Malam menjelang, pun keluarga Reyhan Bhumi Selkasa masih betah saja berkumpul di kantin rumah sakit tempat putrinya dirawat. Tadi sore, lebih tepatnya setelah menunaikan ibadah salat magrib, Papa Reina yang notabene baru beberapa jam menginjakkan kaki di Jakarta, langsung ditarik oleh sang istri untuk pergi ke kantin bersama. Di sana sang istri tak hanya berdiam, pun menumpahkan semua keluh kesahnya tentang sang putri.
"Ya, kalau memang kakak gak suka. Kenapa engga, Ma?" tanggap Papa Reina karena dirasa istrinya hanya menimbun kecemasan semata.
"Ih, Papa tuh nyebelin. Senangnya nurutin kemauan anak aja."
Papa Reina menggaruk alis tak kentara. "Papa gak nyebelin. Mama lagi sensian, ya?"
Sembari mencebik, Mama Reina menyeruput es teh manis di depannya cepat.
"Papa ngomong dijawab dong, Ma."
"Bodo! Mama gak dengar." Pun siapa sangka, dalam sepersekian detik setelahnya Mama Reina langsung terbatuk-batuk mencoba meloloskan kembali es teh manis yang belum lama ini ditelannya.
"Nah, kan. Kualat itu ekspres, Ma. Baru mangap sedikit, udah ditransfer tuh ganjarannya."
Dengan wajah memerah, Mama Reina balik mendelikan mata.
"Gak percaya? Perlu dicoba lagi?"
Menghela napas, Mama Reina membanting sedotan plastik di genggamannya kesal.
"Udah lah, cape ngomong sama Papa. Jauh-jauh sana."
"Eh, kok gitu? Bercanda Papa, Ma." Papa Reina mencoba meraih jari jemari lentik sang istri, pun segeranya ia terhempas dari sana.
"Apa sih? Gak usah pegang-pegang!"
"Astagfirullah, Papa baru pulang loh, Ma. Masa udah dimusihin begini?"
"Salah sendiri jadi orang nyebelin. Udah sana, gak usah dekat-dekat."
Papa Reina meringiskan bibir. "Kayanya kita perlu pendinginan, deh." Bangkit, ia melangkah mendekati tempat duduk sang istri. "Salat, yuk, Ma? Kita belum isya."
Mama Reina bergeming. Meski benar ia belum menjalankan kewajiban, pun ia gengsi dan bisa melaksanakan itu sendiri.
"Gak lagi dengar hasutan setan, 'kan? Istigfar, Ma. Ayo salat. Jangan mau diperbudak."
Mama Reina melirik tajam. "Ngatain Mama pengikut setan, begitu? Iya? Okey! Kita lihat siapa setan!"
Dengan mulut tersungut-sungut Mama Reina bangkit, melangkah mendahului sang suami.
"Eh, ke mana?"
"Ke tempat yang lebih sejuk. Buat buktiin siapa setan!"
Papa Reina menggelengkan kepala. Perasaan Papa gak ngatain Mama setan.
.
."Tante, kalau Arka udah besar, Arka bakal terus jagain Reina. Gak bakal biarin dia sendirian, gak bakal buat dia kesepian, apalagi sampai buat dia nangis."
"Arka juga bakal buktiin, kalau Arka bisa ajak dia berkeliling dunia. Arka bakal lawan rasa takut dan trauma Arka akan ketinggian. Yang terpenting, Arka diizinin buat selalu bahagiain Reina."
Mama Reina yang sedari tadi mendengarkan celotehan itu pun tersenyum.
"Iya, Sayang. Tante percaya kok kalau Arka akan terus jagain Reina." Mengelus kepalanya, Mama Reina berjongkok mencoba mensejajarkan tingginya dengan Arka. "Tapi satu hal yang perlu diingat, Sayang. Kehidupan Arka pasti juga lebih penting dari sekadar ngejagain Reina. Arka perlu--"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Pilot
RomanceBagaimana setelah kau memutuskan untuk pergi? Adakah yang kau rasa berbeda setelah hari-hari kita tak menemukan tawa lagi? Ah, mungkin hanya aku yang merasakan ini seorang diri. Ya, aku telah menetapkan hati. Jika kau pergi, aku pun lari. Namun, jik...