20. Dendam Menggebu-gebu

3K 180 26
                                    

Gadis berdiri dalam keadaan telinga mendengar setiap untaian kata menyakitkan meledak di tempat. Cahaya yang kelewat kesal meninju kaca menggunakan kedua tangan hingga pecah berkeping-keping.

CTAR!

Lumuran darah mengucur dari tangan menganga oleh luka. Rasa sakit tak di pedulikan, semua sirna oleh gelenyar bertumpukan masuk ke dalam jiwa.

"Jadi mereka yang sudah membunuh Cahya. Mereka benar-benar keterlaluan. Aku akan beri mereka pelajaran yang setimpal!" Putus Cahaya mengeluarkan unek-unek tertahan dalam hati. Berang berdatangan kala fakta masuk ke telinga.

"AKU GAK TERIMA! AKU GAK TERIMA MEREKA MEMBUNUH SAUDARA KEMBAR KU. AKAN KU BALAS MEREKA, AKU TIDAK AKAN TINGGAL DIAM!" Teriak Cahaya keras.

Dendam membara di mata gadis bernama Cahaya sesaat setelah mendengar fakta menyakitkan prihal saudara kembar terbaring tak berdaya di alam barzah. Perlahan namun pasti kini terungkap fakta baru akan mendiang Cahya yang satupun dari pihak pesantren tak mengetahui kabar terbaru menyangkutnya.

Garis berwarna merah di mata hitam menandakan kebencian teramat sangat akan sosok-sosok tak punya iba telah menghabisi cerminan diri dengan begitu sadis.

"Tunggu-tunggu, tadi mereka bilang mereka tega menghabisi Cahya karena dia sudah bermain-main dengan mereka. Apa yang sudah Cahya lakukan? Yang ku tau dia gak pernah kepo sama urusan orang lain, dia juga penakut, tidak mungkin dia menantang Baron. Aku kenal betul seperti apa watak saudara kembar ku." Di keadaan tubuh berapi-api pikiran mengorek mencari tau alasan penyebab Cahya berurusan dengan Baron. Cahya dan Cahaya dua anak kembar yang berbeda meskipun wajah mereka sama persis. Satunya sekuat baja, satunya selemah kaca.

"Tapi apapun alasannya aku tidak akan terima. Sampai mati aku tidak akan terima mereka menghabisi Cahya dengan cara yang sesadis itu." Tempat sepi tak berpenghuni amarah di luapkan gadis dengan gelar pendekar sabuk merah. Kerasnya batu panas menempel kuat di jantung, sebagai tanda awal kehancuran orang-orang tak punya hati nurani.

"Liat aja. Aku Cahaya Argantara akan balas dendam, aku tidak terima mereka merenggut nyawa saudara kembar ku." Penuh penekanan kata-kata itu keluar. Dalam keadaan jiwa di selimuti dendam, tubuh Cahaya masuk ke dalam rumah kosong melalui jendela sudah ia pecahkan menggunakan tangan sendiri.

Rumah tua itu kosong, tak ada seorangpun yang berada di sana. Tatapan maut Cahaya jatuh pada kursi yang di lilit olah tali bergelantungan. Cahaya berjongkok mengambil sesuatu mencuri pandang."I-ini gelang Cahya. Jadi benar kalau selama ini Cahya di siksa oleh mereka."

Tak dapat membendung air mata kala membayangkan bagaimana penyiksaan demi penyiksaan yang sudah di alami oleh Cahya sampai nyawa tak ingin singgah di raga. Jasad telah memutih kebiruan di padu darah dari segala segi mengucur keluar terekam jelas di mata Cahaya.

"Mereka benar-benar keterlaluan!" Pekikan keras di luncurkan.

Bulir-bulir bening berjatuhan, Cahaya tumpahkan segala kesedihan di tempat terkutuk. Cahaya yang marah besar memukul lantai dengan keras tak peduli berapa banyak darah mengalir di kedua tangan yang terluka.

"Cahya maafin aku, maaf aku gak bisa nolongin kamu. Tapi kamu tenang aja, aku akan balas tiap penyiksaan yang sudah mereka lakukan pada mu. Aku tidak akan tinggal diam. Mereka udah buat kita berpisah maka mereka akan tau apa balasan karena sudah melakukan itu semua."

Di mata Cahaya terlihat jelas dendam yang membara. Walaupun fakta ini menyakitkan namun setidaknya ia sudah tau siapa yang telah membuat Cahya meregang nyawa.

"Aku yakin ada sesuatu yang terjadi antara Cahya dan Baron. Tidak mungkin Baron membunuh Cahya tanpa ada tujuan yang jelas. Aku akan cari tau sampai dapat inti permasalahan yang sudah berhasil bikin nyawa Cahya melayang. Aku tidak akan pernah berhenti apalagi pergi sebelum aku bisa mengungkap misteri ini." Dalam sorot mata tajam janji terlayang di keadaan tubuh penuh gelora api menjadi-jadi. Cahaya menyimpan gelang itu sebagai tanda jika pemilik gelang pernah berada di tempat terkutuk sebelum ajal menjemput.

Tubuh kembali tegap, manik mata menajam ke depan."Sekarang aku sudah tau tempat persembunyian mereka. Liat aja apa yang akan ku lakukan." Senyum licik merekah menghias wajah Cahaya.

Cahaya menyeka sisa-sisa air mata. Ini bukan saatnya bersedih, diri harus tegar dan berusaha membungkam mulut musuh bebuyutan.

"Kalian yang sudah membunuh kembaran ku bukan? Maka lihatlah apa yang akan ku lakukan untuk membalas perbuatan keji kalian." Bengis senyum mengambang di wajah misterius sulit di tebak. Aura dark keluar dari balik wajah pucat pasi, wajah senantiasa tenang bukan berarti aman melainkan tanda bahaya yang akan segera datang. Dia lautan, bukan daratan, dia mengerikan bukan melegakan.

Kaki bergegas pergi meninggalkan tempat terkutuk, dengan berjalan niat pulang tidak akan pernah di urungkan. Untuk keluar dari dalam hutan butuh waktu lantaran jarak terbilang jauh. Semua hal akan Cahaya lakukan meskipun kondisi sangat mengkhawatirkan. Luka tusuk di perut sesekali masih mengeluarkan darah dan bercucuran di tanah. Karena luka itu pula wajah Cahaya semakin lama semakin pucat, tapi kaki tetap melangkah pergi dari tempat kelam.

🍁🍁🍁

Rumah tepi jalan raya menjulang tinggi berwarna putih paling mentereng di antara rumah yang lain, tampak beberapa mobil terpakir rapih di depan rumah. Rumah terbilang besar mampu menghipnotis mata oleh kemegahan yang di ciptakan. Rona hitam menatap geram ke arah rumah menjadi tempat manusia paling busuk tinggal dengan tenang.

"Owh jadi ini rumahnya. Baron, akan ku buat rumah megah mu seperti di neraka." Cahaya berkata pelan, tubuh memperhatikan rumah megah dari sebrang jalan, tubuh bersembunyi di balik pohon rindang.

Kretek
Kretek

Pertemuan antara tulang dan tulang menciptakan suara mengerikan di timbulkan oleh leher. Cahaya dengan tatapan horor perlahan melangkah keluar dari tempat persembunyian, satu demi satu kaki menginjak asplan sampai berhenti di belakang rumah. Keadaan kosong terjadi di sekitar tempat, tidak menunggu waktu lama, Cahaya gunakan kesempatan emas untuk masuk ke dalam rumah dengan cara memanjat tembok berfungsi sebagai pagar.

Brukkk

Tubuh Cahaya mendarat tepat di tanah di tumbuhi rumput-rumput hijau terawat. Kepala terangkat pada pintu terdapat di belakang rumah. Tubuh berdiri tegak, kaki melangkah menghampiri. Mata menengadah ke depan, satu benda di tatapan seksama, bersamaan dengan itu muncul ide cemerlang datang di keadaan menegang.

Cahaya temukan tangga di letakkan secara sembarang tak jauh dari pintu berada, tangga yang terlihat kurang berharga menjadi alat untuk naik ke balkon guna melaksanakan sesuatu terkemas rapih di dalam benak. Tatapan tajam terpasang kokoh di kedua bola mata, tubuh kini telah menginjak lantai di rumah Baron, tepatnya di balkon. Tangan pelan-pelan mendorong pintu kebetulan tidak di kunci, mengendap-endap Cahaya masuk ke salah satu kamar berukuran besar dengan segala fasilitas terlengkap.

The Santri [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang