18 - Memories 3

569 48 6
                                    

Setelah acara kunci-mengunci pintu kamar, Reina merasa Arka sedikit menjaga jarak dengannya. Entah bocah penggemar roti susu itu sedang merajuk atau pun tidak, yang jelas Arka belum menujukkan batang hidungnya sama sekali di hadapan Reina. Ia sanksi bahwa sahabatnya itu benar-benar marah padanya, karena biasanya mau ia sebagaimana menyebalkan, Arka pasti tidak pernah mengabaikan.

Reina bercermin, memakai jepitan berbentuk kupu-kupu pemberian Arka tepat di tepi rambut bagian samping, atas telinga kirinya. Berjalan keluar pintu kamar, meminta izin sang mama untuk berkunjung ke rumah Arka. Sang mama mengizinkan, pun dengan mewanti-wanti kalau ia tidak boleh nakal, dan segera pulang saat jam minum obatnya telah tiba.

"Berangkat, ya, Ma. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam. Hati-hati. Kalau memang masih pengen main, bawa aja Arkanya ke sini."

Reina mengacungkan jempol, berjalan keluar rumah, lalu berbelok menuju blok rumah Arka. Saat sekitar tiga buah rumah berhasil dilewati, ia teringat roti susu kesukaan Arka masih tersimpan di dalam kulkas. Tadi malam ia bahkan dengan sengaja meminta sang papa untuk membelikannya lima kotak roti susu sekaligus.

"Kenapa banyak banget, Kak?"

"Udah, Papa cepetan bayar. Mba-mbanya manggilin terus tuh dari tadi."

Dan saat itu juga, Reina langsung memutus sambungan teleponnya dengan sang papa.

Reina tak mau menyia-nyiakan. Dengan kecepatan kilat, ia langsung berlari kembali menuju rumahnya. Masuk tidak salam, membuat sang mama mengernyit keheranan.

"Kakak, ada apa?" Sang mama menaikkan sedikit nada suaranya.

Menyengir, Reina menjawab tidak ada apa-apa. Ia berlari hanya karena ingin mengambil roti susu pemberian sang papa yang tertinggal.

Sang mama mengelus dada, bisa-bisanya Reina hampir membuatnya jantungan.

"Ya, gak perlu lari juga, Kak. Kamu nih baru sembuh. Jangan petakilan aja kenapa?"

Reina cengengesan, meminta maaf, lalu izin kembali untuk ke rumah Arka.

"Gak usah lari-lari!" titah sang mama.

Reina menggeleng, mengangkat tinggi-tinggi paper bag yang berisi lima kotak penuh roti susu kesukaan Arka. "Reina bawa ini."

"Ya terus, kalau gak bawa itu, kamu bakal lari-lari?"

Reina memamerkan gigi susunya yang mirip seperti kelinci. "Iya."

Sang mama tidak habis pikir. Putrinya tidak punya rasa kapok sama sekali.

"Terserah. Tapi, jangan minta mama atau papa belikan roti susu lagi."

Reina menggeleng kuat, ia menolak mentah-mentah ucapan sang mama. Kalau ia tidak bisa minta dibelikan roti susu, kesenangan Arka bagaimana? Di pikirannya Arka akan menjauh jika ia tidak memberikan sesuatu yang berharga untuknya.

"Rei, gak akan nakal. Tapi, jatah roti susu Rei gak boleh dikurangin."

Sang mama melihat kesungguhan Reina. Padahal tadi ia hanya menggertak, pun putrinya percaya saja. Ia elus kepala Reina yang sudah tidak dibalut perban, menyuruhnya untuk segera pergi saja ke rumah Arka.

"Gak dikurangin, 'kan?" Was-was Reina.

"Iya, engga. Udah, sana. Arkanya pergi baru tau loh."

Mencebik, Reina akhirnya bergegas meneruskan kembali rencananya untuk berkunjung ke rumah Arka.

"Rei, berangkat. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Selama perjalanan, Reina tanpa hentinya memikirkan reaksi Arka akan bagaimana, saat melihat ia menyodorkan lima kotak penuh roti susu kesukaannya di depan mata. Selain mengoceh, Arka pasti juga akan memberikannya petuah panjang lebar, agar tidak selalu berperilaku boros. Pun itu malah membuatnya bangga dan antusias mendapatkan pencapaian yaitu diwejangi.

Reina mempercepat langkahnya, jarak rumahnya dan Arka memang tak seberapa jauh, hanya berbeda beberapa blok saja. Namun, jika berjalan kaki dengan langkah pelan, tentu akan memakan waktu lama.

Sekitar sepuluh menit Reina berjalan kaki, akhirnya ia sampai juga di depan rumah Arka. Dari depan, tampak rumah sahabatnya dalam keadaan sepi-sepi saja, membuatnya sedikit ragu jika Arka berada di sana.

Melangkahi anak tangga, Reina mencoba mengetuk-ngetuk pintu rumah Arka.

"Assalamualaikum."

Tidak ada yang menyahut. Pergi ke mana kah orang-orang di sana?

Reina mengetuk pintu dan memberi salam kembali. Kali ini membuahkan hasil. Ambang pintu terbuka, tampak Mama Arka dengan celemek khasnya saat memasak.

"Waalaikumussalam. Lho, Bulan sayang, kamu udah sembuh? Sini, Nak, masuk dulu."

Reina tersenyum sungkan. Berita tentang kecerobohannya sudah tersebar luas ternyata.

"Alhamdulillah, Tante. Lukanya udah sembuh." Melongok ke dalam rumah. "Oh, iya, Tan. Arkanya mana?"

Mama Arka tersenyum. Menjelaskan bahwa Arka sedang menjenguk Raya--sepupunya yang terkena alergi. Pun membuat Reina langsung berinisiatif untuk menyusulnya ke sana.

"Gak mau tunggu di sini aja? Tante lagi buat brownies, loh."

Reina menggeleng. Berpamitan, lalu menyalami tangan mama sahabatnya. Ia bergegas kembali ke rumah Raya yang kebetulan masih satu cluster perumahan dengannya dan Arka. Di dalam hati ia hanya bergumam semoga semua baik-baik saja. Entah lah, hatinya hanya sedikit gelisah.

▪︎▪︎▪︎

"Semoga gak ada apa-apa."

Kenapa dipisahin? Ya, entahlah, lagi ada ide ya saya salurkan saja

The Perfect PilotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang