Untuk Reina, Bulannya Arka.
Hai, cantik. Apa kabar? Kamu baik aja kan? Arka udah kangen kamu, tapi pasti kamu menolak bertemu. Maaf atas semua. Arka cuma gak mau kehilangan Reina. Sehat selalu Bulannya Arka.
Pengakuan rasa? Ah, bukan-bukan. Ini ancaman baru untuk Reina. Ia tak boleh lengah. Arka bisa saja meruntuhkannya.
Reina mengecek jadwal, mendesah saat tidak menemukan perjalanan dinas keluar kota.
Gak ada perjalanan urgent apa? Reina gak bisa kalau harus dekat-dekat dengan Arka.
Ia meracau. Dua hari setelah mendapat kiriman dari Arka. Ia benar-benar tidak bisa tenang. Makan salah, tidur salah, malah yang lebih parah saat ia pergi sholat ke mushola, padahal sedang dalam kondisi berhalangan.
Aduh Rei, fokus Rei. Arka akan senang kalau kamu terus begini.
Reina mengedarkan pandangan, jam sudah menunjukkan pukul dua siang, pun ia sama sekali tidak merasakan lapar, malah hasratnya saat ini ingin sekali memesan kopi.
"Ah, sekalian aja deh aku yang keluar." Reina lantas bergegas mengambil dompet pun ponsel, berjalan menghampiri meja kerja Marshal.
"Shal, saya keluar sebentar, ya, cari kopi. Kamu mau apa?"
Pandangan Marshal langsung teralih dari layar monitor ke wajah sang komandan. Berkata bahwa ia ingin memesan satu cup hot Macchiato.
"Oke, saya titip sebentar, ya, Shal. Izin keluar dulu."
"Siap, Ndan! Laksanakan."
Reina menyunggingkan senyum, lantas berjalan keluar menuju kafe di seberang jalan. Di sela-sela perjalanannya pun ia tak henti untuk terus bertegur sapa walau hanya sekadar tersenyum ataupun mengangguk ramah pada orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Entah mengapa, menyapa orang adalah salah satu rutinitas yang digemarinya, setelah rutinitas ia sebagai sosok pengayom di tengah-tengah masyarakat tentunya.
"Selamat datang di Standucks. Silakan, Ibu. Mau pesan apa?" Itulah sapaan seorang barista, saat Reina baru saja mengijakkan kaki di depan counter.
Reina tersenyum, lantas menyebutkan bahwa ia ingin memesan satu cup Macchiato panas, dan satu cup Bootleg Brulee.
"Ukurannya apa, Bu? Tall, grande, atau venti?
"Grande," jawab Reina lembut.
"Minum di sini atau dibawa pulang? Mau sekalian cake-nya juga? Ini ada dua new variants loh, Bu," ucap sang barista sambil menunjuk dua varian cake yang dimaksud.
Reina lagi-lagi tersenyum, mengiyakan bahwa ia ingin mencoba dua varian baru cake tersebut, pun menyebutkan bahwa menu yang ia pesan akan dibawa pulang.
"Baik, Bu. Atas nama siapa?"
"Cup Macchiato atas nama Marshal dan Bootleg Brulee atas nama Bulan."
"Baik, Bu. Silakan ditunggu," tutup sang barista saat Reina telah selesai melakukan transaksi.
Reina mengangguk, lantas bergegas mencari kursi yang tersedia. Tidak banyak pengunjung yang hilir mudik di sekitarnya, karena ia rasa ini sudah jauh dari jadwal makan siang para pekerja.
"Boleh saya duduk?" ujar seorang lelaki berpostur tinggi tegap, berjas, lengkap dengan kaca mata yang bertengger manis di pangkal hidungnya.
Reina sedikit menjengkit kaget, pasalnya bahkan belum genap lima menit ia duduk di sana.
"Oh, iya, silakan."
Lelaki itu memamerkan senyum plus lesung pipit di wajahnya. Reina balas tersenyum, lalu menunduk memainkan ponsel.
"Dinas di mana?" tanya lelaki itu seperti ingin memulai percakapan berkelanjutan dengan Reina.
"Polresta Bandara Soetta," sahut Reina beralih sebentar dari layar ponselnya.
"Oh, yang di depan sana, ya?" Reina mengangguk. Pun lelaki itu lantas mengulurkan tangannya. "Salam kenal, saya Arman Hadinata."
Reina mengernyit, sedikit heran dengan tingkah lelaki asing di depannya ini. Ragu-ragu ia balas uluran tangan itu. "Reina Bulan Selkasa."
Lelaki itu tertawa pelan. "Ya, saya sudah membaca nametag Anda."
Pandangan Reina langsung beralih, menatap nametag lalu meringis. "Ah, iya." Ia melepas tautan tangannya.
"Ibu Bulan?" Interupsi seorang barista menandakan pesanan Reina telah tersedia, pun ia harus segera beranjak untuk mengambilnya.
"Maaf, saya duluan," pamit Reina dibalas senyuman lebar lelaki asing di depannya itu.
"Iya, silakan. Ehm ..., boleh saya mampir lain kali?"
"Maksudnya?"
"Mampir ke kantor Anda, Ibu polisi cantik."
Mata Reina tak berkedip. Mau apa dia?
"Boleh?"
Mengernyitkan dahi, lalu mengangguk kecil. "Silakan saja, kami siap membantu." Reina tidak tahu ini akan menjadi sebuah boomerang atau tidak untuknya. Pun semoga saja tidak akan terjadi apa-apa.
.
."Makan siang di Bintaro, jangan lupa beli udon. Arka songong, bawain koper gue dong."
Arka mendesis. Hanya Kelly, makhluk super pede yang berani menyuruhnya lewat pantun tidak nyambung seperti itu. Terlebih, dia kira tugas Arka sedaritadi hanya berleha-leha apa?
"Mbahmu songong. Gak terbalik? Siapa di sini yang lebih songong?" ujar Arka menoyor kecil dahi Kelly.
"Bawain, ih."
Arka merapatkan bibir, lalu menghela napas. "Mba Kelly Felicia yang cantik, gak lihat koper gue sama lo aja gedean punya lo? Bawa sendirilah, gak usah nyuruh-nyuruh."
Kelly menggeram. "Arka pelit!"
"Biarin amat, gue duluan." Ia lantas pergi meninggalkan Kelly.
"Ya, tungguin, kek! Malah lo tinggalin." Arka mengangkat tangan, seraya berhitung dengan jari tanpa berbalik.
"You are a lazy," ucap Kelly sambil mendorong bahu Arka menggunakan bahunya sendiri, sesaat setelah mensejajarkan langkahnya yang sempat tertinggal tadi.
"Elo."
"Ya, elo lah."
"Ck, sttt ...."
"Apa? Nantangin gue? Berani sini, ayo." Kelly memasang kuda-kuda di kedua tangannya.
Arka menggeleng. "Stres lama-lama gue temenan sama lo."
"Ya, elo duluan."
Arka memicing, pun tak lama ia menggunakan lipatan tangannya untuk mengunci pergerakan tubuh Kelly.
"Arka, woy! Mati leher gue lo cekik gila. Lepasin!"
"Ah cemen, katanya berani."
"Tapi gak gini juga."
Arka tertawa, mengacak sanggul pramugari cerewet di sebelahnya. "Jangan sok jagoan makanya."
"Ya kali di depan lo, gue mesti lemah lembut. Diam lo, ah. Sanggul gue udah gak ada harga dirinya."
Arka malah makin sumringah. Mungkin orang awam pun penumpang yang hilir mudik akan berpikir bahwa mereka adalah sepasang muda-mudi yang sedang dimabuk cinta. Namun, faktanya malah mengatakan yang sebaliknya.
▪︎▪︎▪︎
"Ya, mereka hanya sepasang sahabat saja."
Vote and commentnya gais.
Chorim
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Pilot
RomansaBagaimana setelah kau memutuskan untuk pergi? Adakah yang kau rasa berbeda setelah hari-hari kita tak menemukan tawa lagi? Ah, mungkin hanya aku yang merasakan ini seorang diri. Ya, aku telah menetapkan hati. Jika kau pergi, aku pun lari. Namun, jik...