Menyibukkan diri dengan setumpuk pekerjaan membuat Reina seketika lupa akan situasi di sekitar. Ia memandang lekat rekapan kasus yang telah terjadi selama dua minggu ke belakang.
"Kakak?" panggil Papa Reina dengan mengetuk pintu kamar putrinya.
"Iya, Pa? Masuk aja."
Papa Reina lantas melangkah masuk ke kamar sang putri. Ia duduk tepat di samping putrinya yang kini tengah sibuk memusingkan diri.
"Ada apa, Pa?" tanya Reina.
"Begini, Kak." Papa Reina mengapit jari jemari milik putrinya. "Mama dan Papa malam ini kebetulan akan kedatangan tamu." Reina mengangguk-angguk. "Nah, Mama dan Papa berencana untuk memperkenalkan anak teman Papa itu ke kamu."
"Iya, terus? Jam berapa dia datang?" sahut Reina terlampau santai, membuat sang papa seketika terdiam dibuatnya.
"Pa?"
"Sebentar, Kak. Jadi maksudnya itu kamu mau?" Sang papa bertanya karena bisa saja Reina malah bertingkah yang tidak-tidak.
"Ya, memang apa masalahnya? Kan cuma kenalan aja." Reina sebenarnya tahu apa maksud dari perkataan sang papa. Tapi, ia memilih untuk tidak mau mengambil pusing hal-hal yang bisa saja di luar prediksinya.
"Ya ampun. Syukurlah, kalau begitu." Hiperbola, Papa Reina pura-pura menitikkan air mata.
"Papa, ih. Apaan sih pura-pura nangis begitu." Reina menepuk pelan bahu sang papa, pun dibalas dengan kekehan khas orangtua.
"Ada-ada aja," ujar Reina sambil tertawa. Fokusnya turut kembali pada tumpukan pekerjaan di depan mata. "Maaf, ya, Pa. Reina balik kerja lagi," tambahnya.
Sang papa bangkit berdiri. "Take a rest, My dear. Your work won't cry even if you leave it for a few hours."
Reina tersenyum simpul. "Oke, siap, Pa! Sedikit lagi selesai kok. Jadi, Papa tenang aja."
Papa Reina mengangguk paham. "Ya sudah kalau begitu, Papa keluar dulu," ucapnya sambil mengecup singkat kening sang putri. "Nanti kalau misal sudah waktunya, Papa akan panggil kamu lagi."
Reina mengacungkan jempolnya, tanda setuju.
Papa Reina lantas keluar dari kamar sang putri. Pun saat langkahnya sudah mencapai ambang pintu, tiba-tiba saja tubuhnya langsung ditarik untuk menepi oleh sang istri.
"Astagfirullah, Mama. Ada apa, sih?" panik Papa Reina karena mengira ada hal genting yang terjadi.
"Gimana kakak, Pa?" tanya Mama Reina seperti tidak ada beban.
"Gimana. Gimana. Mama mikir gak, kalau yang tadi itu bisa aja buat panik banyak orang?"
Sang istri balas menyengir. Memang sudah bawaan sifat lahir.
"Jadi kakak bilang apa, Pa?" tanya Mama Reina mencoba menetralkan suasana.
Papa Reina menghela napas. Sudah tidak aneh memang melihat tingkah petakilan perempuan yang telah berhasil melahirkan buah hatinya ke dunia. "Kakak jawab di luar prediksi kita," tuturnya.
"Emang kakak jawab apa?"
Papa Reina mengendikkan bahu. "Dia langsung setuju, karena berpikir hal itu hanya untuk sekadar bertemu."
"Ada lagi, Pa?"
"Cukup. Dan hal ini malah membuat Papa ragu."
Mama Reina menatap wajah sang suami sendu. "Papa jangan pesimis gitu, dong, ah. Mungkin aja respon kakak lagi-lagi meleset dari prediksi kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Pilot
RomanceBagaimana setelah kau memutuskan untuk pergi? Adakah yang kau rasa berbeda setelah hari-hari kita tak menemukan tawa lagi? Ah, mungkin hanya aku yang merasakan ini seorang diri. Ya, aku telah menetapkan hati. Jika kau pergi, aku pun lari. Namun, jik...