3. Surat Peringatan

5K 273 0
                                    

Sesampainya di sebuah kamar dalam keadaan kosong wajah Mira masih berselimut happy. Sungguh tidak menduga sahabatnya yang lemah, cerewet, ngambekan ternyata memiliki bakat terpendam.

Mira merebahkan tubuh di atas kasur."Untung ada kau hari ini. Aku kira tadi kau akan kalah dari Cherly, karena dia itu tidak pernah terkalahkan. Setiap tahun biasanya dia yang di pilih untuk mewakili pondok dalam lomba pencak silat. Tapi aku yakin tahun ini bukan Cherly lagi, tapi kamu."

Cahaya tak mendengarkan, tak menggubris perkataan Mira. Mata terus menatap buku harian mendiang adiknya yang tertinggal di kotakan. Tangan membuka halaman demi halaman terdapat di buku. Isi buku itu tak lain dan tak bukan tentang keluh kesah yang Cahya alami selama ini.

Tiba-tiba Cahaya berhenti di salah satu halaman, tertera foto seorang pemuda kemeja putih, sarung coklat dan peci hitam. Tampak tersenyum manis mengumbar pesonanya. Cahaya membaca bait-bait kata yang di tulis sang adik yang berkategori perasaan.

"Owh jadi seperti ini wajahnya." Batin Cahaya melepas foto pemuda yang tertempel di buku. Memandangi dengan intens foto pemuda tak beridentitas. Telah menjadi pemuda paling di cintai Cahya ketika di lihat dari segi buku harian.

Mira menajamkan pengelihatan."Ca, ngapain kamu nyimpen foto Gus Zayyan?"

Seketika Cahaya langsung menyembunyikan foto itu, berbalik menatap ke arah Mira yang di kejutkan."Emangnya kenapa? Gak boleh?"

"Ya...enggak papa sih, dia itu salah satu Gus di sini. Dia sangat di idolakan oleh banyak santri, karena ketampanan dan juga kebaikannya."

"Lalu?" Cahaya menunggu kelanjutan dari cerita Mira.

"Ku peringatkan pada mu, jangan terlalu berharap lebih, karena saingan mu banyak. Aku yakin kau tidak akan bisa mendapatkan dia." Sambung Mira.

Dalam hati Cahaya tidak mempedulikan. Di sini yang mencintai Gus Zayyan adalah Cahya, bukan dirinya.

"Oh iya ini udah sore, ayo kita mandi, nanti antri. Mumpung sekarang santri-santri lagi latihan." Mira akan gunakan kesempatan ini untuk mandi sebelum antrian panjang menghampiri.

"Kau duluan saja, nanti aku nyusul."

Mira pun mengangguk, mengambil handuk dan keranjang kecil berisi sabun, pasta gigi, sikat gigi dan facial foam. Kemudian melangkah ke kamar mandi terletak di lantai 1.

Di kamar tersisa Cahaya seorang, sebagain santri ada di lapangan tengah latihan, sebagainnya lagi pergi mengaji pada Bunyai. Informasi yang Cahaya dapati dari Mira benar-benar tidak berguna.

"Wanita itu bilang kalau saingan untuk mendapatkan pria ini berat, apa mungkin karena ini Cahya meninggal. Tapi tidak mungkin, wanita yang menjadi sahabat Cahya saja tidak tau kalau Cahya menyukainya." Batin Cahaya ragu untuk menetapkan konflik sepele sebagai bagian utama lenyapnya sang kembaran.

"Aku simpan dulu buku ini, aku akan cari lagi bukti yang mengarah pada kematian Cahya. Aku yakin sekali tempat ini ada hubungannya." Cahaya meletakkan kembali foto pria di ketahui bernama Zayyan tersebut.

Tiba-tiba secarik kertas jatuh saat tangan menutup buku itu. Alis bertaut, menimbulkan kedutan di dahi."Apa ini?"

Tangan Cahaya mengambil kertas itu. Membuka pelan-pelan untuk melihat isi di dalam.

"Jangan pernah mencoba untuk mengambilnya dari ku, jika kau tidak mau nyawa mu melayang!" Isi surat yang Cahaya temukan.

Mengepal kuat tangan, emosi tersulut. Jantung berpacu kencang, deru nafas menyingkirkan sejuknya udara.

"Sial, dia menggertak adik ku. Berani-beraninya dia mengancam adik ku yang bukan-bukan!" Raut wajah Cahaya terbakar api, otak mendidih mendapati surat ancaman tidak rasional.

"Aku akan beri kau pelajaran setimpal. Karena mu adik ku meninggal. Dan aku sebagai kakaknya tidak akan pernah tinggal diam!" Emosi membara di diri Cahaya. Gadis itu mengatur nafas, harus tetap tenang meskipun fakta baru begitu menyakitkan.

Mata kembali menatap foto pemuda yang tadi di temukan tanpa di sengaja."Gus Zayyan. Laki-laki ini adalah awal mula penyebab Cahya meninggal. Aku akan tandai diri mu. Jika benar kau penyebabnya. Sampai mati pun aku tidak akan pernah memaafkan mu."

Tatapan nanar Cahaya tercetak, gadis itu menahan emosi dengan sekeras baja, mengendalikan diri lantaran masih belum mendapatkan bukti yang kuat. Cahaya menyimpan buku dan surat ancaman itu baik-baik di dalam kotakan tempat baju-baju berada. Kemudian mengambil handuk dan menyusul Mira.

Cahaya kira kala sampai di kamar mandi tidak ada orang selain dirinya, namun itu salah. Di kamar mandi sudah ada banyak santri yang mengantri. Gadis itu memilih diam, kesulitan berkomunikasi, di antara banyaknya orang tak ada satupun yang di kenal, keadaan ini berhasil mencekiknya.

Pintu kamar mandi yang berada di dekat Cahaya terbuka. Seorang gadis yang telah mengantri sejak tadi hendak masuk ke dalam.

"Eh tunggu!"

Teriakan keras seseorang menghentikan segala aktivitas yang terjadi.

"Minggir, aku mau mandi!" Usir wanita babak belur seenaknya.

"Gak bisa gitu dong, aku kan udah ngantri dari tadi." Tak terima gadis itu.

"Kamu berani sama aku hah!" Dengan menarik kerah baju, Cherly mengancam dan melototkan mata pada santri yang lebih junior. Gadis itu bergetar takut. Semua orang sudah tau seperti apa Cherly ketika marah.

"Lepasin dia!"

Seketika semua mata terarah pada lautan abadi. Memiliki wajah cantik namun dingin. Keras dalam berucap, sulit untuk tersenyum. Dialah wanita bersaudara dengan lautan. Diam-diam menenangkan tapi menyimpan misteri mendalam.

"Dia udah antri sejak tadi, kau baru datang. Jangan semena-mena di sini. Ikuti peraturan yang ada. Jangan membuat peraturan sendiri." Cetus Cahaya.

Cherly melepas keras baju gadis itu, dengan tatapan nanar beralih menatap ke arah Cahaya."Kau jangan ikut campur atau..."

"Atau apa?"

Cherly mengepal kuat tangan, emosi menyelimuti tubuh, menahan keinginan demi tidak menimbulkan keributan.

"Jangan sok-sokan berkuasa, jika kau tidak mau menanggung malu seperti tadi." Bisik Cahaya mengingatkan kembali prihal momen menurunkan derajat. Telinga Cherly panas, rasanya seperti ada api yang membakar.

Seulas senyum sinis samar-samar terangkat di bibir Cahaya. Puas mendapati Cherly berada di bawah kakinya.

"Sialan, dia menggertak ku, berani-beraninya dia melakukan ini pada ku. Seumur-umur baru kali ini aku di gertak sama orang. Liat aja aku akan hajar dia besok. Akan ku pastikan kalau aku yang menang." Batin Cherly tak terima dengan kekalahannya.

Cahaya melihat jelas amarah menggebu-gebu di diri Cherly, namun gadis itu tak bisa berkutik di buatnya.

"Masuklah, dia tidak akan merebut antrian mu." Ujar Cahaya. Gadis itu masuk ke dalam dan mulai melakukan ritual mandi sementara Cahaya masih berdiri di sana menunggu gadis itu selesai.

Semua orang melihat bahwa Cherly di kecam oleh Cahaya terbungkam. Banyak di antara mereka tidak tau apa yang sudah terjadi antara Cherly dan Cahaya. Tapi itu tidak berlangsung lama, rumor kekalahan Cherly meluas sampai tidak ada telinga yang tuli.

"Dia tidak akan bisa mengganggu orang lagi. Selagi aku berada di sini. Tidak akan aku biarkan dia semena-mena." Batin Cahaya.

The Santri [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang