Setelah sekian lama akhirnya mereka keluar dari dalam hutan dan bertemu dengan jalanan raya, kendaraan-kendaraan roda dua dan roda empat berlalu lalang. Keduanya tampak mengatur nafas, di balik letih yang melanda tersemat kata lega.
"Kita harus kemana lagi?" Tanya pemuda itu dengan nafas tersengal-sengal.
"Ikuti ku." Kaki Cahaya tergerak melangkah, menepis seluruh lelah, misi belum selesai, situasi sebelum sepenuhnya kondusif.
Pemuda yang seperti baru pertama kali melihat dunia berlari mengejar Cahaya. Hanya gadis itu yang bisa menolongnya dan ia yakin bahwa Cahaya akan membawanya ke tempat yang lebih baik lagi. Di hati rasa panik dan tegang masih terasa walau diri sudah keluar dari kawasan para Black Man.
Cahaya berlari menyebrang jalan di susul pemuda asing di belakang. Mobil hitam dengan nomor polisi 8752 dengan kecepatan tinggi melaju. Mata pemuda itu melotot, bibir ingin berteriak tapi semuanya telah terlambat.
Ciiiiiiiiiittt
Bruukkkk!
Langkah Cahaya langsung terhenti, kepala menilik ke belakang, sontak diri tertegun hebat. Pemuda yang ia ajak keluar dari dalam goa tersungkur beberapa meter saat benda keras menghantam tubuh, bercak darah tumpah di jalanan, kepala tebentur trotoar mengeluarkan darah segar, pandangan perlahan kabur, pelan-pelan kegelapan menjemput. Pemuda itu terbaring bersimbah darah tak sadarkan diri di tepi jalan.
"GUUSSSS!" Pekik Cahaya histeris.
Mobil hitam telah menabrak pemuda itu tancap gas dan lari dari tanggung jawab. Gadis itu berlari mendekati pemuda kehilangan kesadaran, darah mengalir keluar dari sisi hidung dan juga telinga, siku dan lutut lecet pasca gesekan secara langsung dengan aspal.
"Gus. Gus bangun Gus, Gus buka mata kamu." Tubuh tak berkutik di goyang kuat oleh gadis itu, sayangnya mata terlanjur tertutup. Sosok pemuda bercorak ke arab-araban lancang Cahaya sebut dengan sebutan 'Gus' padahal diri tak sedikitpun tau tentang pemuda asing itu, entah mengapa sebutan tersebut meluncur tanpa di duga.
Cemas memupuk di wajah gadis setenang lautan."TOLONG, TOLONG KAMI."
Warga setempat dan para pengendara yang melintas tergusuh-gusuh menghampiri mereka.
"Tolong teman saya Pak, tolong bawa dia ke rumah sakit, dia terluka parah." Risau Cahaya.
Mereka berjibaku membawa pemuda tak beridentitas ke rumah sakit setempat, melihat kondisinya yang cukup parah menyebabkan tampil kepanikan di wajah gadis ocean.
"Suster tolooong......" Dari depan rumah sakit teriakan melengking nyaring. Beberapa staf rumah sakit lantas datang membawa brankar.
Tubuh pemuda asing di baringkan di atas brankar, bersama mereka mendorong cepat menuju ruang UGD. Darah-darah akibat luka menganga di kening terus mengalir meratakan wajah pemuda asing dengan noda merah. Gelisah menyerang Cahaya, sedikitpun ia tak tau latar belakang pemuda yang ia tolong.
"Selamatkan dia dok, jangan biarkan dia menutup mata seperti kembaran saya." Mata gadis itu menatap penuh permohonan pada sosok berjas putih berdiri di depan ruangan UGD.
"Baik, kami akan melakukan yang terbaik. Suster, bawa pasien ke dalam." Perintah dokter.
Brankar pemuda asing lenyap dari pandangan setelah pintu tertutup. Di luar panas dingin meliputi suasana hati gadis itu, rasa bergemuruh menusuk-nusuk ke dalam jiwa, ketakutan tertancap jelas di kedua netra. Mondar mandir ke sana kemari seraya pikiran terus jatuh pada satu orang, hidup dan mati masih belum di ketahui.
"Dia celaka dan aku tidak bisa apa-apa. Seharusnya bukan dia yang mengejar ku, tapi aku yang mengejarnya sehingga semua ini tidak akan pernah terjadi." Terduduk lemas di bawah, punggung bersandar di dinding, gadis itu menatap kosong, kehampaan menjadi akhir dari segala segi.
Tak terasa, menggenang air mata di pelupuk. Sekilas ingatan mendatangkan sosok cerminan diri yang berakhir mati dalam tragedi misteri."Dia harus selamat, dia tidak boleh pergi seperti Cahya."
Rasa trauma kehilangan kembaran bertubi-tubi datang menerpa, ucapan gadis itu melantur keluar angkasa, seolah nasib buruk Cahya tidak boleh terulang kembali pada diri siapapun lagi.
Krieet
Decitan pintu yang tertarik mengeluarkan suara. Kepala gadis itu memutar ke samping, netra hitam memandang para staf, dokter, dan satu lagi yaitu dia. Dia yang mengunci mata sepenuhnya. Gadis itu segera bangkit dari duduk."Dokter bagaimana keadaan teman saya dok?"
Raut wajah gelisah di tambah panik melengkapi para pegawai medis. Hati Cahaya ikut berdebar-debar tak karuan.
"Pembuluh darah pasien pecah, kami akan melakukan tindakan operasi. Di mana keluarganya? Kami butuh persetujuan keluarganya untuk mengambil tindakan operasi." Ujar dokter.
"Keluarga pasien tidak ada dok, saya yang akan bertanggung jawab untuk seluruhnya. Dokter lakukan apapun yang penting dia bisa di selamatkan." Cahaya jadikan diri sendiri sebagai jaminan, kondisi urgent harus segera di selesaikan sebelum nyawa memutuskan pergi meninggalkan raga.
"Kalau seperti itu silahkan anda tanda tangan di sini, pasien harus segera di operasi sebelum nyawanya tidak tertolong." Tersodor surat persetujuan berserta pena ke hadapan gadis kehilangan senyuman. Tanpa ragu Cahaya menyanggupi semuanya, ada yang lebih penting dari apapun, yaitu suatu hal menyangkut prihal nyawa.
"Dokter, saya mohon tolong selamatkan dia." Cahaya jatuhkan harapan terhadap orang-orang di bidang kesehatan.
"Itu sudah menjadi tugas kami. Ayo suster bawa pasien ke ruang operasi." Interupsi dokter. Para suster mengangguk, kembali mendorong brankar pemuda asing menuju ruang operasi.
Di depan ruangan operasi gadis setenang lautan di kabarkan cemas tak karuan. Tercurah ribuan doa kepada dia sang maha kuasa, hanya pencipta pencipta langit dan bumi yang bisa menyembuhkan pemuda di temui tanpa sengaja.
"Aku mohon bertahanlah, kau harus selamat. Jangan sia-siakan perjuangan ku yang susah payah mengeluarkan mu dari tempat itu." Batin Cahaya.
Gadis itu tak bisa berdiri diam di posisi, beruang kali tertangkap mondar-mandir ke sana kemari, ragam macam kemungkinan di kepala berhasil tak membiarkan diri diam menunggu dengan tenang. Waktu terasa lambat, dada berdegup kencang, perasaan makin tak jelas, firasat-firasat buruk datang menghantui. Lambat laun raut wajah Cahaya terpantau memucat.
Sekitar 1 jam lamanya gadis itu menunggu di depan ruangan operasi tanpa kepastian. Yang bisa di lakukan hanya berdoa meminta kesembuhan untuk seseorang yang tak tau siapa. Hati nurani tergerak menolong seseorang lama terbelenggu di dalam genggaman seseorang.
Pintu ruangan operasi terbuka, dengan cepat Cahaya mendekati dokter yang baru keluar."Gimana keadaan pasien dok? Semuanya berjalan dengan lancar kan?"
Tampil kerisauan di balik wajah gadis terkenal dingin, angkuh, keras kepala dan juga misterius.
"Operasinya berhasil, tapi....."
"Tapi apa dok?" Nafas Cahaya naik turun, telinga takut mendengar kabar tak sedap, tangan ikut terasa dingin.
"Pasien koma, kami akan pindahkan pasien ke ruangan ICU agar pasien dapat di rawat secara intensif." Papar dokter.
Dunia seakan berhenti berdetak, separuh nyawa terasa lenyap dari raga. Gadis itu menatap linglung, tubuh di terjang oleh kenyataan kurang nyaman.
"Kapan dia akan siuman lagi dok?" Ada banyak hal ingin Cahaya tanyakan, hanya pemuda itu yang dapat menjawab semua unek-unek di dalam dada.
"Kalau masalah itu, kami tidak dapat menentukan secara pasti. Anda berdoa saja agar pasien segera siuman." Jawab dokter.
Lidah terasa keluh, gadis itu kehilangan semangat, wajah dingin di hiasi ribuan kepahitan yang dunia ciptakan.
"Saya permisi dulu."Dokter melenggang pergi meninggalkan gadis diam tak bergerak di posisi.
Cahaya mengangguk, wajah murung meratapi nasib seseorang kini belum dapat di taksir kapan akan kembali melihat dunia penuh dengan kekejaman di mana-mana. Tanpa di sadari brankar berisikan pemuda asing melintas tepat di samping gadis kehilangan arah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Santri [SUDAH TERBIT]
Teen FictionBagaimana jadinya Cahaya ketika melanjutkan kehidupan sehari-hari milik saudara kembar dengan menautkan misi mengupas habis lika-liku peristiwa merenggut nyawa sang kembaran (Cahya). Akankah gadis dengan modal wujud yang sama dapat menjalankan misi...