Polda Metro Jaya
Kabar Terbaru Kasus Anggota Metro Jaya Aniaya Pelaku Narkoba hingga Tewas
- 5 jam yang laluKuasa Hukum Korban Pelecehan Kontes kembali Datangi Polda Metro Jaya
- 8 jam yang laluPolda Metro Jaya Turun Tangan Selidiki Dugaan Pembunuhan WNA di Tangsel
- 13 jam yang lalu"Idih, kesambet apaan lo, liatin timeline berita online gitu?"
"Diem. Gak usah kepo," ketus Arka, tak lepas dari layar ponselnya.
"Uwaw, galak amat, ya."
Arka mendelik tajam ke arah Kelly.
"Iya, iya. Ampun, deh. Sensian amat sih, Ka? Lo lagi datang bulan apa?"
Arka tak banyak merespon. Ia malas bercanda.
Kelly berdecak. Selama dua minggu terakhir ini, temannya itu memang sulit sekali diajak bercanda. Bahkan, selesai landing tadi, Arka yang biasanya menunggunya, malah langsung nyelonong pergi ke penginapan.
"Ehm ..., makan, yuk, Ka. Orang-orang kabin udah pada keluar tuh cari makan."
"Malas," jawab Arka singkat, dan malah merebahkan dirinya di atas sofa.
Malas? Ingin sekali Kelly menggetok kepala Arka menggunakan heels. Demi Tuhan, ia bahkan rela menolak ajakan makan rekan-rekan sejawatnya. Dan apa ini? Arka menolaknya? Woah, tidak berperikemanusiaan sekali.
"Tapi, gue laper loh, Ka," celetuk Kelly berharap Arka peka.
"Siapa suruh gak ikut orang-orang kabin tadi."
Bam! Pilot ini memang tidak akan pernah peka, pun mungkin ia malah sengaja?
Nyesel gue nunggu lo, Bodoh!
Kelly lantas pergi tanpa berpamitan lagi.
.
."Ndan, ada kiriman nih dari kurir." Faiz menyodorkan satu buket bunga mawar berukuran besar, pun lengkap dengan sekantong bingkisan yang berisi coklat berbagai bentuk.
"Siapa pengirimnya?" Reina bertanya, sesaat setelah buket bunga itu berpindah tangan padanya.
Faiz menggeleng, seraya menunjuk kartu ucapan yang terselip di antara segerombolan bunga mawar milik komandannya itu.
"Saya gak tau, Ndan. Tapi, di sana kayanya ada kartu ucapan."
Reina mengangguk paham.
"Oh, makasih, ya, Iz. Jadi ngerepotin."
"Ah, santai aja, Ndan. Kalau gitu, saya balik kerja dulu."
Reina tersenyum. "Sekali lagi makasih, ya, Iz."
Faiz hanya mengacungkan jempol, tanda setuju.
Mata Reina lantas tertuju pada buket bunga di dekapannya. Ia tak mau berspekulasi tinggi akan si pengirim bunga. Pun dari semuanya, tingkah Arka lah yang sekarang paling kentara.
Ah, gak mungkin dia.
Reina membuka perlahan kartu ucapan yang terselip, membaca dengan seksama apa maksud dari sang pengirim.
Untuk Reina, Bulannya Arka.
Hai, cantik. Apa kabar? Kamu baik aja kan? Arka udah kangen kamu, tapi pasti kamu menolak bertemu. Maaf atas semua. Arka cuma gak mau kehilangan Reina. Sehat selalu Bulannya Arka.
Reina bergeming. Entah sejak kapan tangannya gemetar. Arka? Mau sampai kapan lelaki itu memporak-porandakan pertahanannya."Aduh, Ndan. Dapat kiriman bunga, kok, malah tegang mukanya."
Reina menoleh, ada Marshal tengah berdiri di depannya. Memasang senyum singkat, ia menggeleng.
"Sok tau kamu."
"Saya bukan sok tau, Ndan. Tapi, dari jauh aja udah bisa terlihat kalau mimik wajah Komandan lagi tegang."
Reina tetap menggeleng. "Udah sana, Shal. Saya mau kerja."
Marshal malah bersiul, lalu tertawa. "Bilang aja gak mau diganggu, Ndan."
Reina langsung memasang wajah datar. "Ke sana, Marshal. Tolong."
"Siap, Ndan! Laksanakan!"
.
.Kecanggihan teknologi mempermudah Arka untuk mencari tahu sesuatu tentang Bulannya. Ya, meski selama ini Arka tidak pernah menampakkan batang hidungnya di hadapan Reina. Namun, siapa sangka bahwa ia lah orang yang selalu mengawasi gerak-gerik perempuan itu. Yap, Arka tahu Reina tinggal dan berkarir di Jakarta. Bahkan, jauh sebelum perempuan itu memilih mengabdi sebagai abdi negara, Arka sudah lebih dulu mengetahui keberadaan perempuan itu. Reina, si cengeng yang selalu bermanja padanya. Kini sudah menjelma menjadi sesosok perempuan dewasa. Sesal? Sedikit. Arka memang sedikit menyesali mengapa waktu berjalan begitu cepat? Andai ia bisa memutar waktu. Ia akan selalu berada di sisi Bulannya.
"Ka! Arka!"
Arka mengerjap, menyesuaikan cahaya yang masuk ke indra penglihatannya.
"Apaan sih, Kel? Gue masih ngantuk."
"Ngantuk-ngantuk. Lo tuh gak nyadar tidur lo kaya kebo?" sembur Kelly mencak-mencak.
"Ya Allah, emang mau ngapain sih?"
"Hellow, Arka Bintang Reftara! Pilot ganteng yang aslinya pemalas. Ini tuh jam berapa? Kita take off bentar lagi, dan elo masih mau enak-enakan aja tidur di sini?"
Arka membungkam bibirnya ingin marah. Ya, Allah. Ia baru tertidur setengah jam yang lalu. Dan Kelly si cerewet sudah meneriakinya, menyuruh untuk bangun.
"Gak gerak?" sindir Kelly geram.
"Bisa gak sih, lo aja yang bawa pesawatnya? Gue masih betah di sini, Kel. Gak peduli mau ditinggal juga. Gue tau jalan pulang."
Kelly geleng-geleng. Jalan pikiran Arka ke mana, sih? Bisanya-bisanya ia malah menyuruh Kelly saja yang membawa pesawat.
"Lo udah gila apa, ya? Mau mati muda lo?"
Arka mengendik. "Ya, 'kan gue gak satu pesawat sama lo. Guenya aja masih betah di sini."
"Arkaaa! Gilanya jangan ngajak-ngajak, dong. Cepat mandi! Gue tunggu di loby."
Pelan, Arka mulai menyeret dirinya ke kamar mandi. Ya, ia harus memenuhi kewajibannya sebagai seorang sopir pesawat. Ia tidak boleh malas. Banyak nyawa yang bergantung padanya.
"Arka cepat! Jangan semedi di kamar mandi!"
Ah, itu suara Kelly. Perempuan itu benar-benar.
"Bawel amat, sih! Yang mandi juga gue, kenapa lo yang ribet?"
"Bodo amat! Gue tunggu di loby!"
Setelahnya terdengar suara heels yang beradu dengan dinginnya lantai marmer, bertanda perempuan itu telah melenggang pergi meninggalkan Arka seorang diri.
Ckck, baru kali ini gue nemu pramugari seribet lo, Kel.
▪︎▪︎▪︎
"Aneh."
Halo guys, selamat membaca and see you.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Pilot
RomanceBagaimana setelah kau memutuskan untuk pergi? Adakah yang kau rasa berbeda setelah hari-hari kita tak menemukan tawa lagi? Ah, mungkin hanya aku yang merasakan ini seorang diri. Ya, aku telah menetapkan hati. Jika kau pergi, aku pun lari. Namun, jik...