30

318 50 4
                                    


Hawk



"Nora Green telah resmi membatalkan rencananya untuk mengajukan tuntutan hukum ke Serenity, Beast," ungkapku.

Saat ini, aku berada di kediaman kakakku. Kami berdiri di rooftop rumahnya, sambil melihat hamparan pemandangan perkebunan buah dan sayur.

Di tanahnya yang sangat luas, dia telah mendirikan perusahaan bernama Phoenix Organic Farms yang tergolong sukses.

"Oya? Kenapa dia berubah pikiran?" Phoenix bertanya.

"Dia tidak menginginkan uang itu. Bahkan sejak awal, sesungguhnya dirinya tahu kalau Serenity tidak mungkin tunduk pada tuntutannya begitu saja," terangku.

Phoenix yang berdiri di sebelah, melirikku. "Kalau sudah tahu, kenapa tetap menuntut?"

Aku balas menoleh kepadanya. "Perasaan terluka dan amarah yang teramat dalam...,"

"Nora Green berusaha mencari keadilan, dan ingin agar suaranya didengar. Serta kejadian yang menimpanya, tidak dilupakan begitu saja," paparku.

"Ah," gumamnya, santai. Pandangan Phoenix kembali tertuju ke depan.

Untuk sesaat tak ada di antara kami yang berbicara apa pun lagi.

"Jadi, masalah sudah teratasi?" Dia bertanya dengan tenang.

Aku mengangguk. Masih menatap pemandangan. "Iya."

"Kalau boleh tahu, siapa yang andil dalam penyelesaian masalah itu. Kau, atau Andrew?"

Aku mengesah. "Aku didampingi Andrew bicara dengan Nora Green, yang juga ditemani pengacaranya."

Pria berambut gondrong itu, mengangguk. "Aku bisa membayangkan sebuah perbincangan sengit yang diwarnai argumentasi yang alot."

Aku menggeleng. "Tidak sama sekali."

Phoenix kembali menoleh. "Tidak?"

Aku balas menoleh hingga kami saling memandang. "Tidak."

"Maksudmu, perempuan itu menyerah begitu saja?"

"Iya," anggukku.

Keningnya berkerut bingung. "Apakah ada hal-hal yang tidak kau ceritakan, Brother?"

Aku mengesah. Lalu wajah kembali kuhadapkan ke depan. "Aku mengajaknya berbicara dari hati ke hati."

"Ah, tentulah itu suatu pembicaraan yang menarik," sindirnya.

Aku meliriknya dengan sorotan marah.

"What?" Dia bertanya bingung, menghadapi tatapanku yang tak ramah.

Aku kembali mengesah lalu menggeleng pasrah. "Sudahlah. Percuma saja. Kau tidak akan paham."

Aku melangkah mundur kemudian balik badan. "Sampai jumpa Rabu depan, Beast," kataku.

Aku pun mulai melangkah untuk meninggalkannya.

"Wait!" Phoenix berseru.

Aku berhenti. Dia berjalan mendekati hingga berada di hadapanku.

"Let's go to the bar. I'll fix you a drink. Then, you talk," pintanya.

"Apa kau yakin mau mendengarnya?"

"Tentu saja," angguknya.

"Serenity juga adalah milikku. Jadi, aku ingin tahu juga. Aku butuh penjelasan," tambahnya.

Aku menoleh ke samping. "Entahlah, Beast. Rasanya aku enggan menceritakan detail pembicaraan kami."

"Kenapa?"

Aku kembali mengarahkan pandangan ke hadapan wajah Phoenix. "Sebab, ini ada kaitannya dengan kejadian yang menimpaku."

Keningnya berkerut. "Apa maksudmu, Hawk?"

Aku mengesah. Lalu kembali menoleh ke samping. "Bagaimana jika kukatakan, aku juga adalah korban dari drug-rape?" Aku berkata pelan.

Tiba-tiba Phoenix memegang bahuku. Dia kemudian mengguncang-guncang tubuhku. "Shit, Brother, are you okay? Do I need to kill someone?"

Aku kembali memandang wajahnya. Tampang Phoenix telah berubah menjadi sangat menakutkan.

"I'm okay, Beast."

"Don't lie to me, Hawk. Do not fucking lie to me!"

Aku mengangguk. "I'm okay now."

Dia menatapku dengan sorotan mempelajari. "Tell me everything, Brother," pintanya.

Aku kembali menoleh ke samping. Phoenix kembali mengguncang bahuku. "Please, Brother. I need to know."

Aku memejamkan mata. "Ini memalukan."

"Aku kakakmu, Hawk. Kau aman menceritakan apa pun kepadaku," ujarnya.

Aku kembali memandang wajah Phoenix yang masih terlihat garang.

Sikapnya yang protektif mengingatkanku pada masa lalu kami.

Ada alasan kenapa Phoenix dijuluki Beast. Hal itu, berkaitan dengan hal yang menimpa diriku.

Saat masih di Middle School, aku sempat menjadi korban perundungan dan pengeroyokan.

Saat itu, aku adalah siswa yang populer. Kepiawaianku di berbagai cabang olahraga yang ada di sekolah, membuat banyak gadis-gadis menjadikanku sebagai idola.

Aku menjadi pemain tim inti di klub baseball dan basket di sekolah.

Siswa-siswa yang melakukan perundungan dan pengeroyokan itu adalah mereka yang merasa tersaingi, dan dengki.

Saat itu, sekolah sudah sepi. Aku hendak pulang setelah latihan basket.

Ketika perundungan berlangsung, aku tidak diam. Tentu saja, aku membalas mereka.

Ketika keadaan berubah menjadi perkelahian yang tak seimbang, aku sendirian melawan sejumlah siswa, tetap saja aku berusaha melakukan perlawanan.

Phoenix yang ditugasi untuk menjemputku, melihat kejadian itu.

Tanpa berkata apa-apa, dia segera membantuku. Phoenix menghajar mereka semua dengan efektif, dan tanpa ampun.

Dari situlah nama Beast disematkan kepadanya.

Peristiwa itu sempat menjadi buah bibir dan menciptakan kegaduhan.

Orangtua para siswa tersebut tidak terima anak-anak mereka dibuat babak belur.

Faktor usia Phoenix yang empat tahun lebih tua daripada kami, menjadi persoalannya.

Terlepas dari masalah itu, satu hal yang aku pahami dari Phoenix. Dia sangat mencintaiku. Dan, tidak akan membiarkan siapa pun menyakitiku.

"Aku baik-baik saja, Phoenix," kataku, menenangkan api amarah yang bisa kulihat di pancaran bola matanya.

Dia mengangguk, masih terlihat sangsi. "Tetap saja, aku membutuhkan penjelasanmu, Hawk."

Aku akhirnya mengangguk setuju.

Loving HawkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang