Dering telepon terdengar dari sebuah ruangan di vila keluarga. Lebih tepatnya di dapur. Dari telepon milik Xici yang tertinggal di sana, tak lama Xici muncul menghampiri handphone miliknya dan mengangkat telepon itu.
"Halo Kak Alza, Kak... Ayah gimana? Ayah udah ketemu—"
"Ann masih di rumah, kan?"
"Eh, Kakak ipar... Kakak ipar tadi keluar sama Kak Nao."
"Keluar? Ke mana?"
"Mau jemput Ayah, tadi kata Pak Dokter Kak Alza udah ketemu Ayah. Tadi Kakak Ipar juga mau beli jajan jadi mereka ikut Pak Dokter keluar," balas Xici lagi.
"......." tak ada jawaban.
"Kak? Ayah nggak papa, kan? Kakak ipar udah sampe belum?" tanya Xici cemas. Tapi tak ada jawaban dari telepon itu. Tiba-tiba saja telepon itu terputus begitu saja. Tentunya ia bertanya-tanya dan berusaha menelepon nomor kakaknya lagi, tapi tak ada yang terjawab.
Sementara itu di sisi lain, di ruang laboratorium, handphone milik Alza sudah retak karena sang empunya mencengkram erat handphone itu. Suasana hening seketika saat mereka semua mendengar jawaban Xici.
Pergi bersama dokter? Tak ada orang lain yang memiliki sebutan dokter di lingkungan mereka selain sang Ayah dan juga... Voorh.
"Fuck!" umpat Alza mengisi kesunyian ruangan itu.
Sang Ayah yang mendengar percakapan itu langsung terjatuh lemas. Ia menatap tak percaya pada lantai putih di depannya. "Ann... Ann dalam bahaya, kita harus selamatkan dia. Ayah nggak mau dia terluka."
"Ouhh... Jadi selain mengepungku, dia sengaja mengumpulkan kalian di sini agar dia bisa mengambil pemuda itu dengan mudah ya, hmm... Licik juga idenya," ucap Raven tersenyum kecil.
Sofiee dan Reo bertatapan sejenak. Mereka baru sadar semua orang yang bertugas 'menjaga' ada di laboratorium, dan tak ada satu pun yang tinggal di vila. Mereka semua lengah dan terlalu fokus pada Raven yang ternyata hanyalah pion pengalihan.
"Alza, Xici bilang Nao juga ikut, kan? Coba hubungi dia," ucap Reo tegas.
Mendengar itu Alza langsung mencari nomor Nao dan mencoba menghubunginya. Bunyi telepon masuk terdengar. Tapi setelah sekian lama menunggu, telepon itu tak kunjung masuk dan justru terputus.
"Nao nggak bisa hubungi."
"Mau coba melacaknya?" tanya Raven.
"Nggak bisa, handphone Nao memang nggak bisa dilacak," balas Alza.
"Oh bagus, kalian sudah buntu sekarang, mau pasrah dengan keadaan, hm?" tanya Raven dengan senyuman kecil.
Reo yang mendengarnya langsung terpancing emosi dan menarik kerah Raven. Tangannya mengepal hendak meninju wajah pria Enigma itu. Tapi tangannya langsung ditahan dengan mudah.
"Tenanglah, apa kamu mau menghabisi satu-satunya petunjuk yang tersisa? Jangan lupa, aku pernah bersama bajingan itu, sepertinya aku tahu ke mana tujuan mereka."
---
Di sisi pusat kota, sebuah mobil berjalan perlahan dan berhenti di depan tempat yang cukup sepi. Pintu itu terbuka menampilkan sosok dr. Voorh yang keluar dari kursi kemudi lalu menatap sebuah handphone yang terus berbunyi sejak tadi, ada nama Alza di sana.
Telepon milik pemuda bernama Nao itu dijatuhkan begitu saja lalu ia menginjak sampai handphone itu hancur. Ia beralih pada pintu mobil di belakang dan membuka pintu itu, sosok Nao langsung jatuh dengan kepalanya yang sudah mengalirkan darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm not Enigma [TERBIT]
RomanceAnn, seorang pembunuh bayaran yang beralih profesi menjadi barista, tetapi diam diam ia bekerja lagi dengan seorang Enigma berbahaya bernama Alva Edison, kerjasama yang dibangun secara sepihak ini membuatnya harus memutar otak untuk menolak setiap m...