27. Ini Jalan Terbaik

3.1K 201 104
                                    

Sinar matahari kembali terbit, kegelapan yang ada di bumi lantas menyingkir.

Di pagi sejuk telah tersaji makanan hambar di bawa oleh seorang pemuda berwajah teduh."Saya bawain kamu sarapan, jangan lupa di makan biar lekas sembuh."

"Aku baik-baik aja, kamu boleh pergi." Dingin kembali menghampiri gadis ocean, memang kemarin hati telah sempat terenyuh akan kebaikan Gus Zayyan. Tapi sifat jutek, kejam, keras kepala harus tetap ada hingga terlaksana semua tujuan.

"Saya gak mau, saya akan tetep jagain kamu."

"Gak perlu. Pergilah, aku bisa semuanya sendiri!" Sensi gadis bermata setajam elang.

Gus Zayyan terdiam."Kenapa Cahya jadi kayak gini lagi, kenapa dia berubah lagi? Apa mungkin dia masih marah sama aku." Batin Gus Zayyan overthinking.

"Cahya, saya tau saya salah, tapi perjodohan itu bukan kemauan saya. Saya juga tidak mau di jodohin, saya mohon sama kamu, jangan marah dan bersikap kayak gini lagi." Ada perasaan hancur saat wanita menempati hati bersikap tak acuh. Gus Zayyan tertekan, tapi diri tak bisa tegas di sini.

"Aku tidak peduli dengan perjodohan itu, mau kamu di jodohin sama siapapun aku gak peduli, yang jelas aku gak mau lihat kamu lagi." Sarkas Cahaya.

DEG!

Hati seakan di tikam ribuan jarum. Semenjak adanya perjodohan itu Gus Zayyan pelan-pelan mulai kehilangan gadis yang ia cintai.

"Saya akan perjuangan kamu sampai Abi dan Ummi merestui niat saya untuk menikahi mu. Saya mohon kamu bertahan selagi saya berjuang." Bujuk Gus Zayyan tak ingin kemarahan di mata wanitanya terus terjadi.

"Dari awal aku udah bilang, aku tidak mau dan tidak bisa bertahan. Lebih baik kamu terima aja perjodohan itu, aku yakin Salma juga akan menerima mu dengan lapang dada." Cetus Cahaya, walau terkesan kejam tapi ini yang terbaik, hati tak ingin membuat seseorang berpikir dalam dan meninggikan harapan pada diri yang di liputi kebohongan.

"Apakah kamu benar-benar gak mau bertahan lagi?" Raga dan jiwa pemuda bermata teduh tengah hancur mengeluarkan pertanyaan dari lubuk hati terdalam. Sesak menyeruak di dada, dunia seketika menjadi hampa.

"Gak bisa, aku gak bisa berjuang lagi." Jawab Cahaya menilik ke arah lain.

Gus Zayyan tertunduk sedih, ia memang sangat mencintai, tapi jika gadis yang ia cintai tak melakukan hal yang sama, lantas diri bisa apa.

"Baiklah kalau itu keputusan kamu. Saya akan lepasin kamu dan saya akan menerima perjodohan itu sesuai yang kamu inginkan." Tersemat kehancuran di mata Gus Zayyan kala mengatakan itu semua."Saya pergi dulu, kamu jaga diri baik-baik."

Pemuda remuk redam di sergap ribuan tombak berlalu pergi dalam kekecewaan. Hati Cahaya ikut teriris-iris melihat betapa sakitnya menjadi dia yang di hancurkan oleh orang yang di sebut Cahya."Maaf Gus, aku harus melakukan ini. Ini demi kebaikan mu, karena sesungguhnya aku bukan wanita yang ada di hati mu. Semoga setelah ini kau bisa hidup bahagia dan terlepas dari ku maupun adikku."

Setetes air mata lolos dari pelupuk, kesedihan di pendam kala menyampaikan kalimat kejam kini tumpah ruah. Rasa bersalah mencuat, tetapi Cahaya harus tetap tegar. Perjalanan masih panjang, diri tidak bisa larut dalam kisah cinta Cahya dan Gus Zayyan yang jelas-jelas tidak akan pernah bisa bersatu.

Hari ini Cahaya telah memutuskan hubungan dua orang yang saling mencintai namun tidak bisa memiliki. Dengan modal wajah dan rupa yang sama, kini hubungan antara Cahya dan Gus Zayyan telah berakhir.

Netra berlinangan cairan bening mengarah ke langit-langit kamar."Maafin aku Cahya, aku harap dengan ini aku bisa lebih fokus ke tujuan awal ku."

Hati sedikit tergores tatkala mata melihat kesedihan di wajah Gus Zayyan yang notebene-nya orang asing. Cahaya tak ingin menjadi sosok lain untuk membahagiakan seseorang, ia tidak mau menanggung rasa bersalah dan kekecewaan lebih dalam lagi.

Krieeet

Di tengah air mata turun membanjiri, seorang suster datang membawa nampa berisi segelas air putih dan beberapa tumpukan obat. Lelehan kristal Cahaya seka dengan satu tangan.

"Permisi kak, ini obatnya jangan lupa di minum sehari tiga kali." Barang bawaan suster letakkan di atas nakas.

"Sus, saya boleh pinjem hp suster. Saya mau menghubungi orang tua saya." Titah gadis berseragam pasien.

"Boleh, ini silahkan." Sebuah hp keluar dari saku di tersodor. Cahaya raih dengan syukur tiada tara, ia pun lantas menekan beberapa digit angka untuk menghubungi pihak keluarga.

"Halo siapa ini?" Suara pria di hujam kelelahan akan pekerjaan masuk ke dalam telinga.

"Papa ini Cahaya."

"Ada apa?" Tak kalah ketus dari Gus Azmi suara sang ayahanda. Sikap Rangga terhadap Cahaya dari kecil memang seperti ini, tegas dan cuek, didikan keras membuat Cahaya kadang kala bertanya apakah dia anak kandung atau anak pungut.

Lidah terasa keluh, air mata mulai menggenang."Pa, Aya mau pulang, izinin Aya pulang."

"Jika misi kamu belum selesai, jangan harap pulang dari sana. Selesain dulu misi itu, kalau penjahat yang membunuh adik kamu belum terungkap, jangan harap pulang ke rumah. Kamu harus mendapatkan keadilan untuk Cahya adik kamu, ayo tunjukkan jiwa seorang kakak dalam membela seorang adik." Sarkas Rangga.

Pedas menusuk ke dalam hati, dari awal pikiran memang yakin tanggapan ini yang akan di peroleh. Air mata tak sanggup di tahan, menetes begitu saja."Iya pa, Aya akan tetep bertahan sampai semuanya selesai seperti yang papa mau."

Sambungan komunikasi jarak jauh di putus secara sepihak. Dalam sesak menggerogoti kulit, Cahaya serahkan kembali benda pipih."Makasih suster."

"Sama-sama, permisi." Perawat berlalu pergi menyisahkan diri di temani luka di hati.

Bibir ranum tak bergeming, namun air mata lepas dari pelupuk berkali-kali."Aku sudah berkoban pa, sejak kecil, sampai aku rela belajar bela diri hanya untuk bisa melindungi Cahya. Seolah semua yang ku lakukan hanya atas namanya dan semua orang menginginkan aku tegar untuk satu orang. Lantas kapan giliran ku mendapatkan perhatian sebesar yang kalian berikan pada Cahya? Kapan aku berhenti di tuntut sepanjang hari?"

Hening tak bersuara adalah jawaban hampa di tengah pertanyaan terlontar namun hanya di dengar oleh telinga sendiri.

🍁🍁🍁

Isak tangis menggema di pesantren. Seluruh jiwa mengerumuni satu tempat asal suara menyayat hati. Tetesan air mata tampak keluar dari setiap insan, teriakan dan juga tangisan semakin lama semakin mengeras.

"Ada apa ini?" Sosok pemuda baru kembali ke pesantren tercengang melihat kerumunan para santri putra. Tapi paling membuat bisu ketika mata melihat banyak manusia menangis kejer.

"Kyai Abidin meninggal dunia Gus." Lelaki berdiri dengan tatapan kosong di samping menjawab.

Pandangan Gus Azmi merotasi ke arah Ustadz Fatur."MENINGGAL! KOK BISA?"

Jantung serasa terhunus pedang tajam, kemarin mata masih melihat adik Pak Kyai Yahya yakni Pak Kyai Abidin dalam keadaan baik-baik saja.

"Untuk sementara Pak Kyai Abidin di tetapkan meninggal di bunuh setelah di temukan puluhan luka tusuk di sekujur badan."

Terdiam membisu tak bersuara, dalam diam hati terluka mendengar kabar pahit menimpa keluarga besar Al-Assad.

"Siapa yang sudah melakukan hal sekejam ini tadz?" Manik mata menajam, tercetak ribuan geram di tahan dalam wajah tenang.

"Dia musuh pesantren yang paling berbahaya Gus, tapi sayangnya kita tak bisa apa-apa. Lapor pada polisi percuma, karena dia lebih cepat dari pada angin." Sanggah Ustadz Fatur.

Membludak rasa sakit di sekujur badan, sejak umur belia kejadian di luar angkasa tertangkap di mata. Teror-teror, serangan-serangan silih berganti datang menerjang, muak tercipta di hati, tapi Gus Azmi tak bisa berbuat banyak.

The Santri [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang