Pigeon
Aku menyanyi di atas panggung, di HG. Jam panggungku bukan di waktu utama. Sehingga, tamu yang datang tidak terlampau banyak. Namun, tidak pernah sampai tidak ada tamu sama sekali juga.Mataku melirik ke jam dinding besar di sana. Tepat pukul tujuh malam.
"Terima kasih dan selamat malam," kataku, setelah menyelesaikan lagu terakhir dari pertunjukan malam ini.
Beberapa tamu yang datang bertepuk tangan. Sementara yang lainnya terlihat tidak peduli. Mereka tetap bersantap atau minum sambil mengobrol dengan teman atau pasangannya.
Aku turun dari panggung dan masuk ke pintu khusus menuju koridor belakang panggung.
Rencananya aku akan segera berganti pakaian lalu pulang. Setelah itu, akan memasak makan malam untuk aku dan Hawk.
"Pig!" Aku mendengar suara yang familer menyapa.
Pig.
Hanya keluargaku saja yang memanggil dengan sebutan menghina itu.
Dan itu, aku menebak adalah suara Sunny.
Aku mengabaikannya. Terus saja melangkah menuju ruang ganti.
"Pig!" Dia memanggil lagi. Kali ini dengan suara yang lebih keras.
Aku masih terus mengabaikannya.
"Pig!" Dia berteriak sambil menarik tanganku.
Aku pun berhenti melangkah lalu menoleh.
"Apakah kau tuli? What the fuck, Pig!" Sunny berseru.
"Aku mendengarmu, Sunny. Hanya saja aku tidak ingin berbicara denganmu," balasku, santai.
"You arrogant bitch! What the fuck? We are sister. Are you forget about that?"
"What do you want, Sunny?"
"Apa yang kuinginkan? Aku tidak menginginkan apa pun darimu, Sis. Aku hanya datang berkunjung untuk melihat keadaanmu," kata perempuan berambut pirang itu.
Kami kini sudah berdiri berhadap-hadapan.
"Berkunjung?"
"Iya," Sunny mengangguk.
Aku memasang tampang tidak percaya. "Kenapa kau mau mengunjungiku?"
"Sebab, kita adalah saudara. Apa lagi?"
Aku menggeleng. "Dan aku harus percaya itu? Setelah perlakukanmu selama ini kepadaku?"
"Ah, sudahlah, Pig. Lupakan masa lalu. Dulu aku dan kau masih anak-anak...,"
"Tindakan dan kata-kata kita seringkali konyol dan tanpa dipikirkan terlebih dulu," kilahnya.
Aku memelotot. "Seriously, Sunny. What do you want?"
Dia mengesah. "I'm worry about you, Sister."
Keningku berkerut. "Worry about me?"
"Yeah, Sister," angguknya.
Aku menatapnya dengan sorotan tak percaya.
Sunny mengesah panjang. "Yang terjadi adalah aku pulang ke rumah untuk liburan musim panas, oke. Aku rindu keluargaku...,"
"Lagi pula dengan kondisi Mom. Bisa saja ini akan menjadi tahun panas terakhirnya di tengah-tengah kita. Maka, aku pun pulang," tuturnya.
Aku menyilangkan kedua tangan setinggi dada. "Lalu?"
"Lalu, kau tidak ada. Dan, aku bertanya kepada Dad. Dia menceritakannya kepadaku. Tentu saja aku marah. Aku memarahinya, Sunny...,"
"Dad terus terang saja, terlihat menyesal dan merasa bersalah. Maka, saat kukatakan bahwa aku hendak datang ke sini untuk melihat keadaanmu, dia setuju," tuturnya.
"Oya?" Aku bertanya dengan nada meledek.
Sunny mengangguk. "Dad menitipkan salamnya untukmu. Kau tidak tahu ini, Pig. Tapi dirimu adalah pahlawan keluarga kita."
"Pahlawan?"
Sunny kembali mengangguk. "Uang yang Hawk Storm berikan telah membantu Mom mendapatkan pengobatan yang lebih baik...,"
"Selain itu, Dad juga menggunakan sebagian uang itu untuk berinvestasi."
"Investasi?" Aku bertanya.
"Iya. Ada perusahaan lokal air minum kemasan yang hampir bangkrut. Dad, berinvestasi di sana. Sekarang perusahaan itu mulai berkembang...."
Sunny merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Lalu dia mengeluarkan sebotol air minum kemasan. "Ini untukmu. Coba saja."
Dengan malas, aku pun mengambil botol itu.
"Minumlah. Airnya segar dan berkualitas. Mungkin jika sudah memiliki tabungan yang cukup, dirimu pun akan tertarik untuk ikut berinvestasi," undangnya.
"Sepertinya tidak. Tapi, terima kasih," balasku, tak acuh.
"Minumlah," kata Sunny sambil menunjuk ke botol minuman yang sudah aku pegang.
"Aku belum haus. Nanti saja," balasku.
Sunny tersenyum lalu mengangguk.
"Bagaimana kabarmu. Apa kamu baik-baik saja?" Dia bertanya, seolah-olah peduli padaku.
Aku mengangguk.
"Apakah Hawk Storm menyuruhmu menyanyi di sini?"
"Dia membantu mencarikanku pererjaan di sini," balasku, memberinya jawaban diplomatis.
"Apakah mmh, dirimu sudah memiliki banyak pelanggan?"
"Aku bukan wanita tuna susila!" Aku membentak.
Sunny tampak kaget. Lalu dia mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Kupikir juga bukan. Setidaknya, orang-orang yang kuajak bicara mengatakan bahwa kau memang bukan perempuan seperti itu."
Keningku berkerut. "Orang-orang yang kau ajak bicara?"
Sunny berdeham. "Sebenarnya aku sudah datang ke kota ini dari kemarin. Aku menginap di sebuah motel...,"
"Aku bertanya kepada sejumlah orang yang kutemui perihal dirimu," ungkapnya.
"Perihal diriku?"
Sunny mengangguk. Dia tampak gelisah. "Aku bertanya apakah mereka mengenal gadis bernama Pigeon Underwoods? Aku juga menyebutkan bahwa kita berdua adalah sister, dan aku ke sini karena mencemaskanmu."
Aku tetap memiliki perasaan tidak percaya kepadanya. "Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, Sunny."
"Iya. Aku senang kalau begitu," angguknya, sambil tersenyum kecil.
"Dari sini, aku langsung akan terbang New York," terangnya.
Sunny kuliah di kota itu.
Aku mengangguk. "Selamat jalan kalau begitu."
"Terima kasih," angguknya.
"Bye Sunny."
"Bye Pigeon."
Aku melangkah mundur sebelum berbalik. Aku hendak masuk ke ruang ganti.
"Pig!"
Aku menoleh. "Jangan lupa minum airnya," seru Sunny, sebelum melambaikan tangan.
Dia lalu berbalik badan dan pergi meninggalkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving Hawk
RomanceSaat teman lamanya datang tanpa diundang untuk menawarkan putrinya, Hawk pada akhirnya mengambil keputusan. Dia menerima tawaran tersebut. Menurutnya itu adalah pilihan yang paling bijaksana, demi kebaikan gadis itu. Disclaimer! This is teaser versi...