3

1K 103 12
                                    

Hawk

Setelah menyelesaikan sejumlah pekerjaan di Biker Bar, aku tidak langsung pulang.

Sesuai kebiasaan, setiap Rabu sore aku akan mengunjungi Phoenix.

Dia adalah kakakku. Usia kami terpaut empat tahun.

Kediamannya searah dengan jalan menuju rumahku. Jarak tempat tinggal kami hanya berselang sekira 45 menit berkendara.

Setibanya di rumah bergaya kastil ini, aku langsung disambut Tom, sang kepala pelayan.

"Mr. Storm ada dilantai atas. Beliau sudah menunggu Anda," sapa Tom.

Aku mengangguk, lalu melangkah menuju tangga penghubung ke lantai atas.

Di hadapan anak tangga pertama terdapat sepasang stand barrier portable, sebagai penghalau orang yang tidak dikehendaki agar tidak naik.

Tom dengan cekatan membuka pita pembatas berwarna merah, untukku.

"Thank you, Tom."

Pria berusia akhir 40 tahunan itu mengangguk. "Anytime, Sir."

"It's Hawk, Tom. Berapa kali aku harus mengingatkanmu? Jangan bersikap formal kepadaku," protesku.

Tom berdeham. "My mistake, Hawk. Sorry," balasnya, dengan gaya yang lebih santai.

Aku menggeleng sambil bergerak menaiki anak tangga.

Berbeda denganku yang sehari-hari bergaya santai sebagai seorang biker, Phoenix menjalani hari-harinya bagaikan seorang tuan tanah misterius dari zaman abad pertengahan.

Di ujung tangga teratas, aku segera melihat penampakan sebuah pintu ganda terbuat dari kayu oak hitam.

Satu-satunya pintu yang ada di lantai ini.

Kakakku itu menghabiskan sebagian besar waktunya di area, di balik pintu itu.

Aku melangkah masuk, lalu bergegas menuju pintu ruang kerjanya.

"Kau datang juga, Hawk," ujarnya seraya menoleh ke arahku.

Dia masih duduk di kursinya, di hadapan layar-layar TV layar datar yang menyiarkan gambar CCTV dari berbagai ruang, sudut, dan lokasi di area properti miliknya yang luas itu.

"Apakah pernah aku lupa, Beast," sindirku.

Dia menyeringai dari sudut bibirnya. Itu adalah satu-satunya indikasi kalau Phoenix sudah terhibur dengan ucapanku.

Kakakku itu sudah lama sekali tidak tertawa.

Aku berdiri di samping kursi kerjanya. Tangan kusilangkan setinggi dada. "Apakah ada yang menarik?" Aku bertanya sambil memperhatikan layar-layar pantauan CCTV di hadapan kami.

Phoenix berdecak sambil melambaikan satu tangannya ke atas. "Hanya hal-hal remeh temeh yang tak penting," jawabnya, seraya berdiri.

"Let's go to the bar. I'll fix you a drink," undangnya.

Aku melangkah mengikutinya. Kami keluar dari ruang kerja, menuju area bar.

Dengan terlatih, ala bartender profesional, dia membuatkanku segelas minuman.

Aku memperhatikan saat dia meramu minuman itu untukku.

Lalu Phoenix menaruh gelas yang sudah terisi minuman cocktail hasil racikannya di atas meja bar, dan menggesernya ke hadapanku yang sudah duduk di salah satu bangku.

"Tom Collins? Really, Beast," sindirku lagi.

"Hey, it's said the most manly cocktail," kilahnya.

"Kata siapa?"

Loving HawkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang