35. Missing Cracks: White Torture Room

3.7K 234 15
                                    

Di ruang yang cukup kecil dan sangat terang dengan warna putih yang menyelimuti seluruh ruangan itu. Suasana tenang mendadak berisik karena seorang pria yang tiba-tiba didorong masuk dengan paksa.

Tangan pria itu diikat dengan sebuah borgol. Matanya ditutup menggunakan kain putih, bahkan seluruh pakaian juga berwarna putih. Ia jatuh di lantai yang dingin dan berusaha bangun. Tangannya mengepal kuat menghancurkan borgol dengan mudah. Ia menarik kain yang menutupi matanya.

Ia mengerang sesaat ketika matanya bertemu cahaya putih yang sangat menyilaukan dan berusaha menyesuaikan diri dengan ruangan yang sangat terang itu. Ia menoleh ke sana-kemari mencari seseorang yang sudah mendorong kasar, tapi di sekelilingnya hanya ada dinding putih, dan sebuah kasur putih. Perabotan minimalis yang semuanya berwarna putih.

"Di mana ini," gumamnya pelan.

Ia bangkit perlahan sambil bertumpu pada dinding. Tubuhnya terlihat lemah dan wajahnya juga pucat. Netra semerah darahnya mengedar kesegala arah mencari sebuah pintu, tapi ia tak menemukannya di mana pun. Seluruh sisi ruangan ini adalah dinding yang seakan-akan mengurung dan tak bisa ditembus.

Ia menelan salivanya kasar. Keringat dingin mulai turun membasahi wajahnya saat sadar di mana ia berada. Ia memukul setiap sisi dinding mencari celah yang mungkin saja disembunyikan. Tapi seluruh dinding ini terasa keras dan padat. Tak ada celah atau ruang yang tersembunyi. Ia benar-benar terkurung oleh dinding-dinding ini.

"T-tidak, aku harus keluar... Aku harus keluar secepatnya, Ann! Ayah! Bunda! Professor! Aku Alva, aku disini, tolong! Siapapun... Tolong keluarkan aku!"

Teriakannya tak menggema di ruangan itu. Ia sadar itu ruangan kedap suara. Suaranya takkan terdengar siapa pun di luar sana dan ia benar-benar terjebak di tempat ini. Tempat berbahaya yang akan membunuh memori dan jati dirinya perlahan-lahan. Tempat penyiksaan yang dikenal dengan nama 'white torture room'.

---

Siang hari menjelang sore, di kantor seperti hari-hari biasa. Nao berjalan ke ruangan CEO sambil membawa beberapa berkas. Ia mengetuk singkat pintu itu dan masuk ke dalam setelah memberitahukan dirinya akan masuk.

"Tuan Ray, saya datang membawa hasil meeting hari... Ini..."

Nao terdiam ketika melihat Alza tertidur di atas meja kerjanya. Tumpukan kertas yang terlihat berserakan di meja menjadi fokus utama. Terlalu banyak berkas yang harus ditangani hari ini.

Tanpa menunggu lama, Nao merapikan semua berkas-berkas itu dan menata di sisi meja. Netranya menatap wajah damai yang terlelap lelah itu. Ia paham jika Alza sekarang begitu kelelahan karena temannya sendiri. Ia juga tahu Ann sedang menganggap pria itu sebagai Alva. Ada rasa iba ketika melihat Alza harus menggantikan saudaranya yang sudah tiada.

"Dia tidur?" tanya sebuah suara.

Nao menoleh dan melihat Reo masuk tanpa mengetuk dan membuka pintu tanpa suara. Kedatangannya seperti angin yang tak diduga.

"Iya, Apa Ann rewel lagi kemarin?"

Reo mengangguk pelan. Sambil meletakkan map di sisi meja lain. "Iya, Ann mukulin orang di supermarket tadi malam."

"H-hah?"

Hening sejenak, Nao tercengang mendengar itu. "T-terus gimana?"

"Cuma dipisahin sama security."

"T-terus orangnya?"

"Nggak papa, cuma dia aja yang banyak kena pukul," balas Reo sambil melirik pada Alza yang sudah terbangun karena pembicaraan mereka. Merasa terpanggil ia langsung menatap kedua orang itu.

I'm not Enigma [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang