4 - Panda

4.6K 231 44
                                    

Setelah selesai memberikan salam, Reina tidak segera berajak dari atas sajadah bermotif abstrak biru muda miliknya. Ia memutuskan untuk lebih mendekatkan diri lagi pada sang pencipta. Membuka al-qur'an, dan membacanya dengan tartil.

Sudah menjadi kebiasaan untuknya jika sedang merasa gundah gulana. Mengaji adalah penawar yang tepat tiada dua.

Menghela napas, ia jadi teringat pertemuan kedua kalinya dengan Arka. Lelaki itu kini tak lagi tersesat. Arahnya mungkin sudah tepat. Mendapat seorang perempuan cantik, menuntunnya menjadi sesosok lelaki dewasa nan berwibawa. Ditambah dengan profesi keduanya yang sejalur dan bersisian. Ia tak bisa menampik, bahwa kenyataannya, baik Arka mau pun perempuan pramugari itu terlihat begitu serasi. Jauh jika harus dibandingkan dengan dirinya yang kala dulu bahkan selalu menyusahkan.

Arka--tokoh utama cerita masa kecilnya, sekarang harus segera disisihkan karena tak lagi dalam satu frame cerita yang sama.
.
.
Arka cepat menoleh saat mendengar suara pecahan kaca saling bersahutan dengan dinginnya lantai marmer ruang apartemennya. Ia mendapati wajah Kelly terlihat tegang dengan tubuh gemetaran.

"Kenapa, Kel?"

Pramugari cantik berdarah Tionghoa yang subuh tadi memaksa ingin ikut serta ke apartemennya pun hanya menggeleng sambil sedikit meringis.

"Ada apa?"

Arka bangkit berdiri, lalu melangkah menghampiri Kelly. Dilihatnya kaki kiri perempuan itu terdapat luka sayatan yang lumayan memanjang.

"Ya Allah, ngapain sih?"

"Maaf."

"Gue nanya ngapain? Bukan nyuruh minta maaf!" Arka berdecak.

Kelly menunduk, ia sungguh takut kena marah Arka. Cerobohnya ia sampai memecahkan sebuah pigura yang bahkan saat pertama kali ia berkunjung ke apartemen ini saja sudah diperingati untuk tidak menyentuhnya.

"Gue gak larang lo nyentuh atau pakai barang gue yang lain. Tapi, tolong jangan yang ini."

"Itu kan cuma foto. Anak kecil lagi."

"Terserah. Jangan yang ini."

Kelly terus menunduk sambil sesekali menggumamkan kata maaf. Ia yakin, setelah ini Arka pasti akan marah besar padanya.

"Sini." Dan tanpa diduga, Arka malah menarik pergelangan tangan Kelly. Dibawanya perempuan itu untuk duduk, menunggunya di sofa. Dengan langkah cepat, dibukanya kabinet kecil di sebelah meja televisi, mencari kotak P3K.

"Gue bukan ahli dalam hal ini. Tapi, luka lo mesti cepat diobati, yang kalau engga bisa infeksi."

Arka berlari ke wastafel untuk membersihkan kedua tangannya.

"Kalau sakit lo bil--"

"I really feel sorry. Please don't be mad at me, Ka."

Arka tak mengindahkan, ia berlutut dengan paha yang segera menopang pergelangan kaki Kelly.

"Arka?"

"Bisa diam dulu? Gue butuh konsentrasi."

Mendesah, Kelly menyerah. Ia tahu Arka bukan lah tipe lelaki yang temperamental. Marahnya tidak akan meledak-ledak seperti kebanyakan lelaki pada umumnya. Pun, ia yakin, lelaki itu pasti hanya sedang menyembunyikan rasa kesalnya.

"Tolong jangan buat orang khawatir. Kita berdua udah sama-sama dewasa, kalau ada bahaya ya coba cepat menghindar, bukannya malah diam."

Mata Kelly tak berkedip.

"Jangan ceroboh."

Tubuh Kelly seperti tersihir, ucapan Arka bagai sebuah matra yang berhasil mendesirkan hatinya.

The Perfect PilotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang