16

579 76 1
                                    


Kami berjingkrak-jingkrak dengan pasangan dansa masing-masing, mengikuti alunan musik bertempo cepat. Posisi aku, Anna, dan Laura saling berdekatan.

Meskipun lampu penerangan di lantai dansa ini temaram, aku masih bisa melihat keberadaan keduanya.

Sesekali kami bahkan saling melirik dan bertukar sorotan mata jahil.

Kami bertiga juga kerap saling berbalas tawa kebahagiaan. Pasangan dansa kami juga bersikap hampir sama.

Setelah dua lagu remix yang disuguhkan sang DJ mengiringi gerakan disko kami, akhirnya terdengar alunan musik bertempo lambat.

Aku melihat Anna dan Laura mulai melakukan gerakan slow dance dengan pasangan dansa mereka.

"Shall we continue our dance?" Nick bertanya ramah.

Aku mengerti jika mengiyakan ajakannya itu, maka mau tidak mau kami akan bersentuhan.

Mustahil melakukan slow dance tanpa saling merapatkan tubuh satu sama lain.

Aku menggeleng. "I'm sorry, Nick. I can't," balasku.

Hawk pernah berujar bahwa kebaikannya kepadaku adalah agar supaya aku bisa memiliki kesempatan untuk menata hidup. Bukan untuk menarik perhatian dari para pria.

Dan, aku juga sudah memberikan janjiku kepadanya, kalau aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Hawk berikan.

Tanpa menunggu respons dari Nick, aku melangkah mundur lalu membalikkan badan.

Aku melangkah mendekati panggung, membelah lautan pasangan dansa yang memenuhi area ini.

Aku pun kemudian berdiri dalam diam, tertegun mendengarkan lirik lagu yang sedang mengalun.

Aku tahu lagu ini. Judulnya, To The Moon And Back dari Chris Mann

Aku berdiri memandang nanar ke arah panggung.

Sama sekali bukan memperhatikan tingkah sang DJ yang sedang menyanyikan lagu ini secara lipsing di hadapan DJ Mixer.

Aku hanya fokus memperhatikan liriknya.

Lagu itu, membuatku sedih, sekaligus kesepian.

Bagi sebagian besar masyarakat dunia, aku ini tergolong masih muda.

Sangat muda. Bahkan terlalu muda, untuk memikirkan hal-hal yang terlalu berat.

Tapi, umurku hanya sebuah angka belaka.

Di usia 18 tahun ini, aku telah hidup sebatang kara di kota antah berantah.

Aku pura-pura berdiri tegak, dan mencoba berani untuk membangun sebuah masa depan.

Sejujurnya, aku takut.

Seandainya saja ada seseorang yang mencintaiku sedemikian besar, seperti lirik lagu itu.

Seorang kekasih yang menguatkan batinku. Menjadi batu sandaranku.

Seorang pria lebih tua yang tulus mencintaiku, dan tidak keberatan dengan usiaku.

Sebut saja aku ini secara psikologi memiliki kondisi mental yang disebut dengan father issues. Sama sekali aku tidak akan menyanggahnya.

Aku memang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Sosok ayah yang diperlihatkan oleh Jude, sama sekali bukan figur yang baik.

Aku menginginkan cinta tulus dan kasih sayang tak bersyarat dari pria yang lebih tua.

Aku membutuhkan perasaan diayomi, dilindungi, dan dimanja bagaikan seorang anak kecil.

Sebab, aku memang nyaris tidak pernah di manja seumur hidup.

Bahkan oleh mendiang ibu kandungku sekalipun.

Seandainya aku bisa memiliki seorang kekasih yang bisa memberikan apa yang kubutuh, tanpa pernah menghakimi atau membuatku merasa seperti orang aneh.

Ah, betapa aku akan menjadi gadis yang paling bahagia di seantero jagad raya ini.

Aku menghela napas panjang yang terasa pedih di hati.

Kenyataannya, aku sendirian mengarungi hidup di tengah ketidakpastian dunia yang asing ini.

Aku tidak bisa berharap lebih banyak lagi dari Hawk. Pria itu sudah memberiku lebih dari cukup.

Aku juga merasa bahwa kebaikan Hawk selama ini, hanya semacam belas kasihan saja.

Segala apa yang dia berikan kepadaku didasari rasa kemanusiaan. Tidak lebih.

Sama sekali bukan ungkapan perasaan cinta dari seorang pria kepada wanita.

Aku menggeleng. "Nope," bisikku, pelan, seraya mengusap air mata yang telah jatuh ke pipi.

Seperti yang dia pernah katakan, aku ini hanya bocah ingusan di matanya.

Dan, sepertinya dia bukan pria yang tertarik menjalin hubungan asmara dengan orang sepertiku.

Hawk tidak akan mampu memberikan apa yang kubutuhkan.

Aku ingat betapa marahnya dia saat aku menyebutnya Daddy.

Aku pun kembali menghela napas panjang.

Cepat atau lambat, aku harus pergi dari kediamannya. Dan setelah itu, aku akan benar-benar sendirian.

Sebuah telapak tangan menyentuh perutku dari belakang. Tubuhku mendadak kaku. Lalu aku mengenyahkan tangan itu.

"Don't touch me, Nick," kataku tanpa menoleh.

Aku maju selangkah dengan kesal. Mataku masih tertuju ke panggung.

Tangan yang sama kembali menyentuh perutku dari belakang.

Aku kembali mengenyahkannya. "Hentikan, Nick. Ingat, kau sudah berjanji!"

Aku maju selangkah lagi.

Kali ini bukan satu, tapi sepasang tangan bergerak mengular ke perutku, mencoba memelukku dari belakang.

Dengan jengkel, aku memutar tubuh untuk menghadapinya.

"I said, stop it!" Aku membentak.

Mataku seketika membelalak saat mendapati pria itu bukanlah Nick.

"Hawk! What are you doing here?" Aku memekik kaget.

Dia mengabaikan pertanyaanku. Matanya fokus menatap wajahku dengan seksama.

Lalu satu tangannya mengusap pipiku. "Why are you crying, Baby?" Hawk bertanya dengan penuh perhatian.

Aku diam, masih berusaha mengerti dengan kejutan tak terduga ini.

"Katakan, Page, apakah lelaki bernama Nick itu telah menyakitimu dan membuatmu menangis?" Hawk bertanya dengan nada marah.

Saat aku tetap diam, dia memilih untuk kembali berbicara.

"Apa perlu aku membunuhnya? Katakan Page, dan aku akan melakukannya tanpa keraguan!"

Kata-katanya itu langsung menyentuh hatiku yang memang sedang merasa galau.

Tanpa berpikir panjang aku bergegas memeluknya erat-erat. Sesuatu yang sebelumnya belum pernah kulakukan.

Meski kami telah empat bulan hidup seatap, aku dan Hawk hampir tidak pernah melakukan kontak fisik.

Dia tidak membalas pelukanku.

"Sayang, katakan padaku sekarang juga, dan aku bersumpah akan...," Hawk mendesak dengan nada panik.

Sepertinya dia benar-benar khawatir.

"Hush now, stop talking Hawk! Just please hold me. Hold me so tight, like you never ever let me go. Just pretend for a few minutes that you love me. Can you do that, Hawk?" Aku berkata dengan mata terpejam, dan kedua tangan memeluk Hawk erat-erat. Satu sisi pipiku menempel di dadanya.

Tubuhnya mendadak terasa kaku. Namun, aku memilih untuk tidak menghiraukannya.

Lalu tanpa berkata apa pun lagi, Hawk pun memenuhi permintaanku.

Lelaki ini pun memeluk tubuhku dengan tak kalah erat seperti apa yang kulakukan kepada tubuhnya.

Aku tersenyum. "Thank you," kataku.

Loving HawkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang