[ABH] BAB. 05

282 45 100
                                    

BAB 05
KEINGINAN AMMAR.

"... Jangan terlalu kaget saat buka file di amplop kedua, ya?"

Tak bisa.

Fia bahkan sudah terlanjur tak mampu berkata-kata, lidahnya seakan kelu walau hanya sekedar untuk berbicara.

Wanita itu bersandar pada ranjang. Posisinya yang duduk di lantai membuat tubuhnya terasa kian mendingin. Fia tak ingin percaya, akan tetapi bukti mengejutkan itu telah tersedia dengan gratis tepat di hadapannya.

Ada satu kalimat terlintas cepat. Kenapa Mama tak pernah memberitahukan ini pada dirinya? Atau... Jangan-jangan Mama sendiri tak mengetahui faktanya bagaimana?

"Apa yang harus gue lakuin?" Menggigit bibirnya yang memucat, di akhir pun Fia memilih untuk menaruh wajahnya diantara celah lutut. Lalu tak lama, mendongak dengan tangan menepuk-nepuk dada yang tiba-tiba terasa sesak. "... Hah."

Melirik jam dinding, waktu sudah terlalu malam untuk Fia berpetualang ke luar rumahnya. Mencari ketenangan pikiran terlalu mengerikan saat ini. Fia tak berani keluar. Dia takut.

Tanpa pertimbangan, tiba-tiba wanita itu berdiri. Lalu melangkah gontai menuju arah kamar mandi. Niat hati ingin mendinginkan kepala, mungkin dengan begitu segala macam pikiran-pikiran buruk di dalam otaknya bisa mereda.

Memutar keran air di bathtub tanpa mencampurnya dengan suhu yang lebih hangat, Fia melongsorkan pakaiannya sebelum memasukkan tubuhnya ke air dingin yang masih mengalir deras.

"Jahat," celanya diiringi napas tercekat. "Orang jahat sialan!"

Bibirnya ia gigit pelan, ringisan bagai berbisik menggema. Sesekali dia akan memasukkan kepalanya ke dalam air, sontak membuat otaknya seakan berdenyut pelan.

Bagai kaset rusak, memori-memori random berbulan belakangan ini mengalir masuk ke dalam otaknya. Lalu tanpa dapat dicegah turut membuat denyut pada hatinya kian terasa menyesakkan.

"Dari awal, apa gue aja yang ga nyadar kalau ini semua tipuan belaka?"

Flashback on.

Setelah wisuda.

"... Papa sayang Kakak."

Elusan lembut di surai gelapnya membuat Fia tersenyum manis, ah sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali dia dan sang Ayah bisa berbicara sedekat ini.

Bahkan Fia lupa kapan terakhir kali kepalanya ditepuk-tepuk lembut seperti sekarang. Mungkin, jauh hari sebelum Papa didiagnosa memiliki penyakit mengerikan ini. Belum lagi, mereka terlambat menyadari kedatangannya.

Kanker darah itu kini sudah mencapai tahap dimana dokter hanya mampu berkata, 'Nikmatilah hari-hari berikutnya dengan baik.'

Seakan memberi pertanda. Bahwa hari esok, belum tentu Papa masih akan bangun di pagi hari 'tuk melihat sinar kuning mentari, yang menyapa melalui jendela rumah mereka.

"Kak," panggil Ammar membuat atensi Fia kembali terfokus. Alis wanita itu terangkat kecil.

"Iya, Pa...?"

"Kalau Papa minta Kakak buat nikah, mau ga?"

Fia sontak saja tertawa pelan. Apa ini, kenapa pembahasan mereka malah melenceng entah kemana-mana. Sudut bibirnya membentuk lengkungan yang begitu lebar, wanita itu menegakkan tubuhnya. Lalu dengan main-main mengangguk penuh hormat. "Boleh! Kalau nikah, aku jadi bisa punya suami yang bakal ngurus dan sayangi aku, persis kaya Abang dan Papa!"

Impian Alifia sejak kecil adalah memiliki seorang suami seperti Papa, kalau seperti Abang juga tak apa. Soalnya kedua pria itu mirip, benar-benar gambaran suami dan menantu idaman.

ARIFIN || BAD HUSBAND [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang