31

327 54 5
                                    


Hawk



Kami duduk di ruang kerja Phoenix.

Kakakku itu duduk di kursi kantornya, di belakang meja. Sementara aku duduk di sebuah kursi di hadapan meja yang sama.

Aku menceritakan kejadian yang menimpaku. Dan tentang, pembicaraan antara aku (ditemani Andrew), dan Nora Green (didampingi pengacaranya) waktu itu.

Selama itu, Phoenix diam menyimak.

"Aku turut prihatin dengan apa yang menimpa Nora Green, sungguh. Terima kasih kepadamu yang telah membuatku melihat kejadian itu dari perspektif korban...,"

"Aku bersimpati kepadanya, Hawk. Tapi, si pelaku sudah ditangkap dan segera diadili...,"

"Serenity juga sudah menjamin untuk membiayai pemulihan kondisi jiwanya. Menurutku, tak ada lagi yang bisa kita lakukan, terkait perempuan itu," katanya.

Masih memandangku, dia mengangkat gelas minumannya. "Lain lagi dengan dirimu," katanya, sebelum menegak The Old Fashion cocktail racikannya hingga habis.

"Aku perlu melakukan sesuatu," tegasnya.

Aku mengangkat satu alis, masih menatapnya. "Melakukan sesuatu?"

Pria berpakaian serba hitam itu mengangguk. "Andrew menyebutkan bahwa dari pengalamannya dalam bidang kriminologi, orang seperti Sunny Willis kemungkinan akan kembali menyerang. Itu yang menjadi perhatianku," ungkapnya.

Aku mengangguk paham. "Sejak kejadian itu, aku sudah bersikap lebih waspada...,"

"Aku juga menyuruh anak buahku secara bergantian membayangi Pigeon dalam berkegiatan di luar rumah."

"Hanya membayangi?"

"Aku tidak mau Pigeon merasa tidak nyaman jika secara terang-terangan ke mana-mana di dampingi bodyguard," kilahku.

"Terlebih pekerjaannya sebagai seorang pelayan di kedai makan," tambahku.

Pigeon sudah tidak bekerja lagi sebagai penyanyi di HG. Aku yang memintanya. Dia pun menurut tanpa bantahan.

Kekasihku itu mengaku merasa waswas Sunny sewaktu-waktu akan kembali ke sana.

Pigeon memilih tetap bekerja di Linda's Salt & Pepper untuk sementara. Sekadar mengisi waktu luang.

Dia berjanji setelah menikah, dirinya akan memilih profesi sebagai ibu rumah tangga.

Phoenix menggeleng. "Itu tidak cukup."

"Apa saranmu?"

"Aku akan menelepon Antonio Romano. Dia tahu apa yang harus dilakukannya," ujarnya.

Antonio Romano adalah sahabat Phoenix. Mereka sama-sama bergabung ke dalam skuad khusus saat masih bertugas sebagai tentara.

Saat ini, pria asal Midea itu menjalankan bisnis Private Investigations.

"Kau menginginkanku untuk menggunakan jasanya untuk menyelidiki gerak-gerik Sunny Willis?" Aku bertanya.

Phoenix mengangguk. "Bukan hanya itu. Tony juga menjadi petinggi di perusahaan keluarganya. Perusahaan itu bergerak dibidang penyedia dan pengembangan berbagai perangkat keamanan...,"

"Propertiku ini, misalnya, dilengkapi banyak CCTV canggih yang terhubung ke pusat komando khusus...,"

"Kapan saja aku menekan tombol darurat, dengan sigap mereka akan bergerak untuk mengirimkan bala bantuan," ungkapnya.

Penjelasannya menarik tapi tidak membuatku aneh.

Phoenix yang misterius dan tergolong paranoid, serta antisosial, sangat dimengerti jika dirinya merasa membutuhkan pantauan kamera pengawas di setiap sudut propertinya.

Kalau aku, tidak.

Di Biker Bar dan di Serenity memang ada CCTV dalam jumlah yang cukup, demi keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan usaha.

CCTV tersebut terhubung ke control room.

Sementara di rumah, aku hanya memasang CCTV secukupnya saja. Di area parkir, dan di masing-masing pintu masuk (depan, dan belakang).

Tak ada control room di rumahku. Kamera pengawas itu terhubung langsung ke HP-ku.

Lebih sederhana dan mudah kupantau secara langsung.

"Aku tidak yakin mau memasang CCTV dalam jumlah banyak. Apalagi jika bisa diakses oleh orang lain dari jarak jauh. Aku menjungjung tinggi privasiku dan Pigeon," kataku.

"Orang-orangnya Tony tidak serta merta bisa mengakses CCTV kita, Hawk," elak Phoenix.

"Akses baru dibuka setelah kita menekan tombol darurat. Itu pun hanya berlangsung 30 menit. Setelah itu, akses akan kembali ditutup secara otomatis," lanjutnya.

"Apa kau yakin?" Aku merasa sangsi.

Phoenix mengangguk. "Ada kontraknya secara resmi. Kita sebagai klien bisa menuntut jika terjadi pelanggaran. Dan kupastikan, Romano bukan keluarga yang bodoh...,"

"Mereka paham, dalam dunia bisnis, reputasi adalah segala-galanya. Antonio Romano tidak akan main-main dalam berdisiplin menjaga rahasia dan privasi para kliennya," ungkapnya, dengan penuh keyakinan.

Aku diam berpikir sejenak. "Baiklah, aku setuju. Tolong hubungi kawanmu itu. Aku juga butuh tahu estimasi biaya yang mereka minta."

Phoenix menggeleng. "Jangan pikirkan biaya."

Aku mengangkat sebelah alis. "Kenapa?"

"Biarlah itu menjadi urusanku."

Aku menggeleng. "Maafkan aku, Brother. Aku harus menolak. Menjaga keamanan Pigeon adalah tanggung jawabku. Untuk itu, aku yang akan menanggung biayanya."

Phoenix diam sejenak. "Baiklah. Tapi aku akan meminta potongan harga yang signifikan pada Tony," candanya.

Aku tertawa. "Kalau itu, aku tidak akan keberatan."

Dan kuyakin, Antonio Romano juga tidak akan protes.

Kalau boleh jujur, di misi terakhir mereka saat bertugas dulu, kakakku sudah mempertaruhkan nyawanya untuk lelaki itu.

Phoenix terdiam. Dia memperhatikanku dengan sorotan serius. "Aku minta maaf terhadap apa yang terjadi kepadamu, Hawk," katanya, dengan tulus.

Aku mengangguk. "Aku juga. Tapi, aku merasa beruntung, dirikulah yang meminum air di botol itu...,"

"Aku tidak ingin membayangkan seumpama, Pigeon yang melakukannya. Dan, dia meminumnya saat masih berada di HG," ucapku dengan ngeri.

Phoenix mengangguk. "Emily dan Jude Willis memang berengsek. Tidak aneh putri kesayangan mereka, hasil didikan keduanya, mewarisi tabiat terkutuk orangtuanya."

Aku mengangguk setuju.

Phoenix berdeham. Sikapnya terlihat berubah waspada. "Hawk."

"Iya?"

"Apa kau yakin, Pigeon tidak terlibat?"

Loving HawkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang