23. Diam Pasrah

2.9K 196 74
                                    

"Katakan siapa kau sebenarnya dan untuk apa kau berada di sini!" Desak coach mengeluarkan aura mencekam dari wajah serius tanpa tawa.

"Coach aku itu-

"Cahya." Panggilan seseorang menghentikan ketegangan terjadi di antara guru dan murid memiliki kelebihan sulit di tebak orang-orang.

Seorang santriwati menghampiri sehabis pulang kursus malam."Cahya kamu di panggil sama Pak Kyai ke kediamannya sekarang."

"Baik, terima kasih." Sebiasa mungkin sikap normal Cahaya di keluarkan di saat sorot tajam tak berhenti mendidik tubuh.

Santriwati itu bergegas pergi setelah berpamitan. Kini tinggalah mereka di dalam suasana menegang memporak-porandakan jiwa. Detak jantung berpacu kencang, kelegaan mendadak hilang entah kemana. Raut wajah pucat di sambar ketegangan naik ke permukaan kulit.

Mata elang kembali menatap mata tajam."Coach aku di panggil Pak Kyai, aku pergi dulu."

Coach membalas dengan dehaman. Kaki Cahaya melangkah menuju rumah Pak Kyai. Langkah berusaha untuk terlihat biasa di kala luka di perut mengeluarkan reaksi menguliti kulit.

Coach menatap tajam punggung pelan-pelan menghilang dari pandangan. Tatapan tajam itu memiliki makna terdalam berasas kecurigaan. Tidak ada ruang di hati Cahaya untuk memikirkan kecurigaan di mata coach. Sementara ini Cahaya kesampingkan masalah menguji jantung itu dulu, yang terpenting itu sekarang matanya tetap terbuka meskipun keadaannya tengah terluka.

"Assalamualaikum." Ucapan salam Cahaya keluarkan kala tiba di rumah milik Pak Kyai Yahya.

"Wa'alaikum salam." Terdengar sahutan dari dalam.

Manik mata Cahaya menatap orang-orang menunggu kedatangannya di ruang tamu. Ludah pahit di teguk, sebuah rasa tak nyaman berhembus ke tubuh penuh luka. Terlepas apapun itu Cahaya tetap memposisikan diri untuk tetap tenang dan berusaha sekuat tenaga menahan rasa sakit timbul di luka menganga.

"Kemarilah." Lambaian tangan dari seorang Kyai hampir terenggut nyawanya dalam insiden kejahatan Baron beberapa jam yang lalu.

Takut-takut Cahaya melangkah menghampiri orang-orang penting berwibawa memiliki aura otomatis membuat kepala menunduk.

"Ada apa Pak Kyai manggil saya kemari?" Wajah pucat bertanya, mata bergantian menatap Pak Kyai Yahya, Bunyai Sholehah, Gus Zayyan dan juga Gus Azmi.

Wajah-wajah serius tampil di seluruh muka semua orang merupakan musibah menerjang bersamaan ke tubuh tiap detik kehilangan kekuatan.

"Kenapa kamu buat Cherly terluka separah itu? Kamu gak mikir tindakan mu bisa membunuhnya!" Murka masuk ke tubuh seorang Kyai ketika telinga mendengar tindakan tidak pantas beredar luas menggaet Cahaya dan Cherly tadi siang.

Bibir pucat itu terkatup, tubuh diam tak bergeming. Kini Cahaya mengerti alasan dia di panggil kemari.

"Apa kamu tau sekarang Cherly lagi di rawat di klinik pesantren, keadaannya terluka parah, dan itu saya gara-gara kamu!" Oktaf suara Pak Kyai makin lama makin meninggi.

Cahaya yang di marahi habis-habisan hanya berdiri dalam keadaan kepala menunduk. Cahaya sadar bahwa apa yang telah ia lakukan pada Cherly sangat keterlaluan. Ia akui dirinya salah, tetapi kembali lagi, tidak akan ada asap kalau tidak ada api.

"Kalau kamu ingin nama mu naik gak gini caranya. Cara kamu bikin Cherly babak belur benar-benar tidak bisa di maafkan, kalau ada apa-apa sama dia gimana? Kamu mau tanggung jawab!" Kekecewaan bertumpuk di mata pengasuh pondok pesantren Al-Ikhlas yang telah memasuki usia tak lagi muda terhadap tindakan kasar gadis baru kembali setelah di kabarkan hilang dari muka bumi.

Satupun tak ada yang membela, semua orang tak buta. Gadis itu memang salah, jika terkena amukan itu adalah hal yang wajar. Pandangan Cahaya mulai kabur, namun diri masih bisa merasakan ujaran kekecewaan di mata semua orang.

"Kamu itu benar-benar bikin masalah aja kerjaannya. 1 bulan yang lalu kamu menghilang tanpa kabar dan sekarang apa yang sudah kamu perbuat? Kamu hampir membunuh orang lain!" Maki Pak Kyai mengeluarkan unek-uneknya.

Pikiran Cahaya berkecamuk, pengelihatan berputar-putar. Cahaya yang tak dapat menopang tubuh sendiri pun ambruk dan tak sadarkan diri tepat di hadapan semua orang.

"CAHYA!" Teriak Gus Zayyan panik begitu pula semua orang yang ada di lokasi saat tiba-tiba gadis itu jatuh pingsan.

🍁🍁🍁

Brankar berisi sosok terlentang dengan luka di tangan bekas menghantam kaca sempat di balut menggunakan perban terbuka dan kembali mengeluarkan darah di dorong.

Gus Zayyan dan Gus Azmi beserta para suster mendorong tubuh tak sadarkan diri. Sebelumnya Cahaya sempat di bawa ke klinik pesantren namun kata Ustadzah Aisyah kondisi Cahaya parah sehingga di sarankan untuk di larikan ke rumah sakit. Tanpa kehadiran Pak Kyai dan Bunyai, dua putra Kyai itu bertanggung jawab penuh untuk semua hal menyangkut Cahaya selama berpijak di rumah sakit Medika.

Di koridor mereka berlari sembari mendorong brankar. Wajah pucat pasi itu membuat Gus Zayyan kehilangan semangat, kekhawatiran datang menyapu wajah, ketakutan akan sesuatu tidak di inginkan datang dan berputar-putar di kepala."Cahya bertahanlah, tolong buka mata kamu."

Pergerakan tak nampak di mata, gadis sibuk memejamkan mata tidak lagi tau apa yang terjadi di sekitar area.

"Maaf kalian tidak boleh masuk. Harap tunggu di sini!" Suster melarang dua Gus pesantren masuk ke ruangan UGD.

Berat hati Gus Zayyan melepas kepergian gadis namanya abadi di dalam hati. Gelisah tak menentu menghampiri, pemuda mengenakan kemeja putih, sarung coklat, peci hitam tak dapat berdiri dengan tenang. Pikiran buruk berdatangan mengganggu pikiran, hal-hal di takutkan terus muncul membuat suasana menegang tak karuan.

Pemuda seperti batu tidak tertarik akan semua hal memperhatikan seseorang resah terus menerus."Kakak tenanglah, gak akan ada yang terjadi sama Cahya."

Perkataan itu bukan menenangkan melainkan membuat diri makin khawatir. Gus Zayyan tepis perkataan Gus Azmi yang terlihat acuh tak acuh terhadap gadis terbaring melawan kematian demi bertahan hidup. Perasaan tidak enak melanda dada penyebab Gus Zayyan tak mau menyingkirkan semua hal buruk berdatangan.

Krieet

Suara pintu terbuka langsung mengalihkan perhatian, empat pasang mata menyorot kedatangan seorang pria berjas putih keluar dari ruangan UGD. Sontak saja mereka lantas menghampiri dalam raut khawatir tiada tanding.

"Dokter gimana keadaan pasien, dia baik-baik saja kan dok? Lukanya gak terlalu parah kan?" Ragam pertanyaan di ajukan Gus Zayyan yang khawatir.

"Kondisi pasien kritis. Pasien kehilangan banyak darah, kami membutuhkan donor darah secepatnya. Kami mohon tolong panggilkan keluarganya, pasien harus segera melakukan transfusi darah." Wajah dokter panik mengingat pasien atas nama Cahaya Argantara semakin kuat memejamkan mata.

The Santri [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang