17 - Memories 2

1K 76 7
                                    

Beberapa bab akan saya isi dengan kisah kilas balik. Terlihat bertele-tele, pun begini lah alurnya nanti. Karena dengan ini saya bisa sedikit memperjelas titik permasalahan yang sedang mereka hadapi.
.
.
Butuh waktu sekitar dua setengah jam untuk seorang Reina Bulan Selkasa berhasil membuka kembali kedua kelopak matanya. Ia beringsut kala merasakan nyeri yang sedikit menjalar di kepala bagian belakangnya.

"Sakit, ya?" tanya Arka cemas, menggenggam buku jari kanan Bulannya.

Reina tersenyum getir, merasa amat bersalah karena tidak mau menuruti kata-kata Arka.

"Mau minum?" tawar Arka.

Reina diam. Menggeleng tidak, mengangguk pun tidak.

"Kenapa? Belum boleh, ya?"

Reina hanya memandang sendu Arka. Ia yakin sahabatnya itu sangat ketakutan ketika mendapatinya tidak sadarkan diri tadi.

"Ada apa?" Arka mengelus pipi Reina, berharap bisa menyalurkan kekuatan agar Bulannya mau berkeluh kesah padanya. Pun, bukan jawaban yang ia dapat, Reina malah langsung terisak.

"Eh, kok, nangis? Kepalanya sakit lagi, ya?"

Reina menggeleng, menangkupkan tangan yang terbebas dari selang infus untuk menutupi kedua matanya.

"Rei, kenapa?"

Reina terus menggeleng, menggumamkan kata maaf yang membuat Arka tidak suka. Di sini Arka lah yang salah. Bulannya mungkin tidak celaka, jika ia bisa menjaganya dengan baik.

"Rei?" Menarik tangan Reina pelan, Arka menuntun Bulannya untuk menatap wajahnya. "Lihat Arka." Meski berat, netra Reina akhirnya bertemu pandang dengan Arka.

"Kamu gak salah. Kenapa terus minta maaf?"

Panas, mata Reina benar-benar panas. Berkedip sekali saja, mungkin buliran kristal akan kembali lancang membasahi pipinya.

"Gak perlu nangis. Arka paling gak suka liat perempuan nangis," jujur Arka yang kemudian tidak dituruti oleh Reina. Karena detik itu juga, buliran air mata sudah meluncur bebas membasahi pipi Bulannya.

"Tuh, 'kan. Kamu memang gak pernah nurut apa yang Arka bilang."

Reina tersenyum. Sungguh, ia tidak mau kehilangan sosok di depannya itu. Arka--sahabatnya, Bintang yang bahkan sudah menjelma menjadi sosok yang amat dicintainya.

Jangan bosan. Reina sakit kalau Arka gak ada.
.
.

Tiga hari setelah kepulangan Reina dari rumah sakit, Arka tidak henti-hentinya mengunjungi rumah Bulannya. Ia bahkan selalu meminta izin pada sang mama untuk pulang sedikit larut.

"Arka pulang, gih. Dijegal kalong wewe tau rasa loh."

Reina tampak risih melihat keberadaan Arka. Ia sampai tidak bisa menghitung sudah berapa lama waktu yang telah dihabiskan oleh sahabatnya itu untuk berdiam diri di rumahnya.

"Gak takut. Arka, 'kan punya Allah," sahut Arka sarkas.

Reina tahu, proses negosiasi ini akan berjalan alot. Pun, ia akan tetap berusaha, tidak semudah itu untuknya menyerah.

"Nanti dicariin tante."

"Udah izin."

Reina memejamkan mata, menyebut nama Tuhan tiga kali. Arka susah diajak berkompromi ternyata. Harus pakai cara apa agar lelaki pencinta roti susu itu mau pergi? Reina mencoba mengingat-ingat barang apa yang mamanya belikan pagi tadi.

Roti susu! Mama beli banyak kotak roti susu tadi pagi.

Reina bersorak di dalam hati. Roti susu bisa jadi bahan untuknya mengelabuhi Arka. Ia melirik sahabat yang kini sedang telaten mengupas satu buah apel di tangan.

"Arka?" panggil Reina, dibahas dehaman.

"Ambilin roti susu, dong. Reina lapar nih."

Arka mengangkat tinggi buah apel yang baru saja terkelupas setengah, mengisyaratkan pada Reina bahwa pekerjaannya mengelupas kulit buah apel itu belum tuntas sepenuhnya.

"Tapi, Reina lapar."

Arka berdesis. "Sebentar, ya."

"Keburu hilang laparnya."

Arka merapatkan bibir. Baik, kalau Reina lebih memilih untuk memakan roti susu yang berada di dalam kulkasnya, Arka akan dengan senang hati mengambilkan. Ia bangkit, lalu keluar dari dalam kamar Bulannya.

Reina tersenyum puas. Berhasil juga ia mengelabuhi Arka. Buru-buru ia mengunci pintu kamarnya, Arka tidak bisa terus berdiam diri di dalam rumahnya. Hari sudah malam, selain riskan, Reina juga tidak mau selalu diawasi pergerakannya oleh Arka. Kepalanya hanya terbentur, bukan gegar otak, pikirnya.

Sekitar sepuluh menit berlalu, tampak langkah kaki mendekati. Bisa dipastikan Arka lah yang kembali.

"Rei?" Handle pintu kamar Reina tidak bisa menutupi. Ia terus bergerak, seiring guncangan yang terus menghakimi.

"Reina?"

Tidak membalas, Reina malah menggeser kursi belajar untuk menghalangi. Ditumpuknya buku, hingga satu dentuman membuatnya panik.

"Suara apa itu? Reina, buka! Arka tau kamu gak tidur."

Reina berjinjit, kembali ke ranjang. Arka peka terhadap bunyi sekali.

"Reina? Katanya lapar. Arka ambilkan, kok, malah dikunci?"

Reina menyembunyikan diri. Biarkanlah Arka, nanti juga cape sendiri.

"Rei?" panggil Arka. "Gak dibuka Arka aduin, nih."

Reina tak peduli. Mau diadukan juga. Toh, Arka akan datang lagi.

"Reina, Arka serius," gertaknya membuat Reina tersenyum remeh.

"Okey, kita lihat aja nanti."

▪︎▪︎▪︎

"Tapi, mungkin skor kita akan seri."

Sedikit, ya? Maaf, semester ini saya hectic sekali. Jangan lupa vote dan comment.
See you ...


The Perfect PilotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang