16 - Memories

1.1K 85 10
                                    

Di tengah terik matahari, dua insan kecil saling melempar pandang, pun sang gadis mungil lantas mengisyaratkan sebuah kegelisahan.

"Arka! Cepat sini!" Reina mengatur napasnya yang memburu.

"Arka! Cepat, ih!"

Arka yang terhuyung-huyung sehabis loncat dari pohon mangga, melirik Bulannya sekilas.

"Kenapa lagi, Rei?"

Reina menunjuk layang-layang yang kali ini tersangkut di pagar rumah milik tetangganya. Menyuruh Arka untuk kembali memanjat agar bisa mengambil layang-layang kesayangannya.

"Ya Allah, Rei. Kita beli lagi aja, ya? Kaki Arka masih gemetaran ini," usul Arka menunjukan bahwa kedua kakinya masih mengalami tremor.

Reina acuh tak acuh. Layang-layang itu adalah buatan sang papa. Tidak akan sama bila Arka membelikannya yang baru di warung dekat rumah.

"Tadi aja Rei gak dibolehin naik. Sekarang giliran dimintain bantuan, Arkanya malah begini."

Mata Arka memandang langit, menghela napas. Mana mungkin lah ia membiarkan Bulannya memanjat pohon mangga yang tingginya hampir saja membuatnya pingsan.

"Arka lama! Reina aja sendiri," putus Reina menaruh gulungan benangnya, pun berlari cepat mendekati pagar milik sang tetangga.

"Reina mau ngapain?" seru Arka panik.

Bocah perempuan itu sudah melepas sendal jepitnya, menyelipkan kaki-kaki kecilnya di tembok bergelombang milik sang tetangga. Memanjat tembok setinggi dua meter dengan mudahnya.

"Reina turun! Biar Arka aja yang ambil."

Arka memandang was-was pergerakan Bulannya. Terpeleset sedikit saja Reina pasti akan celaka.

"Reina turun! Kamu dengar, gak?"

Reina mencoba menggapai-gapai layangan yang ternyata tersangkut lebih jauh dari posisi berjinjitnya.

"Arka, coba cariin kayu, ranting atau apa, kek. Tangan Reina gak sampe nih."

"Reina turun! Kamu jatuh nanti." Arka gemetaran, tremornya malah semakin parah ketika melihat kelakuan nekat Bulannya.

"Arka cepatan, ih. Kaki Reina mulai pegal, nih."

Arka dengan terpaksa mengikuti kemauan Reina. Mencari ranting pohon, berharap ia akan mudah menjangkaunya. Pun saat ranting pohon belum didapatnya, suara teriakan Reina langsung membuyarkan fokusnya.

"Allahu akbar! Reina?"

Arka berlari tunggang langgang menghampiri Bulannya. Kepala Reina sudah diselimuti oleh cairan merah, yang Arka yakini ialah darah.

"Astagfirullah, Rei? Reina? Hei, bangun!"

Menyadari tidak ada respon yang berarti dari Reina. Arka lantas menggedong tubuh kecil Bulannya, dan berlari seperti kesetanan menuju rumah keluarga Reyhan Bhumi Selkasa.

"Assalamualaikum? Tante! Om!"

Napas Arka tercekat kala kepala Reina semakin terasa terkulai di bahu belakangnya.

"Tante! Om!"

Mama Reina datang membukakan pintu. Ikut panik mendapati kepala putri semata wayangnya berlumuran darah.

"Papa!"

Papa Reina langsung berlari menghampiri. Memandang tubuh sang putri, seraya mengambil langkah cepat membawanya masuk ke dalam mobil.

"Arka tunggu di sini, ya, Sayang. Tante sama Om bawa Reina ke rumah sakit dulu."

Arka ingin menolak. Ia harus tahu keadaan Reina. Pun Mama Reina sudah lebih cepat masuk ke dalam mobil, berlalu meninggalkan Arka.

"Ya Allah, kenapa jadi gini, sih?"

Arka menatap nanar kaos biru laut miliknya, yang kini sudah berubah warna sebagian menjadi merah.

"Kamu baik-baik aja, Rei. Arka akan doain kamu dari sini."
.
.
Arka tampak buru-buru menyalami tangan sang mama, setelah memutuskan untuk pulang sebentar, dan mandi agar segera berganti pakaian.

Raya mengernyit, segeranya ia bertanya pada Julak sang papa.

"Kak Arka handak ka mana, Pian?"

Mama Arka menjawab bahwa putranya akan menjenguk Reina, sahabatnya yang baru saja mengalami insiden kecelakaan.

"Inya kenapa?"

"Inya ni tajungkang nah, menaiki pagar. Habis ai palanya."

Raya meringis. Ngeri juga membayangkannya. Pantas saja kakak sepupunya panik.

"Ulun handak menyusul. Belum sempat izin Mama." Raya memandang Julak di depannya.

"Pian kada tengok jua kah Kak Reina?"

"Kena am. Pian kada bisa hari ini."

Raya mengangguk. Mohon pamit meninggalkan sang Julak. Pun berlalu menuju rumahnya yang berbeda beberapa blok saja dari rumah Arka.
.
.
Arka menggenggam erat jari jemari dingin Reina. Bulannya belum sadar. Papa dan mama Reina mengatakan bahwa putri semata wayangnya itu baik-baik saja. Lukanya tidak begitu parah.

"Bangun, Rei. Marahin Arka coba."

Mama Reina tersenyum samar. Suaminya sedang pergi mencari makan, tinggal dia berdua saja dengan Arka yang menjaga Reina.

"Kalau tadi kamu dengerin Arka. Mungkin gak akan gini."

Mama Reina mengelus kepala sahabat putrinya.

"Memang sudah waktunya Reina celaka, Sayang. Gak papa."

Arka menoleh pada Mama Bulannya. Ia masih sangat merasa bersalah. Reina celaka karena keteledorannya. Ia tidak becus menjaga Reina.

"Eh, Arka kok nangis? Kenapa, Sayang? Kamu luka juga?"

Arka menggeleng, mengusap air matanya yang jatuh di pipi.

"Maafin, Arka ya, Tante. Reina jatuh gara-gara Arka." Mata Arka memandang Mama Reina berkaca-kaca. "Jangan larang Reina main lagi sama Arka, ya, Tante. Reina sahabat Arka."

Mama Reina mengangguk. Mana mungkin ia menjauhkan putri semata wayangnya dari bocah tampan bertanggung jawab ini.

"Tunggu Rei bangun aja, ya? Mungkin dia sadar sebentar lagi," kata Mama Reina menenangkan.

Fokus Arka kembali pada Bulannya. Menggenggam tangannya. Berharap Reina akan segera sadar lalu mengoceh untuk memarahinya.

"Cepat bangun, Rei."

▪︎▪︎▪︎

"Arka sayang kamu."

For your information:
- Julak: Uwak, Pakde atau Bude dalam bahasa Banjar.
- Pian: Panggilan untuk orang yang lebih tua.
- Handak: Mau/Bawa.
- Inya: Dia.
- Ulun: Saya, formal ke orang yang lebih tua.
- Kada: Tidak
- Jua: Juga, kalau gak salah ya. Saya gak searching.
- Kena am: Nanti saja.

VOTE AND COMMENT SELALU YAW, LUV U GUYS!

The Perfect PilotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang