"Kasus pencurian kiriman kargo yang selama ini terjadi di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, akhirnya terkuak."
"Pria berinisial RA, tiga puluh dua tahun, diamankan aparat Polresta Bandara Soetta."
"Tersangka merupakan petugas ground handling di Bandara Internasional SM Badaruddin II Palembang."
"Menurut Kapolresta Bandara Soekarno-Hatta, Kombes Pol Daniel Tambunan, pengungkapan kasus ini berawal dari adanya laporan petugas jasa ekspedisi PT Z&T terkait tindak pidana pencurian."
"Saat itu paket dikirim menuju Palembang sebanyak lima kodi yang berisi handphone. Ketika diterima di Palembang, berkurang satu kodi berisi tiga puluh buah handphone, dan--"
"Permisi, Mba. Bisa berpindah sebentar?" ujar seseorang dengan seragam polisi yang melekat pas di tubuhnya.
Para penumpang bandara langsung menatapnya sinis.
"Ish, baru juga jadi polisi, udah sok-sok'an aja berkuasa."
Reina, perempuan berseragam polisi itu menghela napas.
"Maaf sebelumnya, di sini saya hanya menjalankan tugas saya sebagai seorang polisi. Kecil kemungkinan untuk saya berlagak sok-sok'an seperti yang anda sebutkan tadi." Ia mengedarkan pandangan. "Dan apa salah, jika saya meminta anda berpindah sebentar di saat sedang terjadi keributan seperti sekarang ini?"
Para penumpang terlihat diam. Reina tersenyum miris. Ia sudah sangat terbiasa dengan kasus seperti ini. Pun tidak aneh jika ia hanya meresponnya dengan senyuman, ataupun helaan napas.
Dengan tampang yang telah dibuat seramah mungkin, Ia mulai menjalankan tugasnya untuk memasangkan garis-garis kuning di setiap sudut terminal 3 bandara. Dimulainya dari sudut terminal bagian timur, dan di sana masih saja banyak penumpang berebut ingin mengetahui keributan apa yang sedang terjadi.
Reina meringis, lalu ia tersenyum tipis. "Permisi, bisa saya sterilkan dulu kawasan ini?"
Bukannya menurut, para penumpang malah dengan kompak menyoraki.
Mengepalkan tangan, Reina lantas beristigfar.
Astagfirullah, sabar Rei, sabar. Allah cuma nguji kesabaran kamu doang, kok. Gak lebih.
Akhirnya, tanpa meminta persetujuan dari siapapun, Reina segera melaksanakan tugasnya itu. Ia tidak peduli lagi dengan sorakan ataupun cemoohan dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Toh, bukan salahnya juga jika harus menertibkan dengan cara seperti ini. Yang jelas ia hanya diberikan tugas, dan itu wajib baginya untuk melaksanakan. Terlebih jika ada yang melanggar, ia pasti akan menindak tegas pelaku tersebut.
"Lapor, Ndan! Sudut barat sudah mulai steril. Namun, ada seorang pria yang masih keukeuh ingin melewati jalan tersebut." Tiba-tiba seorang personil polisi laki-laki datang menghampiri.
"Pria?" tanya Reina dengan alis tertaut.
"Ya, dia seorang pria tinggi, tegap, dan sepertinya dia seorang pilot," jelas polisi itu lagi.
Pilot? Sontak saja mata Reina langsung melotot tidak percaya. Bagaimana bisa?
"Gak salah, Shal? Pilot? Ya ampun, kok bisa-bisanya dia gitu? Padahal aura kewibawaan udah terpancar jelas lewat seragamnya."
Reina geleng-geleng. Geram juga dengan tingkah konyol pilot tersebut. Tanpa menunggu lama, ia segera berputar arah ke terminal 3 bagian barat. Netranya menyipit kala menemukan punggung tegap lelaki berseragam pilot itu. Ah, langkahnya harus dipercepat.
"Permisi, bisakah anda memutar arah jika ingin pergi keluar?"
Lelaki itu tidak menoleh. Pun hanya sibuk dengan ponsel di tangannya.
"Permisi?"
"Tidak. Ini jalan saya."
Reina menggaruk tengkuknya. Akan ada perdebatan alot rupanya.
"Saya tahu. Tapi, di sini sedang--"
"Saya tidak peduli. Ini jalan saya, saya sudah lelah jika harus dipaksakan untuk berputar arah. Jadi, biarkan saya lewat."
Reina menggeram. Lelaki ini ingin beradu otot juga ternyata.
"Tapi, ini sudah peraturannya, Pak! Apa anda tidak malu dengan seragam yang anda pakai? Mereka orang biasa-biasa saja bisa dengan mudah diatur. Lantas, kenapa anda tidak? Mana attitude seorang pilot itu?"
Tangan lelaki itu bergerak menyimpan ponsel di saku celananya. Menoleh. "Maaf, apa salah jika saya memakai seragam seperti ini?"
Arka? Reina mengerjap-ngerjap. Mana mungkin Arka, sahabat kecilnya itu kembali. Lagian wajahnya mungkin saja sudah berubah. Tapi, demi apapun ini sangat mirip.
Reina memfokuskan indra penglihatannya, menatap lelaki di depannya dengan gugup.
"Kenapa? Perasaan masih banyak pejabat tinggi yang berkelakuan lebih parah daripada saya. Tapi, kenapa anda tidak mempermasalahkan hal itu?"
Tremor. Kaki Reina tiba-tiba saja mati rasa. Ah, dia bukan Arka. Sahabatnya mana mungkin berkata dingin seperti itu.
Reina membungkam bibirnya. Aneh rasanya melihat Arka lagi setelah belasan tahun lamanya mereka tak saling bertemu. Mungkin, waktu juga yang telah membuat seorang Arka berubah.
"Kenapa? Tidak bisa jawab saya?"
Reina menunduk. Bukan karena takut. Pun ia hanya canggung dengan perubahan sikap lelaki itu.
"Ndan, anda baik-baik saja?"
Marshal? Oh, syukurlah polisi itu mengikutinya.
Reina mengangguk.
"Ya, saya tidak apa-apa." Melirik Arka. "Ehm ... Shal, bisa kamu yang urus pria ini? Saya tadi lupa menyimpan rekapan kasus yang terjadi."
Reina berdalih, berharap Marshal tidak akan mencurigai.
"Oh siap, Ndan. Saya akan urus keberadaan pria ini. Silakan, anda bisa pergi."
Reina mengucap syukur berkali-kali. Marshal memang utusan yang tepat untuk menghindar dari situasi seperti sekarang ini.
"Terima kasih, Shal. Saya permisi dulu." Ia menepuk bahu Marshal, lantas pergi mengundurkan diri.
Semoga bukan pertanda buruk.
▪▪▪
"Ya, semoga aja."
Chorim,
To be continue ....
Want to quickly update? Vote and comment a lot first, saya tunggu loh
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Pilot
Roman d'amourBagaimana setelah kau memutuskan untuk pergi? Adakah yang kau rasa berbeda setelah hari-hari kita tak menemukan tawa lagi? Ah, mungkin hanya aku yang merasakan ini seorang diri. Ya, aku telah menetapkan hati. Jika kau pergi, aku pun lari. Namun, jik...