Saat keluar dari bandara, hal yang pertama kali dilakukan oleh Reina adalah mengecek kembali ponselnya yang bergetar di saku celana. Tepat saat benda berbentuk pipih itu sampai di genggamannya, getaran yang sedaritadi mengusik turut berhenti seketika.
Menatap layar ponsel, nama sang mama tertera jelas di sana. Tidak banyak berpikir, ia lantas menghubungi balik nomor yang tertera.
"Halo? Assalamualaikum, Ma? Ada apa?"
Reina melirik tajam Arka yang diam-diam mengambil kesempatan untuk menautkan jari jemari mereka. Ya, memang lengan kirinya saat ini sedang terbebas tidak terhalang apa-apa. Bagaimana tidak? Bahkan tas kantornya saja sedaritadi sudah beralih untuk bertengger manis di bahu lebar Arka.
Cih, dasar kadal muara!
"Waalaikumussalam, Kakak. Kamu jadi pulang sama Arka?" ujar sang mama dari seberang sana.
Mengerutkan dahi, Reina kembali bersuara. "Iya. Mama tahu dari mana?"
"Oh, syukurlah. Ya sudah, have fun, ya, Nak."
Tanpa menjawab pertanyaan dari Reina, sang mama lantas segera mematikan sambungan teleponnya.
"Ish, Mama gak sopan. Udah tahu Rei tanya," gerutunya mengundang cubitan gemas dari Arka.
"Ini juga! Apa sih cubit-cubit segala?"
"Kalau cium, ntar yang ada kamu marah, lalu berakhir jeblosin Arka ke penjara."
"Lebay!" delik Reina tak suka.
"Oh, ya sudah kalau maumu dicium saja."
"Arka! Jangan gila, ya! Kantorku dekat sini kalau kamu lupa," cecar Reina mengundang tawa renyah dari Arka. Syukurlah hubungannya dengan Reina saat ini sedikit banyaknya mendapatkan jalan tengah. Dari yang tadinya saling beradu argumen saja, sampai sekarang bisa di tahap saling melempar canda. Oh, benar-benar perjuangan yang berharga.
"Ini lagi nih." Reina mengangkat tinggi tautan tangannya dengan Arka. "Maksudmu apa genggam tanganku segala? Emang kita mau nyebrang di jalan raya? Orang cuma jalan ke parkiran aja."
Arka memperketat tautan jemarinya, hingga hampir menenggelamkan jari mungil milik Bulannya.
"Please, jangan dilepas, ya? Arka janji cuma sampai parkiran aja."
Reina mendelik. "Enggak!"
"Please lah, Bulan Sayang. Hari ini Arka udah bahagia, masa mau kamu kurangi juga?"
"Ish, berlebihan kamu nih. Lepas Arka!"
Mencebik, mau tak mau Arka melepaskan tautan jemarinya dengan Reina. Perkataan Bulannya adalah titah, yang bisa berubah jadi amukan kapan saja.
"Mobil kamu parkir di mana? Kalau motorku ya belok ke sini."
Arka menganga. Jadi, maksud Bulannya, mereka harus berpisah untuk saling berkendara? Yang benar saja, itu tidak akan ada di kamusnya!
"Enggak! Gak ada! Kamu bareng mobil Arka."
"Tapi, aku kan bawa motor sendiri."
"Ya itu gampang, tinggal dititip di sini."
"Eh, enak aja. Itu motor kesayanganku, ya!"
"Ya sudah, Arka tinggal panggil orang untuk bawa motormu pergi dari sini. Yang penting sekarang kamu pulang bareng Arka."
Reina ingin berdebat untuk kesekian kalinya. Namun, tubuhnya keburu melayang tidak menapak ke tanah. Ya, Arka telah membopongnya seperti karung goni.
"Eh, Arka! Turunin gak! Aku gak suka ya cara bercandamu kaya begini! Arka!" teriak polisi cantik itu semakin menjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Pilot
RomanceBagaimana setelah kau memutuskan untuk pergi? Adakah yang kau rasa berbeda setelah hari-hari kita tak menemukan tawa lagi? Ah, mungkin hanya aku yang merasakan ini seorang diri. Ya, aku telah menetapkan hati. Jika kau pergi, aku pun lari. Namun, jik...