Decitan pintu berhasil membuat Gus Zayyan dan Gus Azmi bangkit dari duduk, mata menatap seorang pria berjas putih keluar dari kamar terima.
"Dokter bagaimana keadaan Cahya, dia baik-baik saja kan dok?" Raut wajah Gus Zayyan cemas di iringi tubuh lemas.
"Pasien sudah sadar, keadaannya sudah membaik, pasien sudah melewati masa kritisnya." Sosok menangani pasien terluka cukup serius di bagian perut menjawab.
Hati Gus Zayyan lega, separuh nafas sudah kembali, kecemasan seakan menyingkir dari wajah."Alhamdulillah, terimakasih ya Allah, terimakasih."
"Lebay, gitu aja pake cemas segala. Lagian dia itu sakit apa sih dok, kenapa pake donor darah? Kayak orang terluka parah aja." Sambar Gus Azmi menggunakan wajah jutek mengumbar perang.
Sontak dokter diam, janji yang mengikat penyebab mulut terkunci rapat.
Mata tajam Gus Azmi menelusuri ke dalam wajah menegang. Tersirat kata curiga di balik mata menajam sempurna."Dokter, kenapa dokter diam!"
"Pasien kehabisan darah karena luka di tangannya yang cukup parah. Darahnya berkurang cukup banyak, itulah yang menyebabkan pasien harus transfusi darah. Untuk itu pasien harus di rawat terlebih dahulu beberapa hari, karena luka di tangannya sangat rentan terinfeksi." Dokter terpaksa berbohong, menjadikan luka kecil sebagai alasan.
Gus Zayyan tak henti-hentinya mengucap syukur, doa di rapalkan kepada dia sang maha kuasa membuahkan hasil."Dokter, apa saya boleh masuk ke dalam? Saya ingin menjenguk pasien."
"Boleh, tapi sebelumnya pasien akan kami pindahkan ke ruang perawatan terlebih dahulu, permisi." Usai menjelaskan, dokter melenggang pergi meninggalkan kakak beradik mengangguk paham tersebut.
Perasaan lega menyambut Gus Zayyan. Sejak telinga mendengar dia terluka, selera makan lantas hilang, perasaan tak tenang datang menghampiri. Kabar baik itu satu-satunya obat untuk diri tak bisa lepas memikirkan dia lagi di kelilingi obat-obatan.
"Dia sudah membaik. Ayo kita pulang aja kak, biarin dia di sini. Gak akan kenapa-napa juga, ada dokter yang akan jaga dia." Tubuh rasakan tidak betah berada di satu tempat dengan musuh bebuyutan. Gus di juluki batu mulai dari awal sampai sekarang belum juga berdamai dengan sosok paling menjengkelkan.
"Enggak, aku gak mau. Kalau kamu mau pulang, pulang aja. Aku mau jaga Cahya di sini." Tolak Gus Zayyan.
Kegedegan menusuk tajam ke dada."Kenapa kakak peduli banget sama dia. Dia itu jahat, kenapa kayaknya kakak gak rela ninggalin dia." Setelah sekian lama firasat-firasat di pendam, akhirnya kali ini Gus Azmi keluarkan sesuatu sangat mengganggu pikiran.
"Dia itu orang asing kak. Kakak gak usah kasih perhatian lebih, nanti ngelunjak, besar kepala, bisa kepedean juga. Tapi aku heran, biasanya kakak gak pernah begini. Atas dasar apa kakak care sekali sama orang yang namanya Cahya itu!" Pemuda bermata setajam silet menatap penuh penasaran di kepala.
Bibir itu terkunci rapat, wajah tampil datar seperti tembok. Di muka Gus Zayyan tak sedikitpun menunjukkan reaksi berlebih.
"Kenapa kakak diam aja, jawab!" Desak Gus Azmi tak sabaran. Kecurigaan tak mampu di bendung, diri sadari keanehan pada saudara sekandung.
"Azmi, dia wanita yang kakak suka. Dia adalah alasan utama aku mengundur waktu di selenggarakannya pertunangan ku dengan Salma. Aku gak suka sama Salma, aku gak mau nikah dengan orang yang tidak aku cintai." Jelas singkat padat Gus Zayyan.
Terkesiap tak berkedip, perlahan mulut Gus batu terbuka tak percaya."Jadi gadis kejam, jahat dan tega seperti itu yang kakak suka. Sedangkan wanita baik, anggun, sopan dan ramah kayak Salma kakak sia-siain gitu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Santri [SUDAH TERBIT]
Fiksi RemajaBagaimana jadinya Cahaya ketika melanjutkan kehidupan sehari-hari milik saudara kembar dengan menautkan misi mengupas habis lika-liku peristiwa merenggut nyawa sang kembaran (Cahya). Akankah gadis dengan modal wujud yang sama dapat menjalankan misi...