjatuh di sana.

"Mas gak janji. Tapi, Mas akan usaha untuk nepati." Arka menenangkan.

Mata Raya terpejam. Bagaimana dulu ia tidak jatuh cinta dengan Arka. Perlakuannya saja sungguh memabukkan jiwa.
.
.

Berita Ibu Kota Indonesia Pindah Hari Ini - Kabar Terbaru Terkini / Liputan8.com

"Ibu Kota udah pindah lagi aja, Kak. Hatimu ikut pindah juga gak?"

Reina yang kini sedang bermanja-manja di pangkuan sang mama, setelah sehari diperbolehkan pulang ke rumah, mengerlingkan mata.

"Cih, apaan sih, Ma? Omongannya suka gak jelas."

"Aaa ..., hatinya kan udah netap di Jakarta, ya, Kak?"

Dahi Reina mengernyit. Sebenarnya ke mana arah pembicaraan sang mama?

"Apa, sih?"

"Itu loh, Kak." Mama Reina melirik dua buket bunga yang tergeletak di meja. "Ngerti, 'kan?"

Reina menoleh. Bergeming sebentar, pun mendesis kemudian.

"Ih, Mama! Kok ngeselin."

Mama Reina tertawa. Senang rasanya melihat reaksi Reina yang sudah tidak terlalu berlebihan saat membahas Arka.

"Ngomong-ngomong, itu bunga mau kamu apakan, Kak? Masa digeletakin gitu aja."

Reina mengendik. "Gak tau. Dia kira Reina, Tante Suzanna kali, ya? Ngasih bunga setiap hari."

Mama Reina tersenyum. "Dia siapa, Kak?" godanya.

"Arka," jawab Reina.

"Kamu senang gak?"

The Perfect PilotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang