Hawk
"Hawk, kita ada masalah," kata Daniel Osborne, manajer operasional Serenity, setibanya aku di ruang kerja.
"Masalah apa?"
"Seorang perempuan membuat laporan kepolisian. Dirinya percaya telah mendapatkan drug-rape saat minum di sini semalam," ungkapnya.
What the fuck?
"Lalu?" Aku bertanya sambil menegakkan tubuh. Kedua tangan kini terlipat di dada.
Aku dan Daniel sejak tadi berdiri berhadapan.
"Pagi-paginya perempuan itu bangun di sebuah kamar motel. Merasa bingung dan marah, dia mulai mengingat-ingat kejadian semalam...,"
"Dan, dia memercayai kalau apa yang terjadi adalah di luar keinginannya. Perempuan itu, kemudian membuat laporan kepolisian," terangnya.
"Dan?" Aku bertanya lagi.
"Pihak kepolisian sudah melakukan tes urin dan darah pada perempuan itu. Ternyata, didapatkan hasil positif."
Keningku berkerut. "Positif?"
Daniel mengangguk. "Dalam tubuhnya terdapat suatu zat yang terkonfirmasi sebagai obat perangsang."
"Fuck!" Aku mengumpat marah.
"Yeah, fuck," angguk, lelaki berkulit hitam itu, juga terlihat marah.
"Pihak kepolisian sudah datang ke sini. Mereka akan melakukan penyelidikan. Dan, kita dianjurkan untuk menghubungi pengacara untuk berjaga-jaga," ungkapnya lagi.
Aku mengangguk paham. "Aku akan menghubungi Andrew Spencer.
Daniel mengangguk. "Aku permisi kalau begitu."
"Berikan aku kabar terbaru bila ada, apa pun itu," perintahku.
"Alright, Hawk."
Tak lama setelah Daniel meninggalkan ruangan, aku langsung menghubungi pengacara langganan.
Setelah menjelaskan duduk perkara kepadanya, dia menyanggupi untuk mulai bekerja mempelajari kasus ini.
***
Selama beberapa jam lamanya, aku berada di control room. Di mana layar-layar tangkapan CCTV berada.
Aku tidak sendiri, tentu saja. Daniel, Andrew, dan dua orang polisi ikut serta dalam penyelidikan ini.
Kami semua berdiri menghadap ke layar-layar monitor. Para petugas control room duduk di kursi mereka, mengoperasikan perangkat yang tersedia.
"Coba mundurkan gambar yang itu," polisi menunjuk ke salah satu layar.
Kami sedang menonton siaran ulang tangkapan layar CCTV kemarin.
Petugas control room menuruti kemauan sang polisi.
"Stop di situ," perintah polisi yang sama. Dia adalah seorang pria bernama Hendrix.
"Lihat! Lelaki itu sedang menaburkan sesuatu ke dalam gelas," katanya dengan berseru.
Semua mata fokus ke gambar yang dia tunjuk.
"Apakah dia memberikan minuman itu ke Miss Nora Green?" Polisi lainnya bertanya. Namanya, Mara. Dia adalah polisi wanita yang juga bertugas melakukan penyelidikan di kasus ini.
"Kalau begitu nyalakan gambarnya," perintah Hendrix.
Terlihat sesosok pria terduga pelaku mendekat ke tempat korban yang bernama Nora Geen sedang duduk di sebuah bangku bar.
Perempuan berusia 27 tahun itu sedang duduk menyamping, menoleh kepada temannya, yang juga bergender perempuan.
"Dia menukar gelasnya!" Mara berseru.
Hendrix bertepuk tangan sekali. "That's it! Kita menemukan terduga utama pelakunya."
Mara menoleh kepadaku. "Kami membutuhkan data tamu yang masuk kemarin. Dan, rekaman CCTV di pintu masuk."
Aku mengangguk. "Tentu saja."
Lalu aku menoleh kepada Daniel. "Berikan apa yang mereka minta," perintahku.
Daniel mengangguk. Lalu dengan sigap dia melakukan tindakan yang diperlukan.
Pukul dua pagi, kedua polisi itu pamit meninggalkan Serenity.
"Terima kasih atas kerja sama kalian. Kami akan menghubungi lagi, untuk jadwal pemanggilan sebagai saksi," kata Hendrix kepada aku, Daniel, dan Andrew.
"Hubungi saja Mr. Spencer, selaku pengacara kami," anggukku, sambil menyalami satu per satu polisi tersebut.
Mereka melirik kepada Andrew yang berdiri di sampingku. "Will do," kata Hendrix lagi.
***
"Pelakunya memang tamu. Namun, Serenity juga bisa dituntut atas tuduhan kelalaian dan pengamanan yang kurang ketat," kata Andrew pada aku dan Daniel.
Saat ini kami berada di ruang kerjaku. Kami bertiga sedang berdiskusi.
"Lantas apa yang harus kami lakukan?" Aku bertanya.
Sebagai pengacara yang telah kami tunjuk untuk mewakili Serenity, Andrew kemudian memberikan pandangan dan nasihatnya tentang kasus ini.
Aku dan Daniel menyimak penjelasannya. Sesekali kami pun mengangguk-angguk, mencerna nasihat hukum dari pengacara berusia 45 tahun itu.
***
Pukul empat pagi aku tiba di rumah. Aku langsung melangkah menuju kamar.
Setelah tiba, aku melepas satu per satu pakaian yang melekat di tubuh. Kemudian, ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Baru setelah rutinitas malam hari selesai, aku naik ke peraduan.
Dengan dilindungi selimut dari dada ke bawah, aku memejamkan mata untuk mencoba tidur.
Telingaku mendengar suara pintu kamar yang dibuka. Mataku tetap terpejam.
Dari aromanya, aku tahu siapa yang datang.
Dia kemudian melangkah mendekat. Lalu menyingkapkan selimut dari tubuhku yang hanya mengenakan celana dalam.
Gadis ini dengan berani masuk ke dalam selimut. Lalu dia memelukku.
"Hawk aku telah berbohong," bisiknya di dadaku.
Aku balas memeluknya, tanpa sekali pun membuka mata. "Aku tahu, Page."
"Maafkan aku."
Aku membelai kepalanya. Lalu mendekapnya dalam perlindungan hangat tubuhku. "No worries. Shut your eyes and go to sleep, Baby."
"Okay," katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving Hawk
RomanceSaat teman lamanya datang tanpa diundang untuk menawarkan putrinya, Hawk pada akhirnya mengambil keputusan. Dia menerima tawaran tersebut. Menurutnya itu adalah pilihan yang paling bijaksana, demi kebaikan gadis itu. Disclaimer! This is teaser versi...