Reina yang baru saja selesai membuat kopi, langsung dikejutkan dengan kehadiran Arka serta sang mama di ruang tamu keluarganya. Sungguh, ia tak mengira bahwa Arkalah tamu dari kedua orangtuanya.
"Masya Allah, Bulan. Kamu tambah cantik aja, Nak. Tante jadi pangling lihatnya," puji Mama Arka kala Reina berhasil menyalami tangannya.
Kikuk, Reina bingung harus bereaksi seperti apa. Waktu memang benar-benar telah membuat suasana canggung jadi tak terkira.
"Terima kasih, Tante. Tante juga sama, terlihat semakin cantik aja," sahut Reina dibalas dengan rengutan oleh Mama Arka.
"Tante sih malah semakin tua." Ia bangkit berdiri, lalu merangkul bahu Reina. "Dan lagi, bicaranya santai aja. Kan kita udah seperti keluarga."
Aduh, matilah Reina.
Melihat gelagat gugup Bulannya, Arka lantas menyela sang mama. "Ma, udah Ma. Reinanya dibiarin duduk dulu."
Mama Arka mengangguk, mengapit jari jemari Reina agar segera duduk di sebelahnya. "Kangen banget deh Tante sama kamu, Nak."
Reina tersenyum, lebih tepatnya tertekan. Ia mengedarkan pandangan pada kedua orangtuanya. Terlihat mamanya yang nampak gelisah, menyenggol-nyenggol bahu sang papa.
Pasti ulah kalian.
"Arka?"
Reina langsung menoleh pada single sofa yang kini sedang diduduki oleh Arka. Lelaki itu lantas bertukar pandang dengan sang papa.
"Sekarang Reinanya sudah ada. Jadi, hal apa yang mau kamu bicarakan?"
Hening, Reina menelan ludah. Sepertinya ia belum siap untuk mendengarkan kelanjutannya.
"Anu, Pa? Kayanya Reina perlu ambil kudapan di belakang."
"Kakak, bisa diam dulu gak?" Netra sang papa tajam menyoroti putrinya.
Reina menunduk. "Maaf," cicitnya dibalas elusan tangan oleh Mama Arka.
"Jadi, ada hal apa Nak Arka?" tanya Papa Reina beralih kembali pada Arka.
Reina menggigit bibir. Bismillah, bukan hal apa-apa.
"Begini, Om." Reina cepat-cepat memejamkan mata, tidak berani menatap Arka yang sedang berbicara. "Niat Arka dan Mama ke sini adalah untuk meminta izin Om Bhumi dan Tante Bunga agar Arka bisa menikahi Reina."
"Hah?" pekik Reina mengundang perhatian orang-orang di sekitarnya. "Maaf," ucapnya merasa bersalah. Sekarang ia harus bagaimana? Cepat ia larikan pandangan pada sang papa, meminta pertolongan darinya.
"Kalau Om sih terserah Reina. Jadi, Kakak gimana?" Papanya malah menodong tanggapan dari hal yang serupa. Sungguh, ini sudah gila. Hal seperti ini harusnya tak boleh terjadi, di saat Arka telah berhasil menemukan sosok lain yang bisa menggantinya.
Bangkit berdiri, Reina langsung menarik tangan Arka untuk segera menepi. "Mohon maaf semua, kayanya Reina perlu bicara berdua dengan Arka," serunya lalu pamit undur diri.
"Sebenarnya ada apa, Rei?" tanya Arka ketika mereka berdua telah berdiri di dekat meja pantry.
Reina menatap tubuh tinggi menjulang yang saat ini hanya terpaut jarak beberapa langkah darinya. Wangi segar perpaduan khas garam laut dengan biji-bijian berhasil mengusik indra penciumannya.
Jangan ke-distract, Reina.
Melangkah mundur, ia menyisakan jarak yang lebih jauh dari sebelumnya.
"Justru saya yang harusnya bertanya, anda kenapa? Habis mabuk di jalan?" katanya yang malah mengundang kekehan.
"Kan udah pernah dibilang, Arka itu gak pernah mabuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Pilot
RomanceBagaimana setelah kau memutuskan untuk pergi? Adakah yang kau rasa berbeda setelah hari-hari kita tak menemukan tawa lagi? Ah, mungkin hanya aku yang merasakan ini seorang diri. Ya, aku telah menetapkan hati. Jika kau pergi, aku pun lari. Namun, jik...