11 - Unilateral Refusal?

1.7K 111 24
                                    

Suasana canggung menyelimuti ruang keluarga Reina Bulan Selkasa. Pun tidak terkecuali dengan sang mama, perempuan paruh baya itu malah mengambil kesempatan untuk mendekatkan kembali putri semata wayangnya dengan Arka, lelaki yang notabene sudah ia labeli walau tak kasat mata sebagai calon menantu idamannya. Ia beralibi bahwa Arka harus dijamu dengan ramah.

"Kalau begitu, Mama ke belakang dulu." Ia menepuk pelan bahu Arka. "Semangat, Nak!" bisiknya.

Reina memandang awas dua sejoli berbeda usia di depannya. Pasti lagi bersekutu! Tak mungkin raut wajah Arka berubah signifikan seperti itu.

"Kakak, ajak ngobrol Arkanya."

Reina tak acuh.

"Hey, denger Mama gak?"

"Iya," jawab Reina sekenanya.

Arka tersenyum. Memaklumi bahwa Bulannya memang belum merasa nyaman dengan kehadirannya.

"Sayang, Tante izin, ya?"

Arka bangkit, dan mengangguk. "Iya, Tante. Arka tunggu."

Mama Reina memberikan kedipan matanya, Arka tersipu. Jika dulu ia berpikir buntu, pun mungkin sekarang ia dan Bulannya tidak akan bertemu.

"Kenapa? Ada yang salah dengan wajah saya?" tanya Reina sarkas saat Arka terlihat tak henti memerhatikannya.

Arka menggeleng. "Kamu cantik."

Bergidik, Reina membuang muka ke samping. Entahlah, banyak dan bahkan sering orang memuji tentangnya, pun mengapa saat itu dikatakan oleh Arka, rasanya sungguh jauh berbeda?

"Kamu gugup?"

Reina menatap langsung netra Arka. Lelaki ini, iris mata yang terlihat jelas berwarna coklat muda, sungguhkah ia Arkanya?

Arka melirik Arm Sling yang kini sedang menyangga lengan kiri Bulannya. Ada rasa kecewa, pun mengapa bukan ia yang merasakannya? Ia benci melihat Reina terluka.

"Tanganmu baik aja?"

Reina menatap Arka.

"Masih sakit? Atau gimana?" sambungnya iba.

Reina bergeming, mencari semburan kata yang pas untuk membalas ucapan lelaki di depannya itu.

"Sudah makan?" Arka lagi-lagi bersuara.

Jika perempuan lain akan langsung menjawab lemah lembut pertanyaan itu. Beda lagi dengan Reina yang memang sedang berapi-api, malah kini ia merasa sedang disulut emosinya oleh berbagai pertanyaan tidak penting Arka.

"Mau Anda tuh sebenarnya apa? Dari tadi kok pertanyaannya gak jelas."

Bibir Arka terbungkam, sepertinya tak perlu waktu yang lama untuk Reina segera mengusirnya dari sini.

"Gak bisa jawab?"

Arka menatap netra Bulannya lekat, berbisik pelan yang amat lambat. "Arka rindu kamu."

Reina mematung. Apa-apaan lelaki ini? Jawabannya sungguh jauh sekali dari pertanyaan. Pun ia pikir Reina akan terpengaruh? Tentu saja tidak.

"Maaf, bukan itu jawaban yang saya mau. Pun sepertinya Anda sedang berada di bawah pengaruh alkohol."

Arka menggeleng, mengatakan bahwa ia tak pernah sama sekali meminum alkohol. Terbukti bahwa ia amat merindukan Bulannya, sampai ia dengan berani mengutarakan isi hati yang selama ini hanya bisa ia pendam.

"Eh, Anda apa-apaan, sih? Bangun," panik Reina saat Arka mulai turun berlutut di hadapannya.

Kepala Arka lagi-lagi menggeleng. Menahan lutut Reina agar tidak berpindah dari tempatnya.

"Tolong dengar." Arka meraih jari jemari dingin milik Bulannya. "Arka gak sanggup." Ia bahkan sudah merubah intonasi nada bicaranya. "I can't see you leaving again. I'm devastated without you, Reina."

Mata Arka berubah merah, berkedip sekali saja sudah bisa dipastikan air mata akan jatuh membasahi pipinya. Namun, penolakan masih saja terjadi. Reina menarik pelan tangannya yang tergenggam, menepuk-nepuk samar bahu Arka.

"Sudah hampir malam. Sebaiknya Anda pulang."

Ingin berteriak rasanya. Apa Bulannya sudah tak mengenal nurani? Atau bahkan hati Reina untuknya sudah mati?

Arka makin mencelos kala Reina bangkit untuk meraih bahunya.

"Silakan. Biar saya antar," katanya mengabaikan keterpurukan Arka.

"Kamu kursus menyakiti hati orang kah, Rei?"
.
.

Setelah penolakan secara sepihak oleh Reina petang tadi. Arka hanya bisa terus terdiam, walau masih dengan sikapnya yang profesional.

"Dor!" kejut Kelly yang tidak mendapatkan respon apa-apa.

Berdecak. Kelly mendudukan tubuhnya di hadapan lelaki berseragam pilot pun ber-nametag Arka Bintang Reftara itu.

"Idih, pura-pura kaget atau gimana, kek, Ka. Nyebelin banget lo sumpah."

Arka memainkan sendok di genggamannya. Memutar dan membalik posisinya.

"Heh! Orang ngomong tuh disahutin! Ini makan aja ngalahin bayi." Kelly mengomel mengalihkan perhatian Arka walau sebentar.

"Malas bercanda, Kel," katanya pelan. Mengundang sejuta tanya dari Kelly.

"Lo kenapa? Ada masalah? Cerita dong sama gue."

Arka menggeleng, menjawab bahwa ia sedang tak mood untuk melakukan apa-apa. Pun meminta tolong pada Kelly, agar ia segera ditinggalkan seorang diri.

"Cih, kalau ada masalah tuh mestinya dibagi-bagi. Ini malah mau dipendam sendiri," cibir Kelly.

"Kel?" Panggil Arka yang Kelly paham sebagai sebuah usiran.

"Aish ... okey, fine! Gue pergi." Kelly bangkit. "Tapi, inget, Ka. Dua puluh menit lagi lo gak akan sendiri. Makan makanan lo. Gue gak mau, ya, penerbangan malam ini jadi ajang bunuh diri."

Arka menghela napas. "Kel?"

"Iya, astaga. Bawel banget." Kelly segera bergegas meninggalkan pilot yang sesaat tadi keukeuh ingin ditinggalkan sendiri.
.
.

"Pa, Mama kepo, deh." Mama Reina berceloteh dengan kepala yang bersandar santai di bahu sang suami.

"Kira-kira, apa ya yang diomongin Arka di depan Reina?"

Papa Reina menggeleng, merespon bahwa ia tidak tahu-menahu mengenai hal itu.

"Kemarin kan Mama niatnya mau ngintip. Eh, lupa kalau Papa buat pintu kamar kejauhan."

Papa Reina mengetuk dahi sang istri gemas. Istrinya ini senang sekali ikut campur masalah percintaan Reina. Apalagi Arka sudah terlibat kembali di dalamnya.

"Mama nih, kebiasaan. Biarlah mereka yang mengurus masalahnya sendiri. Tugas kita hanya cukup mengamati."

Mama Reina memandangi suaminya sebal. Merasa sungguh bertolak belakang dengan karakternya pribadi.

"Papa mah nyebelin! Gak pernah tuh sejalur sama pikiran Mama, selalu aja ambil jalan tengah."

Mulut Papa Reina baru saja akan menimpali, pun tak sempat karena ocehan sang istri sudah berkecepatan tinggi.

"Gak usah peluk-peluk! Tidur aja sana di kursi!"

Mama Reina lantas segera menarik selimut, pun berbalik memunggungi.

Papa Reina tersenyum. Jika begini istrinya sama sekali tidak akan ia jauhi, malah akan ia serang dengan kecupan bertubi-tubi.

"Selamat tidur, Mama cantik. Mimpi yang indah."

▪︎▪︎▪︎

"Seindah cinta Papa."

I'm back, and see you
Vote and comment itu perlu

The Perfect PilotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang