Cahaya dari dalam mobil melihat kesedihan mereka tak dapat berkata-kata karena rencana ini sudah di rancang sebaik mungkin oleh musuh terbesar Pak Kyai Yahya, yakni Baron. Dengan penuh tangis Gus Zayyan dan Gus Azmi masuk kembali ke dalam mobil sembari mengikuti ambulance yang melaju di depan. Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit hanya tangisan yang terdengar di telinga Cahaya. Dua kakak beradik itu tak henti-hentinya menangis sambil sesenggukan.
"Dia memang tega. Hari itu dia menghilangkan nyawa saudara kembar ku, sekarang dia membuat Pak Kyai berada di ambang hidup dan mati. Aku tidak akan biarkan dia hidup tenang, akan ku balas dia sampai dia tidak mampu lagi untuk berkata-kata." Batin Cahaya terlampau geram. Kobaran api penuh dendam makin membara, kini membakar semua tempat sehingga nyaris tak ada rasa iba di dalamnya.
1 jam kemudian Pak Kyai sampai di rumah sakit Medika. Brankar di dorong menuju ruangan UGD dengan air mata yang terus berjatuhan.
"Abi, Zayyan mohon buka mata Abi." Titah Gus Zayyan.
"Abi harus bertahan, Abi harus kuat." Suruh Gus Azmi.
Tangis duka terdengar, isakan tangis memenuhi rumah sakit. Melihat darah terus memenuhi wajah membuat mereka para anak-anak dan saudara Pak Kyai Yahya cemas dan takut terjadi sesuatu yang tidak dapat mereka bayangkan. Mereka tidak di perkenankan untuk masuk terpaksa menunggu di luar dengan penuh kecemasan. Hanya doa yang terus terpanjatkan karena cuman doa yang bisa mengubah segalanya.
Cahaya menyelinap masuk ke dalam rumah sakit menggunakan masker yang bertugas menutupi wajah. Dari kejauhan memantau dan dapat melihat sendiri betapa hancurnya anak-anak Pak Kyai Yahya mendengar kabar pahit ini.
"Kurang ajar si Baron itu, dia benar-benar tidak bisa di biarkan. Aku akan balas dia lebih kejam lagi, tunggu saja pembalasan ku." Tubuh Cahaya seakan terbakar emosi yang meluap-luap.
"Zayyan, Azmi bagaimana dengan Abi kalian?" Bunyai datang bersama Salma ke rumah sakit setelah Ra Husain mengabari lokasi mereka berada.
Kepala mereka menggeleng. Bunyai menutup mulut dengan menggunakan dua tangan, air mata bagai hujan. Rasa lapar, kantuk dan lainnya menghilang.
Krieet
Arah pandangan jatuh pada pintu ruangan UGD yang terbuka. Sebuah brankar di dorong keluar, selembar kain putih menutupi seluruh tubuh hingga tak tersisa.
DEG!
Dunia mereka terhenti, bumi seakan tidak lagi berputar. Melihat jenazah itu pikiran mereka langsung mengarah ke hal-hal negatif hingga mematahkan ribuan harapan tersemat di dada.
"Siapa dia sus?" Bunyai dengan bulir-bulir terus berjatuhan serta pertahanan sedang di pertaruhan melempar pertanyaan.
"Ini adalah korban kecelakaan tunggal yang masuk ke jurang 5 jam yang lalu. Korban tidak dapat di selamatkan, dia telah meninggal saat di perjalanan." Terang suster.
Pertahanan semua orang hancur, tangis makin memenuhi rumah sakit. Banyak yang menyangkal dan percaya kalau Pak Kyai Yahya pasti bisa bertahan, di antara mereka tidak ada yang terima dengan berita tak sedap.
"Gak mungkin suster, Abi saya gak mungkin meninggal. Suster pasti bohong, dia pasti bukan Abi saya!" Bantah keras Gus Azmi histeris.
Bunyai terduduk lemas di bawah, terasa tak memiliki tenaga lagi untuk bangkit dan berdiri.
"Azmi, Azmi, Azmi, kamu tenang dulu. Jangan mikir negatif, aku yakin Abi baik-baik saja, dia gak mungkin ninggalin kita." Gus Zayyan mencoba tegar di saat semua orang melemah.
Gus Azmi tak bisa diam, terus membantah dan tetap yakin kalau Abi-nya baik-baik saja, namun kain kafan terbentang membungkus tubuh seseorang di depan menghancurkan semua harapan.
"Aku gak mau Abi pergi kak. Apa jadinya kita kalau gak ada Abi." Isak tangis Gus Azmi, layaknya orang gila yang meraung di rumah sakit itu.
"Paman, paman tolong jangan tinggalkan kami, kami mohon." Ra Wafa tak dapat menahan tangis lagi. Sedari tadi diam bukan karena tak merasakan apa-apa melainkan mencoba untuk kokoh seperti tebing.
"Paman, paman bangunlah, paman jangan tinggalkan kami." Seru Gus Mufid.
"Kami mohon paman, paman jangan pergi, kami butuh paman di sini." Timpal Ra Husain.
"Kak, tolong buka mata kakak, jangan tinggalkan kami." Ucap Pak Kyai Idrus.
"Kalian tenang dulu, jangan mikir macem-macem!" Bentak Gus Zayyan tak suka.
Tangisan terus saja ada, tak ada yang dapat menyembunyikannya.
"Suster izinkan saya melihat korban sebelum di bawa ke kamar mayat." Gus Zayyan mencoba untuk setegar karang di tengah hantaman ombak besar.
"Silahkan."
Pelan-pelan Gus Zayyan membuka kain berwarna putih menyelimuti tubuh korban tersebut. Sesekali air mata mengalir tanpa henti. Gus Zayyan sudah siap dengan segala konsekuensi yang harus di tanggung.
"Bukan Abi, dia bukan Abi. Kalian tenanglah. Aku yakin Abi pasti bisa bertahan, mana mungkin dia meninggalkan kita." Alangkah senangnya Gus Zayyan setelah kain itu terbuka bukan wajah Pak Kyai yang terlihat tetapi sang supir yang tewas akibat insiden tersebut.
Brankar berisikan jenazah itu di dorong menuju kamar mayat sebelum di pulangkan ke rumah duka. Tak berselang lama dari itu sebuah brankar keluar dari ruangan UGD berisi orang yang mereka kenal. Semua orang lantas bangun dan mendekat.
"Abi, Abi tolong buka mata Abi, Abi ini Zayyan."
"Abi tolong bertahanlah, tolong jangan tinggalkan kami, kami mohon Abi." Tuntut Gus Azmi.
"Dokter, dokter bagaimana keadaan paman saya dok, kenapa dia di bawa keluar?" Risau Ra Wafa.
"Pembuluh darah pasien pecah, kami harus melakukan tindak operasi. Mohon pihak keluarga untuk segera menandatangani surat persetujuan karena jika pasien tidak segera di operasi nyawanya takut tidak tertolong." Jelas dokter ikutan panik.
"Lakukan yang terbaik untuk pasien dok, kami mohon selamatkan dia." Perintah Pak Kyai Idrus.
Dokter mengangguk, kembali mendorong brankar Pak Kyai Yahya menuju ruangan operasi setelah mendapatkan tanda tangan dari Ra Wafa selaku keluarga pasien.
Di ruangan operasi tim dokter bedah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawa Pak Kyai. Keluarga Pak Kyai terus berdoa agar operasi itu berhasil di lakukan. Lampu merah di ruangan operasi berganti menjadi hijau tanda operasi sudah selesai di lakukan. Semua orang berdiri ketika tim perawat mendorong brankar Pak Kyai keluar.
"Dokter bagaimana dengan operasinya?" Bunyai penuh kecemasan nekat bertanya.
"Operasi pasien berhasil di lakukan, namun kondisi pasien kritis, kami akan membawa pasien ke ruangan ICU." Tutur dokter.
Sejenak mereka yang senang kini kembali di hantam kenyataan pahit. Tangis kembali terdengar, mata sampai bengkak karena tak ada habisnya menangisi pemimpin pesantren.
"Ayo kita ke ruangan ICU." Ujar Pak Kyai Hasan.
Bersama-sama mereka mendatangi ruangan ICU tempat Pak Kyai Yahya di rawat.
Telinga gadis yang mendengar di buat tertegun, mulut tak henti-henti terbuka, tubuh lantas di serang rasa panik."Gawat mereka akan ke ruangan ICU. Gimana kalau mereka liat dia. Pokoknya mereka gak boleh liat dia dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Santri [SUDAH TERBIT]
Fiksi RemajaBagaimana jadinya Cahaya ketika melanjutkan kehidupan sehari-hari milik saudara kembar dengan menautkan misi mengupas habis lika-liku peristiwa merenggut nyawa sang kembaran (Cahya). Akankah gadis dengan modal wujud yang sama dapat menjalankan misi...