[ABH] BAB. 17

202 13 5
                                    

BAB 17
PUTUS, AWAL YANG BARU.

Arifin melirik sekitar, lorong rumah sakit itu pagi ini tampak cukup ramai. Berkelana kesana-kemari banyaknya manusia yang asik menyelesaikan kepentingan mereka sendiri.

Arifin melangkah sangat pelan, dia ragu. Sejenak Arifin teryenti. Di sudut lorong lainnya, netra obsidian yang datar itu mendapati sepasang makhluk Tuhan berbeda jenis tengah saling bergandeng tangan. Pemandangan itu membuat Arifin sedikit menghela napas karena iri.

"Kamu udah dibilangin ga usah temenin aku ke kamar mandi, kenapa ngotot terus?"

Sang lelaki menjawab dengan lembut. "Aku takut kamu butuh bantuan tiba-tiba, Sayang," tuturnya.

Arifin tak kenal itu siapa, tetap entah mengapa hatinya berdenyut melihat aksi keduanya.

Terlihat jelas apa yang terjadi di antara mereka berdua. Terlebih, kala Arifin menyadari perut wanita itu tengah terlihat besar. Ah, hubungan yang begitu romantis. Bukankah begitulah sepasang suami-istri seharusnya?

Asik melamun sembari kembali berjalan, Arifin tanpa sadar sudah sangat dekat dengan pintu ruangan Rania. Setalah menarik napas menenangkan diri, lalu lelaki itu mengetuk pintu dengan ringan sebelum masuk dengan langkah pelan tapi pasti.

"Aku ga suka makanan yang terlalu manis."

Itu lah kalimat pertama yang Arifin dengar. Pandangan mereka sama-sama bertemu di udara, terlebih kala Rania turut menyadari kehadiran Arifin di ruangan itu.

"Sayang?" girang Rania menyapa semangat. Lain halnya dengan Arifin yang hanya menatap tanpa makna. Rania menambahkan, "Kamu kenapa? Kelelahan?"

"Saya izin keluar, ya," ungkap seorang perawat yang langsung mereka berdua angguki. Setelah pintu ruang VIP itu kembali tertutup, barulah keduanya mulai bersitatap lagi.

Arifin menggeleng. "Engga. Aman-aman aja."

Alifia menepuk samping kasurnya, memberi kode agar Arifin turut duduk di sekitar tubuh wanita itu. "Aku kangen. Mau peluk."

Meski tubuh Arifin menjerit mau, hatinya tetap kekeuh tak ingin terlalu dekat duduk dengan Alifia. Dirinya lebih memilih mendaratkan bokongnya di atas kursi sebelah ranjang ketimbang duduk tepat di sebelah tubuh Rania. Bisa bahaya.

Arifin sedang berusaha mengubah kebiasaan buruknya yang satu itu. Mereka akan berakhir, jadi dia harus terbiasa bertemu Rania tanpa harus ada sentuhan fisik diantara mereka.

Sedangkan, Rania yang permintaannya ditolak hanya sedikit cemberut. Otaknya agak heran, tetapi masih mencoba berpikir mungkin Arifin sedang lelah atau semacamnya.

"Gimana keadaan kamu?" tanya Arifin memecah sunyi. Dia menatap wajah Rania, masih begitu pucat, tetapi sudah tampak bersemangat. "Kalau cuman sakit jatuh, kenapa harus selama ini dirawat inap?" gumam Arifin berpikir sendiri.

"Kamu udah coba cek yang lain sekalian? Mungkin aja malah jatuh kemarin memicu hal lain—"

"Udah," potong Rania. Setelah sadar dirinya tampak terlalu bersemangat, wanita itu pun menenangkan dirinya dengan cepat. "Aku gapapa, tapi ini efek jatuh kemarin. Semalam juga susah tidur, sering kebangun tiba-tiba," ungkapnya panjang lebar.

Rania mengamati Arifin, lelaki itu sedikit menyipitkan matanya. Kebiasaan tubuh ketika Arifin dilanda secuil rasa tak percaya.

"S-seluruh badan aku sakit," jawab Rania setelah lama terdiam. "Belum lagi luka di kepala, sakit banget."

Arifin menatap lamat-lamat. Memperhatikan wajah Rania yang tampak masih lesu. Mungkin benar, wanita itu hanya kurang tidur. Meski tak tega, Arifin pikir hanya inilah saat yang tepat bagi mereka untuk berbicara serius.

ARIFIN || BAD HUSBAND [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang