Pagi-pagi sekali Reina sudah kelimpungan menunggu sang papa yang bersih keras ingin berangkat bersamanya, dikarenakan beliau sendiri sedang ada perjalanan dinas ke luar kota. Pun ntah mengapa, proses membersihkan diri sang papa kali ini malah membuat hatinya gusar ingin segera memburu waktu yang tersisa.
"Pa, ayo dong mandinya. Rei udah telat ini."
Papa Reina menjawab dari balik pintu.
"Sabar sebentar, Kak. Papa lagi pakai dasi."
Reina menghela napas. "Agak cepat, ya, Pa. Aku tunggu." Ia melihat kembali jam tangan kulit hitam di pergelangan tangan kirinya yang sudah menunjukkan pukul enam lebih sepuluh. Pun apel paginya sendiri akan dilaksanakan pukul tujuh.
Aduh, gimana, ya? Berangkat pakai mobil papa, ya pasti gak akan terburu.
"Pa, Rei izin berangkat duluan, ya?" cicit Reina yang segera mendapat jawaban dari sang papa.
"Papa sebentar lagi beres, Kak. Kamu tunggu."
Oh, ingin menangis saja rasanya. Reina ada apel dengan kementerian Bea Cukai, dan administratur bandara pagi ini. Pun mengapa papanya saat ini malah tidak bisa diajak berkompromi sama sekali.
"Papa, ayo dong, Pa," pinta Reina putus asa. Masalahnya kemacetan Ibu Kota sudah pasti akan mengintainya.
"Papa is coming, My dear." Papa Reina datang dan merengkuh singkat tubuh sang putri. "Maafin Papa yang lama, ya?"
Reina mengangguk, walau dengan mimik wajah yang bertekuk.
"Ayo, Sayang. Kita berangkat."
Reina pasrah, saat ini mungkin kemacetan sudah pasti menghadangnya.
"Kakak? Kak?" Suara Mama Reina datang dari penjuru ruang tamu.
"Ada apa, Ma?" Baik Reina maupun sang papa ikut bertanya.
Mama Reina tidak langsung menyahut, ia malah menenteng tas kerja putrinya yang tergeletak di atas meja.
"Ma, ada apa?"
"Ada Arka," katanya terburu.
Reina berusaha mencerna, pun sang mama sudah terlebih dahulu menyela. "Dia jemput kamu. Ayo, kita keluar dulu."
Jantung Reina serasa tidak sedang berada tepat di tempat yang semestinya. Benarkah lelaki itu di sini? Atau semua ini hanya sekadar percakapan tak tentu arah di alam mimpi? Dengan tergopoh-gopoh, sang mama membimbingnya keluar dari ambang pintu. Di sana terlihatlah sesosok Arka Bintang Reftara tengah bersandar di pintu mobil biru metalik miliknya sambil menyemburatkan senyum.
"Itu Arka," seru Mama Reina membuat sang empunya nama beranjak untuk mendekati pintu utama kediaman keluarga Reyhan Bhumi Selkasa.
"Assalamualaikum, Om," salam Arka sambil menyalimi tangan Papa Reina yang sejak awal tadi memang sudah bergabung dengan Reina maupun sang mama.
"Waalaikumussalam. Ini ada apa, ya, Nak. Kok kamu datang sepagi ini?"
Arka menyunggingkan senyum, berkata bahwa maksud dari kedatangannya adalah untuk menjemput sosok Bulannya tercinta.
Reina membelalakkan mata. "Apa-apaan ini? Papa, udah mending Reina berangkat sendiri aja."
Mata Arka memicing. "Arka jemput kamu."
"Ya, tapi saya gak mau."
"Eh, udah-udah. Kok malah jadi ribut begitu?" Mama Reina mencoba melerai. Pun sang putri malah masuk ke dalam rumah, dan tak lama keluar sambil menenteng helm biru muda, beserta kunci motor berbandul panda di lengan kirinya.
"Reina izin berangkat dulu." Ia menyalimi tangan kedua orang tuanya, seraya mengecupi singkat kedua pipi mereka.
"Lho, gak jadi bareng Papa?"
"Takut gak terburu."
Mama Reina menghela napas, ia sudah mengira bahwa putrinya pasti akan bertindak seperti itu. Pun semoga saja Arka bisa membuatnya luluh.
"Ya udah, Arka yang bawa."
Reina bergeming, mencari alasan yang pas untuknya mengelak.
"Helmnya cuma satu."
Arka tentu tidak sebodoh itu. Ia lantas merebut kunci motor vespa matic milik Bulannya, pun membuka bagasi motor yang ternyata masih terdapat helm berwarna hitam di sana.
"Ini apa? Kalau kamu mau berbohong, lihat dulu orangnya."
Reina memejamkan mata. Ya Allah, habislah ia.
"Pamitan dulu," seru Arka lebih tepatnya pada diri sendiri, karena ia sudah dengan lancangnya ingin membawa pergi sang tuan putri.
"Om, Tante, Arka izin antar Reina ke kantor dulu."
Mama Reina mengangguk, namun raut wajah sang papa malah langsung berubah suntuk.
"Om?"
Papa Reina menghela napas. "Tolong hati-hati."
Arka tersenyum, mengangguk, seraya menyalami tangan kedua orang tua Bulannya.
"Kakak hati-hati." Papa Reina mengecup singkat kening sang putri, berkata bahwa ia akan bermalam di kota Surabaya untuk dua hari ke depan nanti.
"Papa juga jaga diri." Gantian Reina yang mengecup singkat kedua pipi sang papa, berbisik pelan bahwa ia sangat mencintainya.
"Love you more, My dear. Doakan Papa agar selamat sampai dan kembali ke tujuan."
Reina mengamini.
Arka dan Mama Reina yang melihatnya ikut terenyuh.
Semoga ada bagian Arka suatu hari nanti.
▪︎▪︎▪︎
"Aamiin."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Pilot
RomanceBagaimana setelah kau memutuskan untuk pergi? Adakah yang kau rasa berbeda setelah hari-hari kita tak menemukan tawa lagi? Ah, mungkin hanya aku yang merasakan ini seorang diri. Ya, aku telah menetapkan hati. Jika kau pergi, aku pun lari. Namun, jik...