Diusianya yang menginjak angka 25, Giselle sudah tak asing lagi dengan pertanyaan, "Kapan nikah?"
Kendati sudah ribuan kali orang-orang disekitarnya bahkan Maminya sendiri mengajukan pertanyaan itu, Giselle masih betah melajang. Dia seperti tidak te...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
***
Di ruangan berbau obat yang jendelanya menampilkan pemandangan taman yang banyak dikunjungi pasien, Giselle duduk termenung seorang diri.
Karina dan Yogi sudah pulang tadi siang. Beserta Bunda dan Mami yang Jean minta antar sekalian pada Yogi, karena tak mungkin ia meninggalkan Giselle sendirian di rumah sakit.
Kendati Mami tadi sempat menolak pulang karena ingin menemani putrinya lebih lama, Jean berhasil membujuk ibu mertuanya itu untuk pulang karena Mami pun memang tidak berada dalam kondisi yang baik. Akhir-akhir ini Mami rentan sekali terkena flu juga batuk, bukan hal baik jika Mami berlama-lama di rumah sakit.
Sekarang ini Jean sedang pergi ke kantin untuk mengisi perutnya yang kelaparan meminta diisi, meninggalkan Giselle sejenak yang mulai terlihat segar setelah mendapatkan satu kantung infus.
Keadaan yang hening mau tak mau membawa pikiran Giselle mengelana pada ucapan tak sengaja Karina tadi siang saat sedang mengupaskan anggur untuknya. Giselle termasuk ke dalam tim anggur dikupas. Yah, walaupun dia tidak yakin ada orang lain yang makan anggur dikupas dulu seperti dirinya.
Karina mengatakan kalau besok Haje dan Yeji akan menjalani mediasi. Katanya, Haje sudah menandatangani surat gugatan cerai yang Yeji ajukan padanya. Proses perceraian pasti akan segera dilakukan kalau mediasi tak berhasil, dan entah kenapa dalam hatinya, Giselle yakin kalau Yeji takkan luluh.
Meski cinta Yeji pada Haje sangatlah besar, luka yang diberikan Haje tak kalah besarnya. Ditambah dengan ikut campurnya Giselle dalam kisah percintaan masa lalu mereka, Yeji tak mungkin masih ragu-ragu jika sudah sejauh ini.
Keberadaan Haje pasti sudah tak lagi dianggap penting bagi Yeji. Apalagi dirinya, kan?
Menghela nafas dengan pikiran yang penuh, Giselle berakhir merebahkan lagi kepalanya pada bantal. Memandangi langit-langit yang putih polos, tanpa sadar mengeratkan genggaman tangannya pada ujung selimut saat setetes air mata mengalir melalui sudut matanya.
Mau bagaimana pun, Giselle takkan bisa menyangkal jika kini Yeji sudah membencinya.
Usahanya selama ini menyibukkan diri dengan pekerjaan juga memperbanyak waktu tidur rupanya tidak bekerja sebagaimana mestinya. Tetap saja, disela waktu rehat yang selalu Trisa berikan secara paksa padanya, Giselle selalu berakhir terisak pedih sendirian di bawah meja kerjanya. Menyembunyikan hatinya yang perih dari semua orang. Tak mau siapapun tau kalau hatinya tengah hancur-hancurnya.
Mau mengeluh pada semesta pun rasanya percuma, ini pasti adalah karma yang Tuhan berikan padanya karena berani-beraninya mengambil cinta seseorang yang telah sama-sama mengikat hati.
Giselle tak lebih dari selingkuhan yang tidak tau diri. Melabeli diri sendiri dengan kata 'pertemanan' yang mana siapapun tau kalau itu hanyalah omong kosong semata.