"Reina? Assalamualaikum."
"Reina?"
"Waalaikumsalam. Eh, Arka. Sini, Sayang, masuk dulu."
Arka--bocah sebelas tahun, penggemar roti susu itu menggeleng. Tidak seperti biasanya, kali ini ia lebih memilih menunggu saja di luar.
"Gak usah, Tante. Arka ke sini cuma mau ngajak Reina main sebentar doang, kok. Boleh, 'kan?"
Perempuan setengah baya yang kerap disebut mama oleh Reina, melebarkan senyumnya. Ia tidak pernah melarang putri semata wayangnya untuk bergaul dengan Arka.
"Tentu boleh dong, Sayang. Sebentar, ya, Tante panggilin dulu Reinanya."
Arka mengangguk. Sambil menunggu Mama Reina yang masuk kembali ke dalam rumah untuk memanggilkan putrinya, ia tolehkan kepala ke kanan dan ke kiri. Berjaga kalau-kalau temannya itu muncul dari tempat tak terduga.
Ah, pasti munculnya dari dalam.
"Arka!" teriak seseorang mematahkan dugaan Arka. Bocah perempuan yang sedari tadi ditungguinya itu ternyata datang dari samping rumah.
"Ada apa?" tanyanya.
Arka menggeleng.
"Gak ada apa-apa. Ya udah, yuk. Arka mau ngasih tau sesuatu sama kamu."
Menautkan jemarinya, ia langsung membawa Reina keluar dari pekarangan rumah.
"Arka, kita mau ke mana, sih?"
Arka mengumamkan kata rahasia, membuat Reina lantas mencebik. Ia sangat tidak suka jika seseorang menyembunyikan sesuatu darinya. Terlebih, ini adalah Arka, sahabatnya.
"Ish, licik! Giliran Arka aja boleh tau. Sedangkan Reina? Bahkan, Rei cuma tanya aja dijawabnya begitu."
Arka tersenyum. "Tadi kan Arka udah bilang, nanti juga tau. Masa mau nanya terus, sih?"
Reina tetap mencebik. Membuang muka dari Arka.
"Arka cubit loh, kalau ngambek terus."
Reina malah melepaskan tautan tangannya dengan Arka. Berjalan lurus mendahului.
"Rei?"
Bergeming.
"Reina?"
"Bulannya Arka?" Seperti sebuah mantra, langkah Reina pun akhirnya terhenti. Arka tersenyum, ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan, cepat ia raih tangan Reina, menautkan kembali jari jemari dengan Bulannya.
"Nurut, 'kan cantik."
Meski dipandang sinis, Arka tetap memboyong bocah perempuan berkuncir satu itu manis.
"Sampai!" serunya menciptakan kerutan di kening Bulannya. Saat ini mereka memang berada di taman komplek yang terlihat tidak terlalu ramai dari biasanya.
"Ngapain ke taman? Di sini, 'kan lagi gak ada tukang mainan."
Arka tertawa. Pikiran Bulannya ini sempit sekali.
"Siapa juga yang mau beli mainan? Orang Arka ngajak kamu bukan untuk itu."
"Terus?"
Arka tidak menjawab, ia menepuk-nepuk rumput yang kini sedang diduduki, menyuruh Reina agar segera bergabung.
"Nih," Ia menyodorkan dua lembar kertas putih, lengkap dengan satu buah spidol. "Ayo, kita buat surat permohonan. Biar kalau kita udah besar, cita-cita kita bisa terkabul," lanjutnya.
Reina memberi tatapan bingung.
"Ya udah, Arka duluan deh yang tulis," putusnya, seraya menunduk dan mulai terlihat menulis.
"Udah. Sekarang giliran kamu."
Ia langsung menyodorkan kertas yang satunya lagi. Tidak mengerti. Reina hanya bisa mengikuti kegiatan yang Arka lakukan tadi.
"Udah?" tanyanya.
"Iya, sini."
Arka mengambil kembali kertas Reina. Segeranya, ia masukkan kertas itu ke dalam sebuah botol berbahan kaca.
"Eh, kok dimasukin? Rei kan belum tau apa isinya."
Arka tersenyum, mengacak rambut Bulannya.
"Sengajalah, 'kan biar kamu gak tau apa isinya. Ya udah, yuk, mending sekarang kita kubur."
Arka mulai menggali tanah yang berada di sisi taman. Tanpa diduga, ia mengeluarkan sebuah pohon yang tingginya sudah mencapai telinga.
"Ka?"
"Iya? Oh, tadi Arka beli ini pas pagi. Kata abangnya, kalau mau persahabatannya langgeng ya pake perumpamaan pohon ini."
Arka menjelaskan tentang apa yang baru saja terjadi. Ia sangat antusias ketika abang tukang bunga keliling menyebutkan makna apa yang terkandung dari keberadaan pohon itu.
"Kenapa?"
"Arka sih kurang paham. Tapi, tadi kata abangnya, pohon Akasia adalah perumpamaan yang kuat, karena kalau dia udah tumbuh besar, dia bisa melindungi, menenangkan, dan meneduhkan orang-orang yang ada di sekitarnya."
Reina mengangguk mengerti, ia lalu membantu Arka yang sedang kesusahan menaruh pohon tersebut ke dalam tanah.
"Hah, oke. Sekarang tinggal kita simpan deh botolnya."
Arka segera meletakkan botol itu ke dalam tanah. Menimbunnya kembali agar tidak terjamah.
"Selesai! Sekarang kita pulang."
Arka akan meraih tangan Bulannya. Namun, Reina cepat menginterupsi.
"Kenapa?"
"Surat itu, kapan dilihatnya?"
Arka menyipitkan mata. Menelaah hari yang tepat untuk mereka kembali melihatnya.
"Sekarang tanggal berapa?"
"Tiga belas."
"Oh, tanggal ulang tahun kamu, 'kan?"
Reina mengangguk. Hari ini memang tanggal ulang tahunnya. Pun Arka malah terlihat tidak ada niatan untuk sekadar memberikan ucapan selamat di hari spesialnya.
"Oke, berarti kita lihat ini lagi nanti. Pas umur kamu udah dua puluh lima tahun," celetuk Arka membuat Reina melotot tak percaya. Yang benar saja? Itu lama sekali.
"Masa lama banget? Rei, gak mau, ah."
Arka mengendik. "Terserah, Arka 'kan maunya tahun segitu."
"Ih! Gak adil dong."
"Biarin."
"Arka!!!"
▪▪▪
Chorim,
To be continue ....
Vote dan comment itu perlu, see you
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Pilot
RomanceBagaimana setelah kau memutuskan untuk pergi? Adakah yang kau rasa berbeda setelah hari-hari kita tak menemukan tawa lagi? Ah, mungkin hanya aku yang merasakan ini seorang diri. Ya, aku telah menetapkan hati. Jika kau pergi, aku pun lari. Namun, jik...