Ruangan khusus di kediaman Pak Kyai Yahya di padati oknum-oknum penting, di meja panjang mereka mengambil duduk berjejer rapih.
"Bagaimana caranya kita bisa menangkap pendekar selendang merah itu?" Rapat di suasana pagi seusai sholat subuh di mulai dengan pembahasan yang mengacu pada leader pengganggu tengah berdiam diri di kandang. Rasa takut terus menghantui Pak Kyai Yahya, pikiran menyebut dia tidak boleh di biarkan terus menerus, khawatir terjadi hal tidak di inginkan.
"Untuk menangkap dia, kita harus menggunakan akal cerdik. Rekaman cctv yang tersebar di seluruh pesantren tidak berguna, karena dia selalu membuang semua bukti. Oleh karena itu kita harus lebih jenius 2 kali lipat dari pada dia."
Semua mata memusat pada Ra Wafa, sosok ponakan dari Pak Kyai Yahya terlihat memiliki ide cemerlang tersimpan di benak.
"Caranya?" Ra Husain melempar pertanyaan.
Ra Wafa tersenyum mematikan, tercantum hal mencengangkan di balik senyum menakutkan.
Pertemuan itu berakhir dengan kata menggantung.
Semua santriwati telah mendengar kabar mencengangkan, setiap orang berkumpul di lapangan lengkap dengan pakaian pencak silat, begitu pula dengan gadis berwajah setenang lautan yang ikut berdiri tegak di antara yang lain.
"Kenapa mereka tiba-tiba mengadakan lomba pencak silat? Apa yang mereka rencana sebenarnya." Batin Cahaya mulai waspada, merasa jika yang terjadi tidak murni.
"Kalian sudah mendengar pengumuman lomba pencak silat yang pesantren selenggarakan bukan?" Coach berdiri di tengah-tengah lingkaran. Tatapan mata selalu tajam, dingin yang selalu mendominasi membungkus sosok pelatih pencak silat tersebut.
Mereka mengangguk, pengumuman itu telah tersebar ke seluruh penjuru, setiap telinga mendengar satu hal penting cukup menimbulkan sedikit tanda tanya tapi terkikis oleh semangat membara.
"Siapapun yang menang dia akan mendapatkan gelar pendekar sabuk merah." Setiap mata mendengar itu berbinar luar biasa, ketertarikan diri meningkat tajam."Untuk mempersingkat waktu, mari kita mulai pertandingan."
Manik mata Cahaya menatap tajam coach, tertera kata curiga di balik netra.
Perlombaan di mulai dengan lancar, di mana ada yang menang pasti ada yang kalah, itulah yang di namakan pertandingan. Kini giliran nama Cahaya yang di panggil. Gadis pun maju, di iringi wajah datar tanpa ekspresi yang telah mendarah daging. Cahaya sparing dengan gadis bernama Vega, sebelum sparing mereka bersalaman terlebih dahulu.
Priiiiittt
Tiupan peluit tanda perlombaan di mulai, kedua lawan saling menyerang memperebutkan gelar.
Bugh
Bugh
BughBrukkkkk
Tubuh Cahaya terkulai lemah di tanah, sorakan pendukung Vega pun terdengar meriah.
Semua orang terpukau melihat seorang Cahaya tumbang, kemampuan bela diri Cahaya yang baik sudah di endus oleh orang-orang, tapi apa ini? Semudah itukah dia kalah?
Sepasang mata menatap tajam, kejanggalan memupuk di kepala, tapi bibir memilih diam tak berkata.
Cahaya dengan santai keluar dari garis pertandingan, mengambil duduk di tanah di tumbuhi rumput-rumput hijau. Mira duduk di dekat gadis itu, tersodor air dalam kemasan dari tangannya. Cahaya mengambil lalu meneguk, hilang sudah rasa dahaga di jiwa.
"Kok kamu kalah sih ca? Vega itu santri baru, bisa-bisanya kalah sama dia, kemarin kamu bisa ngalahin Cherly yang merupakan leader of pencak silat pesantren." Heran Mira penuh kekecewaan melanda.
"Namanya juga lomba mir, kalah menang itu hal biasa." Balas Cahaya.
"Tapi ca, kayak gimana gitu kamu kalah. Aku udah berharap kamu menang dan aku akan koar-koar ke semua orang kalau temen aku yang terbaik di pesantren." Ujar Mira dengan segudang ekpektasi.
"Udah deh, terima aja." Cahaya mematahkan semangat gadis cerewet di samping.
Mira mencebik bibir, bagaimanapun semuanya sudah terjadi dengan hasil kurang memuaskan diri.
"Peserta selanjutnya Mira Arella Divka." Panggil coach menggunakan mix.
"Semangat mir." Tepukan di bahu kiri dari gadis setenang ocean di balas anggukan oleh Mira. Dengan semangat gadis itu berlari mendekati lapangan. Mira sparing dengan orang yang sudah mengalahkan Cahaya, yakni Vega.
"Kalian sudah siap?" Tanya coach.
Serempak kepala mereka mengangguk, tak sabar untuk memperebutkan gelar pendekar sabuk merah.
Priiiiittt
Peluit di tiup dengan keras, mereka langsung siap dan mulai baku hantam. Gerakan Vega begitu lincah dan gesit, Mira kewalahan mengimbangi permainan, walaupun Vega masih baru tapi kemampuan bela dirinya tidak bisa di ragukan.
Dari kejauhan Cahaya memperhatikan gerakan demi gerakan yang Vega keluarkan. Senyum sinis terukir di bibir Cahaya, sorot mata tajamnya terdapat misteri tersembunyi.
Melihat Mira terjatuh oleh tendangan kuat lawan, Cahaya tetap diam dan terus mengamati gerak-gerik Vega. Mira dengan kaki pincang keluar dari arena dan beristirahat di tempat yang ia cap nyaman."Aduh, sakit bangeeet." Rintih Mira, pelan-pelan meluruskan kaki.
"Gimana rasanya berdeul sama Vega? Gak nyangka kan kalau dia punya potensi besar dalam dunia bela diri?" Mendapat pertanyaan bercampur ejekan bibir Mira terkatup sempurna, namun tetap saja tidak terima Vega menang dari Cahaya.
Terukir senyum bermakna dalam melihat diamnya gadis di samping."Kunci kemenangan adalah tenang, dan jangan sesekali meremehkan lawan jika tidak mau menanggung malu."
Mira semakin diam, menyesali perbuatan dengan merenungi kata-kata Cahaya. Ekpektasi setinggi langit terjatuh sedalam samudera Pasifik.
Babak final datang menjemput, tersisa 2 peserta terakhir yang mampu bertahan, yakni Vega dan Cherly. Persaingan ketat di mulai, tak ada yang berekspresi tinggi karena lawan semakin lama semakin berat dan sulit untuk di taklukkan. Kedua peserta itu saling pandang, sorot mata sama-sama tajam, perebutan gelar pendekar sabuk merah makin sengit.
"Kalian sudah siap?" Tanya coach.
Kepala mereka mengangguk kompak.
Priiiiittt
Kedua peserta mulai saling menjatuhkan, semangat dan penuh kegigihan mereka lakukan. Jurus-jurus terbaik di keluarkan demi mendapatkan apa yang di inginkan.
Kaki Cherly tergelincir dan membuatnya kehilangan keseimbangan, Vega mengambil kesempatan itu untuk menyingkirkan Cherly.
Brukkk
Tendangan keras mendarat di perut Cherly, sontak Cherly langsung tersungkur menjerit kesakitan. Senyum penuh kemenangan merekah di bibir Vega, sorakan gembira terdengar seisi lapangan.
"Pemenang lomba pencak silat antar santri adalah Vega Saraswati. Selamat kepada Vega, tolong beri tepuk tangannya!" Lantang coach berteriak di hadapan semua orang.
Tepuk tangan dan sorakan menggelegar seisi lapangan, senyum Vega tak henti-hentinya terukir menghiasi wajah.
Di saat semua orang gembira atas kemenangan Vega, seseorang masuk ke area garis pertandingan, kaki melangkah dalam wajah cool, terulur tangan ke hadapan gadis terjatuh. Cherly lantas menerima uluran tangan dari sosok pernah menjadi musuh terbesar.
Lirikan tajam Cherly membidik Vega yang sibuk mendapat pujian atas kemenangan yang di dapatkan.
"Kali ini dia beruntung, tapi di lain hari keberuntungan itu tidak mungkin dia dapatkan kembali." Kata-kata itu sukses membuat manik mata Cherly beralih menatap tajam ke arah sosok tersenyum menyeringai. Kening Cherly berkedut mendengar kata-kata Cahaya yang mengandung makna dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Santri [SUDAH TERBIT]
Fiksi RemajaBagaimana jadinya Cahaya ketika melanjutkan kehidupan sehari-hari milik saudara kembar dengan menautkan misi mengupas habis lika-liku peristiwa merenggut nyawa sang kembaran (Cahya). Akankah gadis dengan modal wujud yang sama dapat menjalankan misi...