46. Semudah Itukah Dia Melupakanku?

3.3K 188 90
                                    

Ketika mata terbuka, semuanya langsung berbeda. Malam berganti siang, pesantren berubah rumah sakit. Gadis berwajah pucat cedera di bagian kepala mengedar pandangan menyusuri ruangan serba putih, jarum infus menempel di punggung tangan sebelah kiri.

Krieet

Pintu kamar tiba-tiba terbuka, seorang pria berjas putih masuk ke dalam kamar di sertai seulas senyum ramah."Selamat pagi."

Cahaya menoleh ke samping."Pagi dok."

"Gimana keadaan kamu? Udah mulai baikan?" Cahaya menganggukkan kepala, tersisa sedikit rasa pusing menyerang tubuh.

"Syukurlah kalau seperti itu. Kemarin malam kamu di bawa ke rumah sakit akibat cedera ringan di kepala. Kamu harus banyak-banyak istirahat biar luka di kepala kamu cepat sembuh." Melihat Cahaya yang bingung, dokter menjelaskan tragedi singkat menyebabkan raga berpindah tempat.

"Kapan saya boleh pulang dok?" Misi memupuk di mata, tak ada hari tanpa menjalani misi, gadis berwajah pucat tak ingin tinggal lebih lama di tempat beraroma khas obat-obatan.

"Besok atau lusa pihak rumah sakit akan mengizinkan kamu pulang. Kenapa? Jenuh di kamar?" Kepala Cahaya anggukkan, berada di ruangan luas seorang diri membuat diri merasa suntuk. Gadis selalu bereksplorasi dengan dunia keji, penuh darah dan membahayakan tak biasa tinggal di tempat yang mengharuskan diri beristirahat.

"Biar kamu gak jenuh, gimana kalau saya ajak kamu ke taman rumah sakit?" Tawa dokter bername tag Kevin.

"Boleh, tapi itu gak ngerepotin dokter kan?" Cahaya balik bertanya, gadis kehilangan senyum seumur hidup tak pernah di perlakukan seperti ini oleh keluarga sendiri, dan kini orang asing yang baru di temui yang bisa melakukan sesuatu yang seharusnya keluarga lebih dulu melaksanakannya.

"Tentu saja enggak. Sebentar saya ambilkan kursi roda dulu." Dokter berusia kira-kira 35 tahun melengos meninggalkan Cahaya seorang diri di kamar.

Fase-fase seperti ini, ingatan malah menghukum diri dengan mendatangkan kelebat keluarga yang tak pernah ada di era sulit. Seluruh macam kesulitan di tanggung hingga kehilangan sebuah senyuman. Raut wajah Cahaya penuh kesedihan terpendam dalam, tak ada ruang baginya bercerita tentang keluh kesah di pendam lama di lubuk hati, semuanya hanya sebatas di sembunyikan dalam di diam.

Krieet

Kepala menoleh ke arah pintu, tertangkap seorang laki-laki masuk ke dalam kamar. Bola mata Cahaya membulat melihat siapa yang datang."JEREMI!"

Shock menghantam Cahaya, sosok bertubuh tegap berjarak 3 tahun di atas Cahaya berdiri di samping."Kenapa kau tau aku ada di sini?"

"Mudah bagi ku untuk menemukan mu walaupun kau bersembunyi di lubang semut sekalipun." Sosok lelaki berusia 21 tahun dengan hidung mancung, kulit kuning langsat, memiliki tatapan mata dalam. Dia teman baik Cahaya + rekan satu perguruan.

"Aku butuh bantuan mu."

"Katakan, aku bisa membantu mu dalam hal apapun." Lelaki bernama Jeremi teman karib Cahaya sedari dulu selalu menemani dan dapat di andalkan dalam setiap keadaan.

"Tolong kau selidiki Black Man yang bersembunyi di bukit tak jauh dari pesantren. Cari tau alasan mereka mencelakai para Kyai." Perintah Cahaya.

"Oke, aku akan selidiki mereka. Tunggulah aku kembali membawa kabar baik untukmu." Ucap Jeremi.

"Hati-hati, mereka berbahaya." Imbau Cahaya di balas anggukan oleh Jeremi. Pemuda bisa segalanya berlalu meninggalkan diri di tempat sepi.

Setelah pintu tertutup rapat, beberapa menit kemudian pintu kembali terbuka, menampilkan sosok dokter datang membawa kursi roda."Ayo saya bantu."

Dengan hati-hati dokter Kevin membantu Cahaya duduk di kursi roda yang ia bawa.

"Makasih dok."

"Sama-sama."

Kursi roda itu di dorong dengan pelan, agar sang penumpang tak merasa takut. Mata Cahaya melihat-lihat isi kamar yang terletak di kanan dan kiri, rata-rata pasien-pasien yang di rawat adalah santri Al-Ikhlas. Penyerangan yang terjadi tadi malam membuat mereka harus mendapatkan perawatan medis yang memadai demi memantau perkembangan mereka yang di kabarkan terluka cukup parah.

"Permisi dok." Salah seorang suster datang menghampiri, dokter Kevin tak punya hal lain selain berhenti untuk melayani suster sedang bertanya-tanya seputar perkembangan pasien di unit nomor 67. Dengan ramah dokter Kevin menjelaskan.

Cahaya yang merupakan satu-satunya orang asing di sana memilih menutup mulut. Kepala melihat ke sebelah Utara, tiba-tiba mata terkunci pada sepasang manusia terlihat di selimuti cinta berlapis senyum manis di kamar berisi orang-orang penting pesantren.

Hati Cahaya teriris-iris melihat Salma begitu bahagia saat tau jika tunangannya Gus Zayyan sempat terluka telah siuman. Gadis berwajah pucat menatap begitu dalam, hatinya terporakporandakan. Seperti ada benda tajam yang menikam jantung saat melihat mereka bersama.

Tak ada yang sadar jika sepasang mata menangkap adegan menikam dada."Gak nyangka dia akan berubah secepat ini. Di mana bukti dari ucapannya kemarin yang katanya mencintai tapi faktanya malah melukai." Batin Cahaya.

Sedikit kecewa namun Cahaya tidak bisa apa-apa, karena statusnya tak bisa di sandingkan dengan Salma yang di akui dan di hargai oleh semua orang.

The Santri [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang